Mengentaskan Problematika Bangsa

Gerakan Cinta Al-Qur’an untuk Tanah Air
Mengentaskan Problematika Bangsa

Di banyak pelosok negeri al-Qur’an sulit didapatkan. Tak hanya meratakan distribusi al-Qur’an, Gerakan cinta al-Qur’an menumbuhkan kesadaran generasi muda cinta terhadap Qur’an.

Oleh Rivai Hutapea

Di kota-kota besar di Indonesia, al-Qur’an bukan barang langka. Setiap orang dengan mudah mendapatkan mushaf al-Qur’an. Mushaf al-Qur’an dapat dijumpai dan dibeli di banyak toko atau lapak-lapak buku di sudut-sudut kota.

Bahkan, di rumah-rumah keluarga Muslim di kota-kota besar, jumlah al-Qur’an kemungkinan banyak. Sebab, setiap anggota keluarga memegang satu mushaf al-Qur’an dengan kondisi yang lebih dari memadai.

Bertolak belakang keadaannya di pelosok-pelosok negeri. Seperti di banyak daerah-daerah di negeri ini, mushaf al-Qur’an termasuk barang langka. Al-Qur’an sulit didapat di sana. Kalaupun ada jumlahnya sangat terbatas. Sebuah keistimewaan jika satu keluarga memiliki satu buah al-Qur’an di rumahnya. Itu pun biasanya dengan kondisi mushaf yang tidak baik lagi.

Padahal, negeri ini berpenduduk Islam terbesar di dunia. Tidak kurang 200 juta orang tercatat sebagai pemeluk Islam di sini. Dunia mengenal penduduk Indonesia selain ramah dan santun juga sangat reliji dan bermoral tinggi. Namun kenapa penyebaran mushaf al-Qur’an belum merata ke pelosok negeri.

Tentu saja fenomena ini bukan untuk diratapi, apalagi ditangisi. Semua komponen umat semestinya berusaha untuk menyelesaikan problem kelangkaan mushaf al-Qur’an ini. Bahkan tidak sekadar jargon, ia seharusnya menjadi sebuah gerakan nasional yang bersifat masif berkelanjutan ke seantero negeri.

Gerakan Cinta al-Qur’an (Genta) untuk tanah air inilah yang saat ini akan digulirkan oleh Asosiasi Penerbit al-Qur’an Indonesia (APQI) melalui event Festival Al-Qur’an Indonesia (FAI) yang digelar pada 22-30 Juli 2011 di gedung Bayt al-Qur’an, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Menurut Ketua Panitia Festival al-Qur’an Indonsia (FAI) Muhammad Asrori, Gerakan Cinta al-Qur’an akan mulai digulirkan saat event FAI dan akan terus dicanangkan ke berbagai pelosok negeri. “Dengan gerakan ini kami berharap kecintaan terhadap al-Qur’an akan mendarah daging ke generasi muda Islam harapan masa depan,” ujarnya penuh semangat.

Tak sekadar berhenti sampai di situ. Laki-laki gempal enerjik ini juga bercita-cita di masa akan datang budaya dan kultur bangsa akan berubah menjadi lebih baik dengan kedekatan anak bangsa ini terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi solusi efektif mengentaskan berbagai problem bangsa.

Sebagai perwujudan dari Gerakan Cinta al-Qur’an untuk tanah air ini, tidak kurang 40 penerbit al-Qur’an di seluruh Indonesia akan berpartisipasi memeriahkan Festival al-Qur’an Indonesia (FAI) di Bayt al-Qur’an, TMII ini.

Berbagai jenis al-Qur’an, baik Qur’an bergambar, terjemahan perkata, Qur’an tafsir dan makna, Qur’an berwarna dan bergambar serta Qur’an terjemahan per juz besutan para penerbit akan tampil di even tahunan FAI ini.

Hebohnya lagi, para penerbit memberikan harga diskon yang cukup menggiurkan, yaitu hingga tembus 50% untuk jenis al-Qur’an tertentu kepada para pengunjung FAI. “Para pengunjung dapat memberikan wakaf al-Qur’an lebih banyak lagi dengan membeli al-Qur’an di pameran al-Qur’an terbesar di Indonesia ini,” tandas Asrori.

Sebagai bagian dari rangkaian acara Gerakan Cinta al-Qur’an tanah air di FAI, APQI juga akan menyematkan Bintang Qur’an Indonesia kepada keluarga Indonesia yang berhasil mengajak keluarganya mencintai al-Qur’an.

Pemberian Bintang Qur’an Indonesia ini menurut Asrori sebagai bentuk penghargaan APQI terhadap mereka yang berhasil mengajak anggota keluarganya mencintai al-Qur’an. Pemberian Bintang Qur’an Indonesia ini sekaligus juga dimaksudkan sebagai motivasi kepada seluruh keluarga Muslim agar mengajak seluruh anggota keluarganya cinta kepada firman Allah SWT ini.

