Khutbah Jumat Harus Bahasa Arab?

Assalamu Alaikum War. Wab

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan taufiqnya kepada kita semua. Amin.

Saya sudah 1 bulan di Univ. Vienna, Austria, mengikuti short course selama 3 bulan. Saya menemukan fenomena menarik selama mengikuti shalat Jumat di sini. Setelah khatib menyampaikan khotbah-1 dalam bahasa ARAB, khatib duduk kemudian panitia masjid menyampaikan intisari khotbah tersebut dan atau menyampaikan informasi tentang dunia Islam dalam bahasa Jerman. Sesudah itu khatib berdiri menyampaikan khotbah ke-2.

Saya jadi teringat juga di Indonesia ada beberapa masjid yang khatibnya menyampaikan khotbah dalam bahasa ARAB tapi tanpa terjemahan dengan alasan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan khotbahnya dalam bahasa ARAB dan karena khotbah adalah bagian dari shalat jumat (ibadah mahdah) jadi kita tidak boleh merobahnya dalam bahasa Indonesia.

Pertanyaan saya adalah:

1. Apakah dibolehkan panitia atau seseorang menyela khatib pada saat duduk sebelum khotbah kedua, seperti yang dilakukan di sini?

2. Apakah khotbah dalam bahasa ARAB adalah yang paling sesuai dengan syariah Islam dan khotbah dalam bahasa Indonesia adalah termasuk melakukan perubahan terhadap sunnah Rasulullah?

3. Jika khotbah dalam bahasa Arab itu lebih sesuai syariah. Mungkin ada baiknya kita melakukan hal yang sama dengan di sini dan setelah khatib menyampaikan khotbahnya ada yang menyampaikan intisari atau terjemah dari khotbah tersebut kedalam bahasa Indonesia.

4. Selama di sini saya sangat sering menjamak shalat Zhuhur-Ashar dan Maghrib-Isya, karena padatnya kegiatan saya di kampus dan berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh (Ibnu Abbas?) bahwa Rasulullah pernah menjamak shalat tanpa ada keadaan yang memaksa beliau shalat jamak. Apakah yang saya lakukan sudah betul dan berapa lama seseorang dibolehkan menjamak shalat?

Demikian dan jadzakallah atas kesediannya untuk menjawab pertanyaan saya.

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya sudah ada ketentuan bahwa saat khatib sedang berkhutbah, maka tidak boleh ada orang yang berbicara, menyela, berkomentar atau apapun pembicaraan lainnya. Meksipun tujuannya untuk menterjemahkan isi khutbah kepada orang yang tidak mengerti isinya.

Larangan itu tetap berlaku bahwa pada saat jeda antara dua khutbah, di mana khatib saat itu melakukan duduk sejenak. Sebab jeda itu bagian dari khutbah. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ اَلْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا, وَاَلَّذِي يَقُولُ لَهُ: أَنْصِتْ, لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَةٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ, بِإِسْنَادٍ لَا بَأْسَ بِهِ

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang berbicara pada hari Jumat sedangkan imam sedang berkhutbah, dia seperti keledai yang membaca kitab. Sedangkan yang berkata, "Diamlah," maka dia tidak mendapat Jumat." (HR Ahmad)

حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي "اَلصَّحِيحَيْنِ" مَرْفُوعًا: إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ, فَقَدْ لَغَوْتَ

Hadits Abi Hurairah ra. di dalam shahihain marfu’, "Bila kamu berkata kepada temanmu: diamlah, pada hari Jumat sementara imam berkhutbah, maka kamu telah sia-sia." (HR Bukhari dan Muslim)

Maka kalau mau diterjemahkan, sebaiknya yang menterjemahkan adalah si khatibnya sendiri. Sehingga termasuk bagian dari khutbah. Tapi seandainya si khatib sama sekali tidak mampu menerjemahkannya, boleh dilakukan oleh orang lain, tetapi setelah khutbahnya selesai.

Haruskah Berkhutbah dengan Bahasa Arab

Memang ada sedikit polemik di masa lalu tentang keharusan berkhutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian kalangan bersikeras bahwa khutbah Jumat itu harus dilakukan dalam bahasa Arab. Namun sebagian lagi menolaknya.

Mereka yang bersikeras dengan bahasa Arab berdalil bahwa khutbah Jumat adalah bagian dari ibadah ritual shalat Jumat, bahkan disebut-sebut sebagai pengganti dua rakaat yang dihilangkan. Aslinya shalat Dzhuhur itu 4 rakaat, lalu dihilangkan menjadi dua rakaat saja dalam shalat Jumat. Kemanakah hilangnya 2 rakaat lagi? Jawabnya menurut mereka adalah dengan adanya 2 khutbah.

Dan karena posisinya menggantikan 2 rakaat shalat, maka nilainya sama dengan ibadah mahdhah shalat. Maka bahasanya pun harus dengan bahasa Arab, sebagaimana shalat.

Adapun alasan bahwa kalau memakai bahasa Arab, maka orang-orang yang tidak paham bahasa Arab akan sia-sia, menurut mereka tidak jadi masalah. Karena shalat pun dilakukan dalam bahasa Arab, tetapi mereka tidak bisa bahasa Arab. Dan shalat itu tetap wajib dilakukan. Maka demikian juga dengan khutbah berbahasa Arab.

