Suasana Ramadhan di Yaman (1)


Oleh: *) A. Syukron Amin

Selayang Pandang

Suasana bulan Ramadhan di setiap daerah mungkin berbeda-beda, karena sebagian masyarakat akan menikmatinya sesuai dengan tradisi maupun akulturasi budaya sehingga nampak sebagai suatu keunikan yang perlu disoroti. Namun, menurut penuturan beberapa sumber, suasana Ramadhan di Arab hampir sama, begitu juga yang terjadi di ibukota Yaman, Sana’a. Hal ini bisa terjadi, karena adanya komunitas yang homogen.

Keunikan-keunikan dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan di negeri perantauan tentu sangat menarik untuk dikaji dan disampaikan. Tidak berlebihan jika setiap orang yang pernah menjalani serta merasakannya akan berkata; “Lebih enak puasa Ramadhan di Arab, dibanding berpuasa di Indonesia”. Suasana yang aman, damai dan didukung oleh iklim yang dingin mungkin salah satu faktor terbentuknya kenyamanan dalam menjalankan ibadah di bulan suci ini. Di bawah ini, sedikit akan akan saya ceritakan suasana bulan Ramadhan di Sana’a. Namun sebelumnya, mungkin kiranya perlu diketahui secara singkat mengenai situasi dan kondisi salah satu kota tua di Arab ini pada bulan-bulan lain selain Ramadhan.

Yaman sebagai negara demokrasi yang aman, damai dan tentram, nampaknya masih sebuah keniscayaan. Meskipun mayoritas penduduknya muslim, serta menjunjung nilai-nilai Islam sebagai agama yang cinta damai, yang seharusnya bisa menjadikan mereka selamat dan terhindar dari pertikaian-baik dari resiko politik maupun permusuhan suku-. Namun sayangnya, mereka belum bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi jangan heran jika baru-baru ini-meskipun telah memasuki bulan mulia ini-, di samping masih adanya demonstrasi yang mengancam keutuhan Republik Yaman (baca; pro disintegrasi), juha masih saja terjadi pertumpahan darah, antara pihak Pemerintah dengan gerakan separatisme di wilayah Sa’dah hingga Amran -yang berjarak lebih dari seribu kilometer- dari pusat pemerintahan. Kendati demikian, kondisi tersebut tidak mempengaruhi aktifitas penduduknya dalam menghadapi bulan Ramadhan. Maka, rasa aman sentosa penuh dengan ketentraman masyarakat Yaman di luar Sa’dah dan Amran sejauh ini masih kondusif.

Menyambut Datangnya Ramadhan

Sebagai ibukota, yang tentu padat penduduknya, suasana kota ini semakin indah di pandang di malam hari, menjadikan malam bagaikan siang sebuah hal yang tidak bisa dihindari, sejenak nafas aktifitas kota terhenti, jantung para penduduk berdebar tak sabar dan tak tahan ingin memeluk datangnya bulan Ramadhan. Sa’at fatwa awal Ramadhan dari Mufti yang ditunggu-tunggu pun datang, gemuruh masjid seakan menggemparkan suasana yang tadinya hening menjadi merinding, langkah-langkah pasti berbondong-bondong menuju kemenangan. Mungkin itulah suasana dalam menyambut bulan Ramadhan di kota Sana’a, yang penuh akan kesibukan, berbeda dengan suasana yang ada di provinsi-provinsi lain maupun di kampung yang sangat teduh nan hikmah, bahkan jauh hari sebelumnya telah diadakan berbagai persiapan, seperti membersihkan dan menyiapkan tempat lebih nyaman, untuk para jamaah maupun mengadakan lomba menghafal Al-Quran untuk anak-anak dan sebagainya.

Suatu hal unik yang mungkin dapat dijadikan sebagai tauladan atau mengambil pelajaran darinya dalam menyambut Ramadhan di ibukota Yaman sebagai refleksi dari pemaknaan hakekat puasa, yaitu pembagian beberapa sembako bagi penduduk yang kurang mampu. Rasa persaudaraan sesama muslim begitu kuat yang dapat dilihat dengan adanya saling tolong menolong antar sesama, yang kaya menolong yang miskin dan yang kuat membantu yang lemah. Mungkin telah menjadi rahasia umum jika sebagian orang kaya atau pengusaha di negeri Saba’ ini, selain membangun kantor untuk perusahaannya, juga membangun kantor untuk keperluan bantuan sosial, guna menyalurkan dan membagi-bagikan sembako maupun sumbangan lainnya kepada orang yang tidak mampu terutama pada bulan Ramadhan.

