Bagaimana Shalat Seorang Mahasiswa di Luar Negeri (Musafir)?

Assalamualakum wr. wb.

Bapak ustadz yang budiman, yang diridlhai Allah. Saya ingin bertanya mengenai shalat dalam keadaan musafir. Sebelumnya akan saya jelaskan tentang kondisi saya agar lebih jelas. Saya seorng mahasiswa yang alhamdulillah mendapat karunia Allah untuk studi di Jerman. Saya tinggal di sini sudah lebih dari 2 tahun.

Pertanyaannya:

  1. Bagaimana sebaiknya saya menjalankan shalat? Apakah saya sebaiknya bershalat seperti layaknya seorang musafir, karena memang saya tidak pernah terlintas di fikiran, apabila telah selesai kuliah, untuk menetap atau bekerja di Jerman.
  2. Apakah ada batasan waktu untuk menjadi seorang musafir?
  3. Apa syarat yang mengizinkan seseorang untuk dapat menjama’ dan mengqashar shalatnya?
  4. Bagaimana perilaku shalat Rasulullah saw dan para sahabat ketika beliau dalam keadaan musafir?
  5. Apakah bila seseorang telah menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam keadaan musafir, dapat pula melaksanakan shalat sunat lainnya seperti halnya shalat sunat rawatib?
  6. Tolong bapak ustadz yang budiman dijelaskan juga pendapat para imam madzhab berkenaan dengan hal ini (Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafii dan Imam Hambali). Hal ini penting untuk dapat menjelaskan kepada kawan-kawan saya yang di Jerman akan ketentuan ini. Teman saya ada yang dari Maroko dan Mesir bermadzhab Maliki, dari Uzbekistan dan Turki bermadzhab Hanafi, dari Saudi Arabia bermazhab Hambali dan saya sendiri menganggap bermazhab Syafi’i.

Terimakasih banyak, Jajakallahu khairan.

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Batasan antara Musafir dengan Muqim

Beda antara safar dengan muqim (menetap) adalah seseorang bergerak di muka bumi. Atau disebut dengan adh-dharbu fi ardh. Yaitu anda terus bergerak ke sana ke mari setiap harinya dalam format perjalanan luar kota, bukan berputar-putar di dalam kota.

Bila anda sudah berniat untuk menetap -meski sementara- di suatu tempat, maka status anda bukan musafir lagi. Batasan musafir dan tidak adalah bila anda terus bergerak tanpa menetap di suatu titik di muka bumi. Begitu anda berdiam di suatu tempat, maka ada jatah waktu tunggu maksimal, yaitu 4 hari atau 15 hari, tergantung pendapat para ulama yang nanti akan kami jelaskan.

Anggaplah kita pakai pendapat yang 4 hari, maka begitu anda menginap di suatu tempat selama lebih dari 4 hari, anda sudah bukan musafir lagi. Dan tentunya anda harus segera shalat lengkap bukan jama’ dan bukan qashar.

2. Syarat yang mengizinkan seseorang untuk dapat menjama dan mengqashar shalatnya.

Di antara penyebab dibolehkannya jama` dan qashar adalah safar adalah:

a. Bepergian atau safar

Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama fiqih antara lain harus berniat safar, memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd atau 88, 656 km(sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal),keluar dari kota tempat tinggalnya dansafar yang dilakukan bukan safar maksiat

b. Sakit

Imam Ahmad bin Hanbal membolehka jama` karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah.

Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama` shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah dalam Syarah An-Nawawi jilid 5 219 menyebutkan, ”Sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan.

Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.

Begitu juga dengan Ibnul Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “Beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.

Allah SWT berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan. (QS Al-Hajj: 78)

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ

Dan bagi orang sakit tidak ada kesulitan. (QS Annur: 61)

c. Haji

Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini:

Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. (HR Bukhari 1674).

d. Hujan

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW shalat di Madinah tujuh atau delapan; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata, ”Barangkali pada malam turun hujan?” Jabir berkata, ”Mungkin.” (HR Bukhari 543 dan Muslim 705)

Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata, ”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka.” (HR Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih).

Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.

Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.

Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR Muslim 705).

e. Keperluan Mendesak

Bila seseorang terjebak dengan kondisi di mana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.

Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan di atas.

Allah SWT berfirman:

Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan. (QS. Al-Hajj: 78)

Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.

Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan. (HR. Muslim 705).

3. Bila menjama dan mengqashar shalatnya dalam keadaan musafir, adakah shalatsunnah rawatib?

Umumnya para ulama memandang tidak perlu lagi adanya shalat sunnah qabliyah maupun ba’diyah yang mengiringi shalat qashar atau jama’. Sebab esensi shalat ini adalah meringankan, baik dengan digabungkan dalam satu waktu atau pun dikurangi bilangan rakaatnya.

Kalau masih melakukan shalat qabliyah dan ba’diyah, maka esensinya malah hilang. Demikian menurut umumnya para ulama.

4. Masa Bolehnya Shalat Safar

Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama` dan mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha.

  1. Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya. Dasarnya adalah praktek jama’ qahar di dalam hajimulai tanggal 10, 11, 12, 13 bulan Dzulhijjah.
  2. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
  3. Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.

Adapun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.

Ibnul Qoyyim berkata bahwa Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.

Disebutkan Ibnu Abbas:” Rasulullah SAW melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari)

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.