Adigium dalam politik, bahwa tidak ada musuh yang abadi, tapi yang ada adalah kepentingan yang abadi, nampaknya menjadi kenyataan. Betapa Presiden SBY, melalui Partai Demokrat, akhirnya memberikan dukungannya kepada Taufik Kemas, Ketua Dewan Pembina PDIP, menjadi Ketua MPR.
PDIP selama lima tahun (2004-2009), memposisikan dirinya sebagai partai opisisi, dan dalam pilpres yang lalu, Megawati menjadi salah satu penantang SBY. Tapi, melalui lobby yang sangat intensif dari kubu SBY, dan sikap Taufiq Kemas, yang pragmatis, akhirnya Megawati luluh, dan bersedia menjadi bagian dari pemerintahan SBY, dan sebagai aprovalnya, Taufik Kemas didudukung menjadi Ketua MPR. Sementara itu, PKS yang sudah ‘all out’ membela dan mendukung SBY, kini ditinggalkannya. Padahal, para elite PKS mengatakan, sebelum pemilihan Ketua MPR, tetap memegang janji SBY, yang tetap memberikan dukungan kepada Hidayat. Tapi, kini kenyataannya, justru yang di didukung SBY, tak lain adalah Taufik Kemas.
Untuk menunjukkan dukungan politiknya Presiden SBY, saat pelantikan Taufik Kemas, sebagai Ketua MPR, Presiden SBY hadhir. Ini hakekatnya membuka tabir, yang selama ini masih menjadi misteri, ke mana langkah Presiden SBY usai pemilu. Arah poliltik SBY, kini sudah nampak pasti, di mana untuk menciptakan pemerintahannya lima tahun yan akan datang, SBY menggandeng partai-partai besar, dan yang menjadi inti dukungannya, tak lain adalah Demokrat, PDIP dan Golkar.
Jadi, lima tahun yang akan datang akan lahir, tiga kekuatan politik, ‘triangle power’ (segi tiga kekuasaan), yang akan menguasai jagad politik Indonesia, dan yang menjadi ‘episentrumnya’ (titik pusatnya) adalah Presiden SBY. Dengan langkah ini Presiden SBY, ingin pemerintahannya mendapatkan dukungang yang kuat.
Dan, sekarang SBY tinggal menunggu hasil Munas Golkar, di Pakanbaru, jika yang terpilih Abu Rizal Bakri, maka telah selesai missi Presiden SBY, mendapatkan dukungan dari partai-partai besar, bagi pemerintahannya lima tahun mendatang. Kalau ini yang lahir, sebagian kalangan, mengkawatirkan munculnya kembali otoritarianisme baru di Indonesia.
Rumor yang muncul, juga Presiden SBY akan merangkul Prabowo, dan diberi konsesi yaitu departemen pertanian, sesuai dengan gagasan Prabowo, yang selama ini, ingin membela para petani, yang menjadi jargon kampanye yang lalu. Dengan demikian langkah Presiden SBY, bertujuan memasukkan seluruh kekuatan politik besar, temasuk Partai Gerindra, yang dalam pilpres lalu, di mana Prabowo bersama dengan Megawati menjadi rival politik SBY.
Tentu, yang paling apes, tak lain, Partai PKS, yang sebelum pemilu legislative dan pemilu presiden sudah mengerahkan seluruh potensinya secara ‘all out’ mendukung Partai Demokrat dan SBY, tapi kini ditinggalkan begitu saja. Saat menjelang pemilu lalu, di mana-mana di Jakarta, tersebar, spanduk, yang berbunyi, “SBY presidenku, dan PKS partaiku”.
Tapi, kini usai pemilu legislative dan pemilu presiden, segalanya telah berubah. Bahkan, usai pilpres itupun, nampaknya skenario, pencalonan wapres, tidak sesuai yang diharapkan oleh PKS, di mana yang muncul adalah Boediono,yang banyak dikritik pengamat karena, dianggap kebijakannya dibidang ekonomi, menunjukkan kearah yang pro-pasar (kapitalis), alias neo-lib.
Tapi, SBY tidak bergeming, dan tetap memilih Boediono, dan kenyataannya ketika berlangsung pendeklarasian pasangan SBY-Boediono, pimpinan PKS tetap hadhir di gedung Sabuga, Bandung.
Begitu, pula ketika sudah ramai, di media, di mana SBY dan Partai Demokrat memilih Taufik Kemas, kalangan pimpinan Partai PKS, tetap menyatakan bahwa mereka, menyatakan ‘Tetap memegang janji SBY, yang mendukung Hidayat menjadi Ketua MPR’. Tapi, janji SBY itu, hanyalah tinggal janji, dan faktanya yang didukung SBY dan Partai Demokrat adalah Taufik Kemas.
Burhanuddin Muhtadi dari LSI menyatakan, berkoalisinya PDIP dan Demokrat akan merusak hubungan Demokrat dengan partai yang sedari awal mendukung SBY. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kata Burhanuddin, akan menjadi partai paling tersakiti.’ Sementara itu, Presiden PKS, Tifatul Sembiring, menyatakan, ‘PKS dikerjain”, tukasnya. Meskipun, sudah ‘dihabisi’ SBY, tapi Tifatul masih menyatakan optimisnya. “Saya masih optimis koalisi ini (PKS-Demokrat) masih bisas bekerjasama”, tambah Tifatul. (Republika, 5/10/2009).
Adakah PKS masih akan tetap memberikan dukungannya kepada SBY? Atau akan mereposisi dirinya lima tahun ke depan? Tentu masih akan ada satu phase lagi, yaitu dalam penyusunan kabinet, pasca pelantikan Presiden SBY. Dan, yang terakhir ini akan menunjukkan bagaimana tingkat persepsi SBY terhadap PKS, yang selama ini telah digunakan dan digalang untuk mewujudkan kekuasaannya di periode kedua.
Kami berharap pendapat, pandangan, serta sikap dari para pembaca Eramuslim, khususnya dengan peristiwa ini.
+++
Dengan demikian rubric dialog sebelumnya kami tutup, dan redaksi menyampaikan terima kasih atas perhatian para pembaca.