Intelijen dan Gerakan Islam

Era reformasi yang didengung-dengungkan sebagai perbaikan dari era sebelumnya, tetap saja seperti memposisikan Islam sebagai ancaman. Hal ini terlihat dari gerak-gerik aparat keamanan yang selalu membayangi gerakan Islam, baik yang formal maupun yang tidak. Kenapa?

Salah satu model manuver intelijen yang kerap disuarakan salah seorang mantan pejabatnya, Abdullah Mahmud Hendro Priyono, bahwa intelijen yang hebat adalah yang mampu masuk ke tubuh organisasi yang dianggap musuh, kemudian melakukan pembusukan atau pengalihan arah dari dalam. Dengan kata lain, intelijen tidak lagi dianggap hebat kalau masuk ke ‘kaki’ atau ‘badan’ sebuah organisasi, tapi harus mampu menjadi ‘kepala’.

Dari sini, tidak heran jka di era reformasi saat ini, mantan pejabat intelijen tiba-tiba menjadi pengurus organisasi Islam. Lihat saja susunan pengurus PBNU 2010-2015 saat ini. Publik awalnya terkejut dengan sosok wakil BIN, As’ad Said Ali, yang duduk menjadi wakil Ketua Pelaksana NU mendampingi Said Aqil Siradj. Tapi keterkejutan itu pun akhirnya seperti menjadi biasa ketika intelijen sipil yang sudah mengabdi selama 35 tahun itu pun bercerita kalau ia pernah nyantri di pesantren Krapyak.

“Saya orang NU asli,” ujar mantan wakil BIN yang sebagian besar karirnya di timur tengah ini. Dengan kemampuan bahasa Arab yang begitu fasih, As’ad pun semakin akrab dengan tokoh-tokoh NU yang lain.

Mantan pejabat intelijen pun muncul dalam bursa calon ketua umum partai berlambang Ka’bah, PPP. Rencana muktamar bulan Juli mendatang, pernah menyebut nama Muchdi PR. Mantan Deputi IV BIN ini pun menyatakan siap maju. Sayangnya, ia masih terganjal aturan dasar partai yang mengharuskan calon berkiprah dalam struktur sekurang-kurangnya satu periode. Sementara Muchdi baru bergabung pada Ferbruari 2011.

Sosok Muchdi pun pernah muncul dalam bursa calon Ketua PP Muhammadiyah dalam Muktamar Seabad di bulan Juli 2010 lalu. Lagi-lagi, Muchdi belum berkesempatan dalam persaingan 13 calon pemimpin Muhammadiyah saat itu.

Dalam tataran organisasi formal, masuknya mantan pejabat intelijen mungkin dianggap biasa, seperti masuknya tokoh-tokoh militer ke organisasi politik atau massa. Tapi, bagaimana dengan organisasi yang tidak formal, bahkan terkesan masuk dalam sebutan ‘Islam garis keras’.

Sebut saja NII KW 9 yang bukan rahasia lagi menempatkan Ma’had Al-Zaitun sebagai pusat gerakannya. Justru, publik seperti mempunyai kesimpulan sendiri bahwa ada hubungan yang erat antara aparat keamanan dalam hal ini intelijen dengan gerakan NII KW 9. Tapi, sinyalemen itu sulit dibuktikan, sesulit aparat keamanan memberangus dugaan NII di pesantren 1200 hektar itu.

Boleh jadi, masih banyak organisasi Islam lain yang pernah atau mungkin sedang kemasukan intelijen. Dari sinilah sekali lagi, Islam yang menjadi agama mayoritas di negeri ini sulit untuk tidak dikatakan sebagai ancaman. Seperti itukah intelijen di gerakan non Islam seperti Republik Maluku Selatan, Papua Merdeka, dan lain-lain yang sudah jelas-jelas ingin menegakkan negara dalam NKRI.

**

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang telah memberikan komentar dan saran pada Dialog sebelumnya. Semoga bermanfaat untuk kita semua.