Bid&#039ahkah Niat Shalat dan Doa Bersama setelah Shalat Jamaah?

Assalamualaikum Warahmatullahi wr. wb.

Akhir-akhir ini jama’ah mushalla saya sedang mengalami kondisi yang kurang nyaman, karena adapernyataan dari seorang ustadz yang mengatakan bahwa niat shalat dengan lafal, "Ushali fardhu zuhri…" adalah bid’ah karena tidak dicontohkan oleh nabi. Menurut ustadz tersebut lafalnya adalah "Niatku shalat dzuhur…dan seterusnya" (bahasa Indonesia). Selanjutnya masalah berdoa setelah shalat wajib berjamaah yang dipimpin oleh imam dan diamini oleh ma’mum adalah bid’ah. Untuk kedua hal ini kami mohon penjelasan bapak ustadz.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wr. Wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang dikatakan ustadz itu ada sebagian benarnya, tapi bukan berarti 100% tepat. Termasuk yang paling disorot justru cara menyampaikannya. Sebab cara yang demikian kurang mencerminkan kepiawaian dalam menyampaikan pesan.

Kecuali beliau berbicara dalam forum khusus, bukan di depan publik heterogen, tentu merupakan hak beliau untuk berpendapat.

Namun bila beliau mengangkat tema sensitif tersebut di tengah jamaah yang heterogen, pastilah akan menimbulkan keresahan. Sebab tema itu adalah wilayah yang seringkali menjadi pangkal perbedan pendapat di kalangan umat Islam sejak dahulu. Sebagian mendukung adanya ‘ushalli‘ dan sebagian menentangnya. Demikian juga dengan doa berjamaah, sebagian mengakui ada masyru’iyahnya dan sebagian menolaknya.

Tiba-tiba di tengah kerukunan antara mazhab yang memang berbeda, ada orang yang main tembak langsung sambil memojokkan pendapat yang tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri. Bahkan sambil menuduh bid’ah atau perkataan lain yang kurang layak didengar.

Apa yang dilakukannya, lepas dari urusan masalah khilaf dan mana yang lebih kuat, adalah seperti membangunkan macan yang sedang tidur. Kalau seandainya beliau mengangkat masalah itu di tengah majelis para ulama yang memang ahli di bidang fiqih, khususnya masalah perbandingan mazhab, tentu akan lain ceritanya. Sebab beliau akan menemukan pembanding yang seimbang. Kalau hujjahnya kuat, mungkin beliau akan mendapat dukungan, sebaliknya kalau hujjahnya lemah, beliau pun tahu bahwa selain pendapat pribadinya, masih ada pendapat lainnya yang tidak sama dengannya.

Masalah Ushalli

Sebenarnya masalah ushalli kalau kita rujuk ke hadits-hadits nabawi, memang kita tidak mendapatkan perintah eksplisit. Kita tidak pernah menerima riwayat yang shahih bahwa ketika shalat, Rasulullah SAW melafadzkan ushalli.

Sampai di sini, semua pihak pasti sependapat, baik yang mendukung ushalli dengan yang tidak. Namun ketika salah satu pihak melayangkan tuduhan kepada saudaranya sebagai pelaku bid’ah, maka ceritanya menjadi lain lagi.

Sebab bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalil eksplisitnya, lantas menjadi tidak ada. Dan kalau dikerjakan, tidak lantas menjadi bid’ah secara otomatis. Kita bisa buat perbandingan dengan masalah lainnya, seperti dalam masalah tertib urutan ibadah. Kita tidak menemukan dalam dalil eksplisit pernyataan nabi SAW bahwa kalau berwudu’ harus urut (tertib). Yang ada hanya membasuh anggota badan saja.

Namun umumnya para ulama memasukkan rukun terakhir, yaitu tertib. Baik dalam rukun wudhu’ atau pun rukun shalat. Kalau tertib itu tidak ada haditsnya, apakah tertib itu boleh dikatakan bid’ah? Tentu saja tidak. Meski pun munculnya rukun tertib itu hanya ijtihad para ulama, tapi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah yang dibuat-buat. Sebab kenyataannya, bila urutan wudhu tidak tertib, nyatanya juga tidak sah.

Walhasil, tertib itu meski tidak diucapkan oleh nabi sebagai bagian dari rukun shalat, namun ketika dideskripsikan aturan wudhu’, muncullah hal itu sebagai konsekuensi logis dari praktek ibadah.

Demikian juga dengan pelafazan niat ushalli. Ini hanyalah ijtihad sebagain ulama, di mana mereka mengataka bahwa niat itu akan lebih kuat di hati apabila dilafazkan. Meski tidak ada seorang pun yang mewajibkan pelafazan ushalli. Mereka hanya sekedar menganjurkan saja, tapi tidak menyunnahkan apalagi mewajibkan.

Ijtihad sebagian ulama tentang ushalli ini sebenarnya bukan tanpa bantahan. Banyak ulama lain yang tidak setuju dicantumkannya pelafazan niat dengan ushalli. Tapi yang menarik, meski tidak setuju, tetap tidak kita dengar saling ejek, atau menuduh bid’ah atau bentuk-bentuk ungkapan lainnya yang kurang enak didengar.

Selama sebuah masalah merupakan masalah ijtihad, apalagi khilaf di kalangan ulama, sebaiknya kita menahan diri dari mendeskriditkan pendapat lain.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc