Syarat Jama&#039 Ta&#039khir

Assalamu’alaikum wr. wb.

Sehubungan dengan penjelasan mengenai jama’ taqdim dan jama’ ta’khir, saya ingin mohon penjelasan. Saya bekerja di Jakarta dan tinggal di Bogor pulang pergi menggunakan jasa KRL. Kadang terjadi KRL terlambat berbarengan dengan waktu shalat Maghrib (jadwal normal dari Jakarta jam 17.38 dan sampai jam 18.28 saya langsung shalat Maghrib di masjid dekat stasiun tujuan).

Pada saat KRL (AC express) terlambat dan tidak berhenti di stasiun tetapi di vessel di mana KRL tertahan (pada saat itu sulit untuk turun karena pintu tidak dibuka dan sering di tengah sawah), jika sampai stasiun tujuan sudah lewat waktu ‘Isya, apakah saya harus segera shalat di masjid terdekat (untuk shalat Maghrib dan ‘Isya) atau boleh pulang sampai ke rumah (dari stasiun ke rumah kira-kira 15 menit) dan shalat Maghrib dan ‘Isya di rumah?

Mohon pencerahan, sebelumnya terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Asslamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Shalat menjama’ ta’khir itu lebih sedikit dari menjama’ taqdim. Hanya dua saja, pertama berniat untuk menjama’ ta’khir ketika masih dalam waktu shalat yang pertama. Lalu yang kedua adalah masih adanya udzur hingga selesai shalat yang kedua.

Maka dalam hal ini, jama’ ta’khir itu harus sudah diniatkan sejak masih ada waktu shalat Maghrib. Jangan sampai anda melewati waktu Maghrib dengan tidak melakukan shalat Maghrib dan juga tidak berniat untuk menjama’nya pada waktu Isya’.

Syarat yang kedua juga harus diperhatikan, yaitu shalat Isya’ itu harus dilakukan selama masih dalam perjalanan. Perjalanan adalah udzur yang membolehkan kita menjama’ shalat. Bila perjalanan itu sudah selesai, maka kita sudah tidak boleh lagi menjama’ shalat.

Dan perjalanan itu berakhir dengan sampainya kita ke rumah. Maka bila anda sudah sampai di rumah, tidak ada lagi kebolehan untuk menjama’ shalat. Jadi shalatlah sebelum sampai di rumah agar shalat jama’ anda sah hukumnya.

Jarak Jakarta Bogor

Selain karena perjalanan, boleh juga menjama’ shalat karena alasan lain seperti hujan atau karena sakit, yang menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi: كان النبي ص جمع من غير خوف ولا مطر

Bahwa Rasulullah SAW menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.

Namun ada satu hal yang agak fatal dalam kasus anda, yaitu kebolehan menjama’ itu lantaran karena perjalanan, maka membutuhkan jarak perjalanan minimal sejauh 2 marhalah. Maksudnya, perjalanan itu minimal ditempuh oleh berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari, dengan langkah yang biasa, sudah termasuk isterirahat, makan dan minum. Tap yang dijadikan ukuran bukan lamanya, melainkan jaraknya.

Lalu jarak sejauh itu oleh para ulama konversikan ke dalam besaran jarak di masa kini setara dengan 89 km atau tepatnya 88,704 km.

Sedangkan jarak Jakarta Bogor tidak lebih dari 60 km. Maka jarak sependek itu masih belum memenuhi syarat untuk bolehnya menjama’ shalat, menurut jumhur (mayoritas) ulama.

Namun memang ada sebagian ulama yang tidak mensyaratkan jarak minimal untuk kebolehan menjama’ shalat. Misalnya, Ibnul Qayyim yang berpendapat tidak ada jarak minimal untuk kebolehan menjama’ shalat. Pokoknya, asalkan seseorang bepergian, dia sudah boleh menjama’.

Ibnu Abi Syabah meriwayatkan sebuah hadits yang sayangnya mauquf (tidak sampai kepada nabi SAW), tapi riwayatnya tetap shahih, bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Apabila kamu keluar sejauh 1 mil, maka kamu boleh menqashar shalat."

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.