Membaca Ulang Sejarah, Meretas Kebangkitan Modern

Sejarah kejayaan dan kejatuhan peradaban bangsa-bangsa dipergilirkan. Peradaban besar menemui masa keemasan masing-masing. Satu sama lain saling menyerang dan memperluas wilayah pengaruh, penaklukan bangsa lain adalah bagian dari kejayaan itu sendiri. Kejayaan dan kekuasaan itu tidak given melainkan harus diperjuangkan. Zero Sum Game, hasrat saling mengalahkan menjadi hukum dasar kekuasaan.

Dalam kitab suci Al Qur’an banyak dikisahkan jatuh bangunnya peradaban, yang menandakan ketidakberdayaan manusia mempertahankan keabadian kekuasaan. Kejatuhan peradaban terbaik sekalipun adalah kepastian yang sudah menjadi sunnatullah pergiliran kekuasaan. Penyebab keruntuhan peradaban terjadi karena berbagai sebab, misalnya karena ditaklukkan musuh, kejadian alam seperti perubahan iklim, bencana banjir, wabah penyakit dan lainnya, maupun oleh perilaku menyimpang kaum dan penguasanya sendiri.

Sejarah nabi-nabi pun diwarnai dengan perjuangan meraih kekuasaan dan penaklukan. Kita paham bahwa motifnya adalah untuk lebih memperluas ruang menyebarkan kebajikan kepada umat berdasarkan pesan Tuhan. Kisah Daud as., Musa as., Yusuf as., dan Muhammad SAW memberikan yang berbeda dalam metode perjuangan meraih kekuasaan menurut tuntutan keadaan saat itu.

Kita membaca sejarah kejayaan peradaban Yunani, Romawi, Islam, Persi, Tiongkok, Asia Timur, India, Eropa, lalu saat ini Amerika yang disebut-sebut sebagai imperium abad modern. Samuel Huntington sendiri sebagai seorang intelektual Barat menceritakan dalam bukunya The Clash of Civilization tentang pertarungan tujuh peradaban besar yang akhirnya dimenangkan oleh kapitalisme global yang diwakili Amerika dan negara-negara Eropa. Hipotesa Huntington menyebutkan penantang sengit peradaban kapitalisme di Barat adalah Islam. Analisis benturan antar peradaban juga diwakili peradaban Konfusianisme (China), peradaban Hindu (India), peradaban Asia Timur (Jepang dan Korea), maupun peradaban Animisme (sebagian Afrika), dan lainnya. Barangkali Huntington lupa menghitung peradaban Persi (yang kini diwakili Iran) yang pernah berjaya selama lebih dari 30 abad.

Diabad modern yang ditandai dengan penggunaan teknologi dan sistem informasi dalam merebut dominasi peradaban, hasrat mendominasi semakin tinggi. Perang Dunia I dan II membunuh jutaan umat manusia, puluhan juta lainnya diperbudak dan terusir dari negerinya. Ujung perang dunia kedua mendorong penggunaan teknologi nuklir dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Jepang.

Perang terus berlanjut dalam bentuk perang dingin (cold war) yang ditandai dengan perlombaan senjata dan nuklir, penguatan intelijen, penguasaan energi dunia, proteksi pangan. Lalu dunia dijebak dalam pembagian blok antara Amerika dan sekutunya di Barat dan Uni Soviet bersama sekutunya di blok Timur. Siapakah yang mengatakan Uni Soviet mewakili Timur?

Sejarah ekonomi politik merupakan sejarah panjang jatuh bangun dan pertarungan antar bangsa merebut kekuasaan dunia dan merebut sumber kekayaannya. Sejak model kuno merkantilisme hingga model mutakhir neoliberalisme. Spanyol dan Inggris di abad pertengahan berlomba mencari benua baru untuk mencari kekayaan alam, seperti batu mulia dan rempah-rempah, serta lahan baru untuk pangan dan sandang, yang kemudian ini disebut Merkantilisme. Adam Smith yang memulai teori kapital dan kemudian menjadi rujukan kapitalisme hingga mencapai kejayaannya yang ditandai lahirnya revolusi industri di Inggris. Karl Marx membantah kapitalisme dengan teori sosialis komunisme, yang kemudian menjadi pedoman awal ekonomi sosialis hingga kemudian menemukan kebesarannya ditandai terjadinya revolusi Bolsevijk yang mendorong lahirnya negara Uni Soviet.

Saat terjadi depresi global yang meluas di Amerika dan negara-negara Eropa (The Great Depression) barulah disadari bahwa perlu suatu pandangan makro atas berbagai peristiwa sosial ekonomi, yang kemudian mendorong lahirnya ekonomi makro, pelopor pemikirannya adalah Maynard Keynes yang melahirkan aliran Keynesian. Pemikiran ekonomi politik terus mengalami evolusi dan saling melengkapi dalam tataran pengambilan kebijakan ekonomi dan politik suatu negara (mix policy).

Hanya saja, hasrat mendominasi dan berkuasa adalah kebutuhan tersendiri dari bangsa-bangsa di dunia. Atas nama ideologi, agama, faktor sejarah, suku bangsa, dan budaya, para penguasa bangsa sering mengobarkan semangat agresi menginvasi bangsa lain, yang dengan mudah diterima mentah-mentah oleh rakyatnya. Padahal itu semua dilandasi oleh keserakahan menguasai bangsa yang lemah tetapi kaya dengan energi, pangan dan kekayaan alam lainnya. Persis kembali ke zaman merkantilisme, ketika kerajaan Eropa seperti Spanyol, Inggris dan Portugal mengirim pasukannya mencari rempah-rempah dan sumber alam di benua Asia dan Afrika sambil menjajah rakyat setempat.

