Polisi Salah Asuh

mabes polriPolri Tercoreng

Belakangan, rakyat negeri ini ramai dengan pemberitaan tentang perilaku menyeleweng polisi. Ya, lagi-lagi polisi. Tak hanya disumpah-serapahi saat ada pemeriksaan SIM dan STNK di jalan, kepolisian nampaknya juga mulai kehilangan kewibawaan sebagai sebuah lembaga pengayom umat.

Sebutlah kasus korupsi simulator SIM yang telah merugikan negara milyaran rupiah beberapa waktu lalu. Berlanjut hingga mencuat sejumlah fakta seperti polisi yang mabuk di tempat umum, polisi dalam foto bugil serta sejumlah aksi koboi polisi yang menewaskan individu tak bersalah.

Polri tercoreng, itu sudah jelas. Masyarakat pun makin mempertanyakan kinerja Polri. Belum lagi dengan mahalnya ‘uang masuk’ jika ingin masuk sekolah perwira polisi, dari berbagai jenis strata. Polri yang seharusnya menjadi pengayom sekaligus teladan bagi masyarakat awam, nyatanya kini harus mempertaruhkan nama baiknya. Keberadaan Polri jadi seolah ‘mengancam’ kualitas generasi selanjutnya. Jika hingga kini masih banyak anak kecil yang bercita-cita jadi polisi, nampaknya para orang tua harus lebih waspada.

 

Polri, Lembaga Salah Asuh

Tak cukup sampai di situ. Bagaimanapun, Polri sejak negeri ini merdeka adalah lembaga yang tumbuh sebagai hasil asuhan sistem yang tegak dulu dan kini. Demikian pula dari sisi kinerjanya, tak bisa dilepaskan dari hasil pengasuhan dan pembinaan kepribadian para perwiranya. Jika ingin memperbaiki Polri, maka harus terlebih dahulu mengganti sistem pengasuhnya ini.

Harus diakui, Polri dilahirkan dari rahim sistem demokrasi, dengan sistem kehidupan sekular sebagai inang pengasuhnya. Terlebih setelah sistem pengasuhnya bertambah satu, yaitu sistem neoliberal. Akibatnya, Polri tumbuh bagaikan anak yang sama sekali tak pernah dikenalkan pada hakikat kebenaran. Lihat saja, lembaga Polri ibarat tambang emas untuk memuluskan sejumlah aksi mafia uang dan peradilan. Bahkan karakternya bak sarang penyamun yang seharusnya mereka berantas. Demikian halnya, Polri pun jauh dari peran hakikinya sebagai penegak kebenaran. Karena dalam sistem demokrasi, kebenaran bersifat relatif dan berstandar ganda, tergantung siapa yang punya dana. Si Pemilik Dana-lah yang mampu membeli hukum dan peradilan, sehingga harus mengesampingkan kebenaran sejati. Intinya, polisi dalam sistem demokrasi, akan selalu buta pada kebenaran.

Mungkin memang ada individu-individu polisi yang jujur dan masih idealis. Tapi berapa gelintir jumlahnya jika harus dibandingkan dengan yang tidak jujur dan tidak idealis. Jenderal Hoegeng Imam Santoso mungkin satu polisi jujur dan idealis di antara yang jauh lebih banyak tak seperti dirinya.

Kapolri Jenderal Hoegeng diberhentikan Presiden Soeharto. Banyak pihak mensinyalir adanya motif politik ada di belakang pencopotan ini. Sejak mau dilantik sebagai Kapolri, Hoegeng memang sudah tak cocok dengan Soeharto. Sepak terjang Hoegeng membuat kroni keluarga Cendana terusik. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan orang-orang dekat Soeharto. Puncak perseteruan itu, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971. Baru tiga tahun, Hoegeng menjabat. Seharusnya masih ada dua tahun lagi. Ironinya dengan alasan penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun. Hoegeng menghadap Soeharto, dia menanyakan mengapa dicopot. Secara tersirat, Soeharto berkata tak ada tempat untuk Hoegeng lagi. Soeharto menawari Hoegeng dengan jabatan sebagai duta besar atau diplomat di negara lain. Sebuah kebiasaan untuk membuang mereka yang kritis terhadap Orde Baru. Hoegeng menolaknya (merdeka.com, 25/07/2013). Ujung karirnya mengharuskan Pak Hoegeng keluar karena tak ingin idealismenya terkoyak oleh sistem demokrasi yang saat itu memang sudah tak adil pada kebenaran.