Sudah sewajarnya, jika bulan Ramadhan di Yaman serasa bernyawa dalam kehidupan bermasyarakat dengan penuh kerahmatan, yang kaya bisa menjalankannya dengan damai dan yang miskin pun ikut merasakan kedamaiannya.

Menjalankan Ibadah Puasa

Ada beberapa pemandangan berbeda dari hari-hari biasanya di luar Ramadhan, di dabbab (angkutan kota), taxi, microbus, toko-toko, dan ruang security, terlebih di seluruh masjid akan dijumpai orang-orang duduk yang membaca atau menghafalkan Al-Quran seakan menampar dan menggugah hati untuk meraih Kitab yang jarang tersentuh untuk kembali melumat ayat-ayat-Nya. Sikap penduduk yang ramah terlontar dari bibir-bibir kering penuh bersahabat dengan ucapan salam, yang kuat menjadi lemah terhadap yang lemah. Beberapa bufiyyah (warung snack dan minuman) mulai buka jam setengah lima sore. Sedangkan semua restoran, KFC, Baskin Robbin, dan Snow Cream dibuka mulai pukul 20.00 hingga 02.00, jadi bisa kita tebak, tentu waktu menjelang dan setelah buka puasa kondisi jalan raya sangat jarang dilalui kendaraan.

Jajakan pedagang di sore hari semakin ramai, sesekali teriakan terlontar menarik hati pembeli untuk membeli makanan khas yang sekana-akan “afdhal” untuk berbuka puasa, syambusa (semacam pastel), bakhomri (sejenis roti), tho’miyyah, bakiyyah (seperti bakwan) dan syurbah (mirip bubur) dihamparkan di pinggir jalan, dan beberapa toko-toko penjual minuman juice murni dan makanan seperti ‘asyid (hampir sama dengan dodol atau jenang) telah ramai dikunjungi bahkan ada yang telah memboking tempat sebelumnya. Di beberapa jalan raya depan masjid, orang-orang berdiri membagikan secuil kurma dan sebungkus qahwah (minuman hangat campuran jahe dan kopi), memang ketika buka puasa, orang Arab lebih gemar minum air hangat, dibanding air dingin seperti kita. Di samping itu, hampir di setiap masjid menyiapkan buka puasa bersama berupa roti mulawwah, bruto, rusyus, (WNI di Saudi Arabia menyebutnya roti tamis) bagi jamaah yang shalat di masjid tersebut.

Cuaca lumayan dingin di dataran tinggi ini sangatlah bersahabat, tak terasa hening sesaat, jam 06:15 sore telah terdengar kumandang azan, seakan puasa sangatlah singkat, saatnya orang-orang muslim meraih kebahagiaan pertamanya di dunia, Maghrib dan Isya berlalu, masjid-masjid dipenuhi oleh wajah-wajah berseri, shalat tarawih seakan menjadi shalat fardhu, bagi pelajar Indonesia di sini, biasanya melaksanakan shalat berjamaah di masjid lembaga pendidikannya. Sesekali, masyarakat Indonesia mengadakan buka bersama dan shalat berjamaah di Ruang Serba Guna KBRI Sana’a, ataupun undangan buka puasa bersama di rumah-rumah para diplomat, pengusaha maupun karyawan Indonesia yang berdomisili di sini.

Masjid Agung President Ali sebagai ibu bagi masyarakat Yaman dan pelajar asing seperti Indonesia, masjid yang ramah dan sangat dermawan yang selalu menyantuni jamaahnya, selalu saja ada pembagian zakat, selalu saja dipenuhi antrian untuk berbuka puasa dan menerima zakat. Masjid Hail Sail di kawasan Hail kadang membagikan santunan, sebuah Jam’iyah Ta’awuniyah (baca; LSM) di distrik tertua di Sana’a pun sering membagikan zakat dan sembako bagi yang tidak mampu. Dan sebagian besar mesjid-mesjid yang ada di ibukota kebudayaan Arab ini senantiasa memberikan bantuan bagi yang tidak mampu.