Meskipun kita juga memahami, sejarah Asia sendiri bukanlah sepenuhnya sebagai objek penjajahan dan perbudakan, kita tahu bagaimana kejayaan peradaban yang indah dari Delhi, Beijing hingga Istanbul. Selepas kejatuhan Roma, peradaban di Asia menemukan masa kejayaan ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan penyebaran pandangan keagamaan, seperti gerakan penyebaran Budhisme di Tibet maupun Islam di Asia Tenggara.

Indonesia adalah salah satu negeri objek merkantilisme sejak dulu. Malapetaka sejarah dimulai saat VOC (Vereenigde Oost-Indishe Compagnie) Belanda menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun sejak abad ke-17. Mereka menjarah kekayaan alam dan melakukan politik adu domba antara raja-raja setempat (devide et impera), dengan berpura-pura membela yang satu dan memusuhi yang lain, dan hasilnya penjajah tetap keluar sebagai pemenang. VOC kemudian bangkrut dan meninggalkan utang dalam jumlah besar. Seiring bergulirnya perang dunia kedua, pasukan Belanda meninggalkan Indonesia digantikan penjajahan Jepang.

Berakhirnya Perang Dunia II akibat kekalahan Jepang dari sekutu pada 1945 mendorong pemuda mendesak elit politik agar memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Soekarno Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dengan wilayah yang meliputi semua bekas jajahan Belanda. Bahkan di saat sudah merdeka pun Belanda masih tetap ingin kembali menjajah negeri ini dengan melakukan agresi hingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan hingga 1949, bahkan Irian Barat hingga tetap dicaplok dan baru direbut pada 1964.

Presiden Soekarno memulai pemerintahan dengan utang yang ditinggalkan Belanda milyaran dollar AS. Padahal penjajah yang seharusnya memberikan kompensasi atas penindasan yang dilakukan selama ratusan tahun pada rakyat Indonesia. Akibatnya pemerintah tidak memiliki cukup sumber daya untuk membangun, dan rakyat kekurangan pangan. Pemerintah mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk pembangunan infrastruktur seperti gedung parlemen (DPR) dan gelanggang olahraga di senayan, monas dan masjid Istiqlal, akibatnya inflasi tidak terkendali mencapai 700 persen. Soekarno melakukan mobilisasi nasionalisme dengan slogan ‘Ganyang Malaysia‘. Namun situasi tetap tidak terkendali, rakyat tidak puas dan pemberontakan terjadi di berbagai daerah. hingga terjadilah peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pada 1965 berdasarkan Supersemar.

Orde Baru dengan harapan baru rakyat tentu juga semangat baru. Pembangunan di setiap sektor, terutama infrastruktur dan ketahanan pangan (swasembada pangan). Situasi yang kemudian dimanfaatkan asing untuk mencengkeram perekonomian Indonesia. Pada tahun 1974 dan 1978 terjadi gerakan mahasiswa dan amuk massa menolak barang-barang asing terutama milik Jepang di Indonesia, mobil dan alat elektronik buatan Jepang dibakar. Pada tahun ’80-an terjadi kontrak karya jangka panjang antara pemerintah dan pihak Freeport untuk mengelola tambang emas di Papua, selanjutnya perusahaan tambang dan korporasi internasional (Multinational Corporate) menguasai sektor migas dan non migas negeri ini. Penjajahan ekonomi kembali terjadi, rakyat tidak merasakan kesejahteraan dinegerinya yang berlimpah kekayaan alam.

Kenyataannya, tidak hanya di zaman Orde Baru, di Orde Reformasi kita menyaksikan aset negara (BUMN) seperti Indosat dijual, bank-bank dijual, tambang dikuasai asing bahkan kontraknya diperpanjang, kejahatan besar perbankan terjadi lewat BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), sehingga negeri kita mengalami krisis yang amat parah dalam berbagai dimensi seperti krisis energi, krisis pangan, krisis infrastruktur, krisis finansial dan krisis fiskal. Pemimpin berkuasa lupa bahwa penjajah akan terus melakukan segala cara untuk menguasai kekayaan alam yang berlimpah, agar dapat disedot ke negeri mereka.

Saran dan komentar bisa dialamatkan ke:
[email protected]
taufiqamrullah.blogspot.com

Profil Penulis:

Taufiq Amrullah, putra Bugis yang lahir di Malua, Enrekang, Sulawesi Selatan pada 6 Juni 1980. Menamatkan pendidikan sarjananya di jurusan Teknik Elektro Universitas Hasanuddin Makassar pada 1998-2002, dan pascasarjana program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (MPKP FE UI) pada 2004-2006. Pendidikan informal diperoleh dengan mengikuti berbagai training, kursus dan studi banding di bidang teknik, ekonomi, sosial dan politik. Pada Agustus-September 2008 mengikuti International Visitor Leadership Program di lima negara bagian di Amerika Serikat mengenai ‘Grassroot Democracy: Campaign and Election’.