Hukum Mengusap Muka Setelah Shalat dan Berdo'a

Assalamu`alaikum wr. wb.

Ustadz ada beberapa pertanyaan:

  1. Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat ataupun berdo’a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya?
  2. Katanya kalau kita mengerjakan sholat dengan menunda-nunda waktu shalat tanpa adanya halangan, sholat kita tidak ada nilainya di mata Allah.
  3. Bagaimana shafnya sholat berjamaah 2 orang, apakah sejajar atau ada jarak antara imam dan makmumnya.
  4. Hukumnya memakan bawang merah dan bawang putih.

Demikian pertanyaan saya mohon penjelasannya, terima kasih

Wassalamu`alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Dalam masalah mengusap wajah, para ulama berbeda pendapat. Penyebabnya karena para ahli hadits berbeda pendapat dalam menetapkan kekuatan dalilnya. Dan selama suatu masalah masih merupakan khilafiyah di kalangan ulama, setiap muslim berhak untuk memilih mana yang sekiranya lebih dipilihnya.

Sebagian dari mereka mendhaifkan hadits tentang mengusap wajah setelah berdoa, seperti Syaikh Nasiruddin Al-Albani dan lain-lainnya. Bahkan beliau sampai mengatakan bid’ah. Di antanya adalah hadits-hadits ini:

فإذا فرغتم فامسحوا بها وجوهكم

Apabila kalian telah selesai (berdoa), maka usapkan tangan ke wajah kalian.

Beliau mengatakan bahwa lafadz di atas adalah syahid yang tidak benar dan mungkar karena ada di antara para perawinya ada yang muttaham fil wadh’i. Abu Zar’ah juga mengatakan bahwa hadit ini mungkar dan dikhawatirkan tidak ada asalnya. Demikian disebutkan dalam As-Silsilah As-Shahihah jilid 2 halaman 146.

Sedangkan ulama lainnya yang sama-sama mendha’ifkan hadits tentang itu, tidak sampai mengatakan bid’ah. Di antara mereka ada Ibnu Taimiyah, Al-‘Izz ibnu Abdissalam dan lainnya. Lantaran hadits yang dianggap dha’if masih bisa digunakan asal untuk masalah fadhailul a’mal (keutamaan amal).

Ibnu Taimiyah berkata, "Sedangkan mengusap wajah dengan dua tangan, hanya ada dasar satu atau dua hadits yang tidak bisa dijadikan hujjah." (Lihat Majmu’ Fatawa jilid 22 halaman 519).

Al-‘Izz ibnu Abdissalam berkata, "Tidak ada orang yang mengusap tangan ke wajahnya setelah berdoa kecuali orang yang jahil."

عن عمر بن الخطاب أنه قال:‏ كان رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم إذا رفع يديه فى الدعاء لم يحطهما حتى يمسح بهما وجهه.‏ رواه الترمذى

Dari Umar bin Al-Khattab ra. berkata, "Rasulullah SAW bila mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, tidak melepaskannya kecuali setelah mengusapkan keduanya ke wajahnya." (HR Tirmizy)

Perawi hadits ini yaitu Imam At-Tirmizy mengatakan bahwa hadits ini gharib, maksudnya perawinya hanya satu orang saja.

Hadits yang sama namun lewat jalur Ibnu Abbas ra. dengan esensi yang sama, diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya. Namun Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini bahwa dalam isnadnya, setiap orang ada kelemahannya. (Lihat Al-Azkar An-Nawawi halaman 399).

Di pihak lain, sebagian ulama tetap bisa menerima masyru’iyah mengusap tangan ke wajah, meski masing-masing haditsnya dhaif. namun saling menguatkan satu dengan lainnya. Selain telah menjadi umumnya pendapat ulama bahwa bila hadits dha’if digunakan untuk ha-hal yang bersifat keutamaan, masih bisa dijadikan hujjah, asalkan kedha’ifannya tidak terlalu parah.

Maka Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitabnya Subulus-Salam mengatakan bahwa meski hadits-hadits tentang mengusap wajah itu masing-masing dhaif, namun satu sama lain saling menguatkan. Sehingga derajatnya naik menjadi hasan. (Lihat Subulus-salam jiid 4 halaman 399).

Kesimpulan masalah ini memang para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukumnya. Ada yang menjadikannya mustahab (sunnah), tetapi ada juga yang meninggalkannya.

2. Shalat yang ditunda pelaksaannya sebenarnya tetap sah, meski nilainya berbeda. Asalkan dikerjakan masih di dalam waktunya sebagaimana ditetapkan dalam syariah.

Namun juga masih harus dilihat kasus dan sebabnya. Mengapa suatu shalat ditunda pelaksanaannya. Khusus untuk shalat Isya’, ada dalil yang malah menganjurkan untuk diakhirkan.

Namun tidak benar kalau dipahami bahwa shalat yang dikerjakan bukan di awal waktu lalu tidak sah atau tidak ada pahalanya di sisi Allah. Shalat itu tetap sah dan tetap ada pahalanya, namun berbeda dengan bila dikerjakan di awal waktu.

3. Sejajar antara imam dan makmum dibenarkan, asalkan makmum tidak melewati imam. Sebaiknya agak ke belakang sedikit untuk memastikan makmum tidak melanggar batas imam.

4. Yang biasanya dijadikan ‘illat para ulama adalah karena bawang itu bila dimakan akan membuat mulut berbau dan mengganggu pergaulan, sehingga hukumnya makruh. Tapi bila tidak sampai mengganggu pergaulan, misalnya setelah itu menyikat gigi atau tidak bertemu dengan banyak orang, tidak ada masalah tentunya.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.