 

Polisi, Jabatan Bermuatan Ibadah

Selanjutnya, untuk menjadi perwira polisi, hendaknya ditinjau dari hakikat profesi dan peran polisi itu sendiri. Sebagai sebuah aturan kehidupan, Islam jelas punya aturan untuk hal ini. Menjadi polisi hendaknya merupakan bagian dari aktivitas ibadah, sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Demikian halnya, Rasul saw telah mencontohkan dengan pembentukan lembaga kepolisian dalam Khilafah.

Saat memilih para pejabatnya, Rasul saw memiliki standarisasi mutlak yang harus dipenuhi. Ketika mengangkat seorang pejabat, Rasul saw memilih mereka yang paling dapat berbuat baik dalam kedudukan yang akan disandangnya, selain hatinya telah dipenuhi dengan keimanan (Kitab Daulah Islam).

Imam al-Bukhari telah menuturkan riwayat dari Anas, “Sesungguhnya Qais bin Saad di hadapan Rasulullah saw. adalah berposisi sebagai amir kepolisian.” Qais di sini adalah Qais bin Saad bin Ubadah al-Anshari al-Khazraji. Imam at-Tirmidzi juga telah menuturkan riwayat: “Qais bin Saad telah diangkat oleh Nabi saw. dalam posisi sebagai amir kepolisian.” Al-Anshari berkata, “Yakni orang yang mengurusi urusan-urusan kepolisian.” Ibn Hibban menerjemahkan hadis tersebut, ia berkata, “Yakni menjaga Nabi saw. dari perbuatan kaum musyrik di majelis beliau jika kaum musyrik itu menemui beliau.”

Dalam struktur negara Khilafah, satuan kepolisian beranggotakan laki-laki yang sudah balig dan memiliki kewarganegaraan. Wanita boleh menjadi anggota kepolisian untuk melaksanakan tugas-tugas wanita yang memiliki hubungan dengan tugas-tugas keamanan dalam negeri. Negara akan mengeluarkan undang-undang yang khusus untuk mengatur masalah ini sesuai dengan hukum-hukum syariah.

Al-Azhari berkata, “Polisi adalah setiap kesatuan yang merupakan kesatuan terbaik. Di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi, karena mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Bahkan dikatakan mereka adalah kesatuan terbaik yang lebih menonjol daripada tentara. Dikatakan bahwa mereka dinamakan syurthah (polisi) karena mereka memiliki ciri-ciri yang telah dikenal, baik dari pakaian maupun kemampuan geraknya.”

Pendapat di atas adalah juga yang dipilih al-Ashma’i. Bahwa polisi adalah kesatuan terbaik yang terjun dalam perang dan mereka siap untuk mati. Polisi adalah kesatuan di antara para penolong wali. Ia disebut dengan syurthi seperti halnya sebutan turki dan juhani. Mereka dinamakan demikian karena diri mereka dapat diketahui dengan tanda-tanda yang sudah dikenal luas.

Satuan kepolisian negara Khilafah ada dua jenis: polisi militer dan polisi yang berada di samping penguasa. Polisi militer adalah bagian dari tentara yang memiliki tanda-tanda yang lebih menonjol daripada pasukan lainya untuk mendisiplinkan urusan-urusan pasukan. Polisi militer merupakan bagian dari pasukan yang berada di bawah Amirul Jihad, yaitu berada di bawah Departemen Perang. Satuan kepolisian militer memiliki seragam khusus dan ciri-ciri tertentu untuk menjaga keamanan. Adapun polisi yang selalu siap di samping penguasa berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (Kitab Struktur Negara Khilafah).

Khatimah

Sudah saatnya lembaga kepolisian memperbaiki kinerja dalam rangka mengembalikan kewibawaannya. Peran polisi di tengah-tengah masyarakat adalah menegakkan kebenaran. Dalam Islam, hal ini disebut ‘amar ma’ruf nahyi mungkar. Dari sisi inilah sejatinya kewibawaan lembaga kepolisian ini harus dibangun dan dijaga, sehingga polisi pun memang layak disebut pahlawan. Dengan demikian, anggota masyarakat juga akan berpikir berulang kali untuk meragukan kinerja polisi jika yang ditegakkan memang kebenaran hakiki. Wallaahu a’lam bish showab []

Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si