“Untuk tahun ini Bintang Qur’an Indonesia akan kami berikan kepada keluarga aktivis Islam Mutammimul Ula yang seluruh anggota keluarganya hafidz Qur’an dan sebagai teladan bagi seluruh keluarga Muslim,” tambah Asrori.

Selain dimeriahkan dengan berbagai lomba gambar, tahfidz anak, talkshow dengan para tokoh nasional sebagai bagian yang tak terpisahkan dari event FAI, APQI bekerjasama dengan Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an juga menggelar pameran mushaf al-Qur’an.

Berbagai manuskrif al-Qur’an dipamerkan di FAI ini. Begitu juga dari segi ukuran, dari mushaf terkecil hingga mushaf terbesar dipamerkan di ajang FAI tahun ini. Sejarah penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia juga terekam di pameran ini.

Al-Qur’an mushaf Wonosobo adalah salah satu mushaf jumbo dari sekian banyak mushaf al-Qur’an yang dipamerkan di FAI kali ini. Mushaf ini berukuran 150×200 cm dengan berat 300 kg. Penulisnya adalah dua orang santri Pondok Pesantren al-Asy’ariyah yaitu Abdul Malik dan Hayatuddin, Kalibeber, Wonosobo Pimpinan KH Muntaha. Mushaf ini ditulis dari tanggal 16 Oktober 1991 sampai 7 Desember 1992.

Ada juga al-Qur’an mushaf Sundawi yang berukuran 100×70 cm dengan berat 250 kg. Mushaf ini ditulis di atas kertas conqueror, type ripple art special, cina white dengan jumlah halaman sebanyk 762. Setiap halaman terdiri dari 15 baris dengan gaya penulisan kombinasi naskwi, kuvi dan tsulusi. Ide ragam hias berasal dari tumbuhan khas Jawa Barat.

Tak hanya itu, di ajang pemeran al-Qur’an terbesar ini juga para pengunjung dapat menjumpai mushaf al-Qur’an yang berasal dari ratusan tahun silam. Contohnya adalah al-Qur’an Mushaf la lino. Mushaf Qur’an ini berasal dari Kesultanan Bima, NTB dengan ukuran sebesar 35×22 cm. Qur’an ini ditulis di atas kertas Eropa dengan countermark tertera John Hayes 1815.

Jumlah halaman Qur’an ini sebanyak 598 halaman dengan 7 halaman kosong dan lima halaman doa khatmul qur’a. Masing-masing halaman terdiri dari 15 baris. Hingga kini kondisi naskah kuno ini cukup baik, meskipun beberapa halaman berlubang dan sebagian kertas termakan tinta.

Naskah ini sendiri adalah wakah dari H Siti Maryam Rakhmat Shalahuddin putri ke-7 Sultan Bima. Qur’an ini tercatat sebagai peninggalan Sltan Bima terakhir, yaitu Sultan Muhammad Shalahuddin yang dikenal sebagai seoang ulama dan ahli dalam ilmu al-Qur’an. Dalam bahasa Bima al-Qur’an ini disebut dengan nama la lino.

Ada lagi mushaf al-Qur’an yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mushaf Qur’an Kerinci misalnya. Mushaf ini ditulis oleh Khatib Saleh Imam Marozi dengan ukuran naskah 31×19 cm. Setiap halaman terdiri dai 15 baris. Mushaf ini dipakai penulisnya untuk mengajar ilmu agama di daerah Kerinci.

Mushaf ukuran mini juga tak kalah menariknya dibanding qur’an ukuran standar dan jumbo. Mushaf mini didominasi oleh mushaf Istambul. Seperti Qur’an mini yang berukuran 4x4x1,5 cm dengan ketebalan 486 halaman ini. Diterbitkan pertama kali tahun 1980. Mushaf ini termasuk mushaf sudut. Penulisnya berasal dari Makkah bernama Sayid Muhammad Abdul Latif.

Sebelum ditemukan mesin cetak, mushaf al-Qur’an disalin satu per satu dengan tangan. Karena itu, unsur kreativitas penyalin mushaf sangat menonjol yang tercermin dalam iluminasi (hiasan) yang beragam.

Dalam perkembangannya, setelah mesin cetak ditemukan abad ke-19, penyalinan mushaf tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan sehingga kreativitas menghias al-Qur’an juga ikut surut. Setelah hampir satu abad terhenti, era baru dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan mushaf istiqlal pada tahun 1991. Perkembangan selanjutnya, kreativitas mushaf indah semakin marak hingga saat ini.

Gerakan Cinta al-Qur’an untuk tanah air tak hanya perlu, juga penting untuk didukung oleh setiap elemen umat. Sehingga, target gerakan tumbuh kesadaran mencintai al-Qur’an dapat tercapai dengan cepat. Siap mau ikutan.