Jika hal ini dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, tentulah sangat berbeda jauh dimana di Indonesia orang-orang memakmurkan masjid, sedangkan di Sana’a sebaliknya yaitu masjid yang sangat berperan memakmurkan masyarakatnya.

Tempat-tempat hiburan malam berjalan sebagaimana adanya, café-café dipenuhi asap syisya (rokok Arab) dan wajah-wajah serius dengan kunyahan qat yang cukup besar di salah satu pipi (seperti masyarakat Lombok yang menguyah sirih.red), tak ketinggalan wajah-wajah suntuk dan letih setelah seharian bekerja, klub malam yang mempunyai izin resmi terlihat kelebihan pengunjung dibanding biasanya. Bisa dikatakan bahwa aktifitas di malam hari jauh lebih padat di banding siang hari.

Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa tidak ada larangan untuk menutup tempat-tempat tersebut?. Jawaban terhadap pertanyaan tadi sangatlah sederhana yaitu karena niat dan tujuan. Orang Yaman ke café atau bar dengan tujuan untuk santai dan bersenang-senang menghibur diri, sedangkan orang Indonesia, mungkin ke bar atau café dengan tujuan untuk mabuk dan menyiksa diri bahkan tidak jarang untuk membuat keonaran sebagai tempat pelarian dari masalah.

Sebagai bahan intropeksi dan refleksi, mungkin ada benarnya dalam menguji keimanan seorang muslim dengan menghadapinya bukannya lari darinya, jika seorang muslim mampu dalam menghadapi godaannya maka luluslah keimanannya dan jika ia tergoda maka keislamannya dapat dipertanyakan. Maka menurut penulis, jika di Indonesia tidaklah ada larangan penutupan tempat-tempat tersebut maka jadikanlah sebagai ajang pelatihan iman di bulan Ramadhan, dan kalaupun ada larangan maka berfikir dan berusahalah mencari solusi sebagai alternatif lapangan kerja dalam menanggulanginya.

Selama lima tahun saya tinggal di Yaman, tidak pernah mendengarkan bunyi gendang ataupun suara gerombolan orang berkeliling membangunkan yang sedang tidur lelap atau ketiduran untuk bersiap-siap sahur. Karena menurut pengamatan penulis, kebiasaan orang Yaman di bulan puasa adalah begadang hingga waktu subuh, dan mereka akan tidur setelah menjalankan shalat subuh hingga pukul 09.30, kemudian bersiap-siap menjalankan aktfitas mereka sehari-hari- khususnya di perkantoran dan pertokoan- sampai pukul 15.00. Dawwam (jam kerja) resmi ini berbeda dari biasanya, yang dimulai pukul 08.00 dan diakhiri pukul 13.00. Praktis, ketika pagi hari lalu-lalang lalu lintas sangatlah sepi.

Hal menarik lainnya juga akan dijumpai, sa’at-sa’at sepuluh hari terakhir Ramadhan-yang di dalamnya terdapat “lailatul qadr”-, masjid-masjid di Sana’a hingga halamannya dipenuhi oleh orang-orang yang sedang ber-i’tikaf (berdiam diri dengan niat ibadah), di jalanan terlihat orang-orang membagi-bagikan zakat dan sadakah mereka kepada fakir dan miskin. Malam-malam bilangan ganjil Ramadhan adalah malam yang sangat indah dan ramai di setiap masjid, terutama di masjid Jami’ Kabir yang terletak di kawasan Babul Yaman, sebuah masjid bersejarah yang dibangun oleh Sayyidina Ali r.a hampir tidak ditemukan celah yang kosong untuk berbaring, karena dipadatkan oleh banyak orang. Tangisan sedih di akhir Ramadhan terdengar lirih di setiap masjid bagaikan orang yang kehilangan kekasih tercinta.

Bersambung di Bagian II……. (Menceritakan Suasana Ramadhan di Hadhramaut)

*) Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Islamic Studies di Yemenia University dan Mantan Ketum PPI Yaman