Sedangkan mereka yang bersikeras untuk mengganti bahasa Arab dengan bahasa yang dimengerti jamaah, berangkat dari pendapat bawa khutbah Jumat itu bukan pengganti shalat dua rakaat. Menurut mereka, esensi khutbah itu adalah nasehat dan wasiat. Kalau disampaikan dengan bahasa yang tidak dipahami oleh pendengarnya, apalah gunanya.

Jalan Tengah

Kalau dibiarkan saja kedua pendapat itu mempertahankan sikap masing-masing, mungkin akan terjadi perpecahan yang berbuntut kepada permusuhan. Padahal kedua pendapat itu sebenarnya bisa disatukan tanpa harus menarik otot emosi dan kemarahan.

Misalnya, mereka yang mewajibkan bahasa Arab dalam khutbah, sesungguhnya hanya mewajibkannya pada rukun khutbah saja. Tidak pada semua bagian khutbah. Dan rukun khutbah Jumat itu hanya ada lima.

  • Rukun Pertama: mengucapkan hamdalah, yaitu memuji Allah SWT. Cukup dengan membaca alhamdulillah. Dan semua orang muslim pasti tahu maknanya. Tidak perlu diterjemahkan.
  • Rukun Kedua: membaca shalawat kepada nabi SAW, misalnya menyebut allahumma shalli ala muhammad. Lafadz ini juga pasti tidak asing lagi buat telinga manusia yang mengaku muslim. Tidak perlu diterjemahkan sekali pun sudah paham maksudnya.
  • Rukun Ketiga: menyampaikan wasiat atau nasihat untuk bertaqwa. Misalnya mengucapkan lafadz ittaqullah. Itu saja sudah cukup dan tidak perlu diterjemahkan lagi karena semua orang tahu maksudnya.
  • Rukun Keempat: membaca sepotong yang mudah dari ayat Quran. Seperti mengucapkan surat wal-ashri, atau bahkan sepenggal ayat quran saja.
  • Rukun Kelima: membaca doa atau permintaan ampunan untuk umat Islam. Seperti membaca lafadz allahummghfir lilmuslimin.

Di luar kelima rukun itu, boleh saja seorang khatib berbicara dalam bahasa yang dipahami oleh kaumnya. Bahkan kelima rukun tadi boleh diterjemahkan juga ke dalam bahasa mereka, asalkan bahasa Arabnya tetap dibaca.

Cara ini bisa dipakai karena tidak ada ketentuan bahwa bila khatib mengucapkan lafadz di luar bahasa Arab, akan membatalkan khutbahnya. Artinya, seorang khatib boleh menambahi khutbahnya dengan bahasa lainnya, asalkan pada kelima rukun itu dia menggunakan bahasa Arab, walau hanya sepotong saja.

Masalah Syarat Kebolehan Menjama’ Shalat

Hadits yang anda sampaikan itu boleh dikerjakan, namun dengan pengertian bahwa beliau SAW pernah melakukannya dalam kondisi tertentu. Bukan untuk waktu yang lama dan bersifat terus menerus.

Misalnya, ketika anda dalam keadaan macet yang akut, di mana sama sekali tidak ada kesempatan untuk melakukannya, padahal anda sudah berupaya untuk melakukannya.

Akan tetapi hadits itu tidak berada dalam kapasitas bahwa hal itu terjadi setiap hari selama anda melewati masa-masa kuliah. Sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW sepanjang hidupnya.

Maka sebaiknya anda melakukan shalat dengan benar dan lengkap, bukan dengan mencari-cari pembenaran sendiri. Sedangkan alasan kesibukan kuliah memang bisa kami pahami, namun satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa shalat itu pekerjaan yang simple, sederhana, mudah dan singkat. Mungkin hanya butuh 2 menit saja untuk sebuah shalat Dzhuhur yang 4 rakaat itu. Waktunya sama dengan waktu yang anda butuhkan untuk sekedar buang air kecil. Bahkan bisa lebih singkat dari itu.

Kalau anda dibolehkan sekedar buang air kecil ke toilet, maka anda pun seharusnya punya keluasan waktu untuk bisa sekedar melakukan shalat.

Bahkan anda tidak harus mengerjakannya di dalam masjid, atau tempat shalat khusus. Anda bisa melakukannya di mana saja, sambil pamit mau ke toilet. Bisa anda lakukan di lorong, bawah tangga, halaman, kebun, teras rumah, trotoar, selasar, koridor, halte bus atau bahkan di depan WC sekalipun. Kalau perlu sambil antri menunggu lift, ATM, periksa dokter dan lainnya.

Bahkan anda tidak perlu harus pakai sajadah, kain sarung, peci (kopiah), tasbih, baju koko dan beragam atribut lainnya. Yang penting aurat anda tertutup.

Bahkan bila memang tidak ada air, anda toh boleh tayammum. Tidak perlu repot-repot, cukup tepukkan kedua tangan anda ke lantai yang anda injak lalu sapukan ke wajah dan kedua tangan, jadilah.

Kalau orang Jepang terkenal hobi membaca di mana pun dan kapan pun, maka sebagai muslim anda perlu punya hobi juga, yaitu hobi shalat di mana pun dan kapan pun. Tidak ada satu pun undang-undang di dunia ini yang melarang seorang muslim melakukan shalat. Seandainya anda shalat di mana pun, anda punya hak untuk melakukannya. Tidak ada hak bagi siapapun untuk anda melakukan shalat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.