Shalat Zhuhur Ba&#039da Shalat Jum&#039at

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Begini ustadz, di tempat saya diadakan shalat Jum’at berjama’ah namun setelah itu juga diadakan shalat zhuhur berjama’ah, yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah:

  1. Apa kita harus melaksanakan shalat Zhuhur ba’da Jum’at juga? Setelah saya menanyakan kepada ustadz yang melakukannya, dia menjawab, karena kita tidak bisa pastikan bahwa semua orang yang shalat berjama’ah Jum’at di masjid itu (sesuai jumlah orang yang shalat Jum’at minimal 40 orang- yang saya tahu) telah tinggal lama di suatu tempat,
  2. Masjid yang dijadikan untuk shalat Jum’at berjama’ah itu satu, tidak boleh melebihi dari satu dalam 1 kemukiman (setara dengan kelurahan) karena akan membatalkan shalat Jum’atnya. Apabila kita mengetahui bahwa ada lebih dari 1 masjid dalam kemukiman yang sama melaksanakan shalat Jum’at secara bersamaan dalam waktu yang sama.

Mungkin ini dulu pertanyaan dari saya mudah-mudahan ustadz berkenan menjawabnya.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kami menilai bahwa tindakan seperti ini sesungguhnya sebuah ekstrimisme dalam pelaksanaan hasil-hasil ijtihad dalam hukum fiqih. Atau dalam istilah lain bisa disebut dengan ghuluw, yaitu berlebih-lebihan.

Memang benar bahwa di dalam salah satu mazhab, yaitu mazhab As-Syafi’i disebutkan bahwa di antara syarat shalat Jumat itu harus dilakukan oleh minimal 40 orang yang muqim. Bila jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka tidak sah shalat Jumat itu. Demikian juga bila jumlah jamaahnya lebih dari 40 orang, tetapi banyak di antaranya bukan orang yang muqim, melainkan musafir, sehingga jumlah mereka yang muqim kurang dari 40 orang, maka shalat Jum’at seperti ini juga dianggap tidak sah.

Namun semua itu tidak boleh diterapkan hanya berdasarkan dugaan atau zhan semata. Tidak bisa dalam bertindak, kita mendasarkannya hanya pada sesuatu dugaan tanpa dasar. Kalau memang hal itu dibolehkan, nanti semua shalat bisa saja tidak sah. Sebab setiap orang berhak punya purbasangka bahwa si imam batal shalatnya, atau menduga bahwa si imam itu fasiq yang tidak sah bermakmum kepadanya.

Dan bisa jadi kita tidak akan pernah shalat selamanya, karena kita selalu berprasangka bahwa tempat shalat kita itu jangan-jangan pernah ada najisnya, atau jangan-jangan dibeli dari hasil uang haram, atau jangan-jangan yang menyumbang masjid itu dapat uangnya hasil korupsi. Atau jangan-jangan masjid belum bayar listrik dan seterusnya. Logika ‘jangan-jangan’ seperti ini adalah logika tidak sehat yang menyesatkan. Tidak boleh demikian dalam beribadah.

Sama saja hal itu dengan kasus yang sedang kita bicarakan. Kita tidak boleh menyangkan bahwa orang-orang yang shalat Jumat itu semuanya sebagian besar musafir. Sebab kalau kita menyangka demikian, kita harus berangkat dari sebuah fakta yang nyata, bukan asumsi dan dugaan belaka.

Sebuah hukum tidak boleh ditetapkan hanya berdasarkan syak wasangka. Sebagaimana kaidah fiqhiyah menyebutkan:

اليقين لا يزول بالشك

Keyakinan itu tidak gugur oleh syak

Kita diperintahkan mengambil hukum berdasarkan hal-hal yang zhahir, ada pun hal-hal yang tersembunyi, itu urusan Allah. Nahnu nahkumu bizh-zhowahir, wallahu yatawallas-sarair.

Karena itu tindakan melakukan shalat Zhuhur setelah shalat Jumat bila dengan asumsi seperti itu adalah sebuah sikap keterlaluan dan berlebihan dalam pengamalan agama.

Tidak Boleh Ada 2 Jumatan pada Tempat yang Sama

Di dalam mazhab As-Syafi’i memang ada ketentuan bahwa tidak boleh ada 2 shalat Jumat di satu tempat yang sama atau berdekatan. Dalam beberapa literatur fiqih mazhab ini, memang ada ketentuan demikian.

Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tetap ada pengecualiannya. Yaitu bila di satu masjid sudah penuh dan tidak lagi menampung jamaah, maka dibolehkan dibuat lagi jamaah shalat Jumat di dekatnya. Dengan demikian, adanya dua masjid yang berdekatan yang keduanya sama-sama menyelenggarakan shalat Jumat sangat dimungkinkan, selama masjid-masjid itu tidak mampu lagi menampung jamaah.

Maka tindakan seorang jamaah yang shalat Zhuhur setelah shalat Jumat dengan alasan berjaga-jaga kalau-kalau shalat Jumat itu tidak syah adalah sikap yang mengada-ada serta berlebihan dalam agama.

Padahal ketentuan-ketentuan seperti itu hanya ada dalam satu mazhab, sedangkan di mazhab lain tidak ada peraturan yang seketat itu. Seperti batasan minimal harus 40 orang jamaah atau tidak boleh ada dua Jumat berdekatan. Bukankah agama Islam ini adalah agama yang mudah? Maka memang mudah, mengapa harus dibuat susah?

Sementara di sisi lain, kita sebagai umat Islam masih kebanjiran pe-er lain yang harus diprioritaskan. Ketimbang kita meributkan hal-hal yang hanya baru dalam dugaan, bukankah sebaiknya kita memikirkan hal-hal yang lebih nyata dan mendesak?

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.