Sahabat yang tak Bersahabat

sby abbotsOleh : Andri Saputra, Aktivis Politik Nonparlemen, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana (Sps)
UGM Yogyakarta, email [email protected]
Presiden SBY akhirnya buka suara soal isi surat balasan dari PM Australia Tony Abott mengenai permintaan klarifikasi kebenaran penyadapan yang dilakukan oleh negeri kanguru tersebut terhadap para pejabat Indonesia. Menurut SBY, dalam surat tersebut tidak ada permintaan maaf dari pemerintah Australia terhadap Indonesia, tapi menyampaikan tiga hal penting dan mendasar. Pertama, keinginan Australia untuk menjaga dan melanjutkan hubungan bilateral dengan Indonesia yang sejauh ini berada dalam keadaan kuat dan terus berkembang. Kedua, komitmen Abott bahwa Australia tidak akan melakukan sesuatu di masa depan yang merugikan dan menggangu Indonesia. Ketiga, Abott setuju untuk menata kembali kerjasama dan hubungan bilateral Indonesia-Australia, termasuk pertukaran intelijen dengan menyusun kode etik yang jelas, adil dan dipatuhi. “Itulah tiga hal penting yang saya dapatkan dari surat perdana menteri Australia, kata Yudhoyono(korantempo/27/11).
Kalau kita kritisi seputar penjelasan SBY soal isi surat balasan PM Australia Tony Abott, sesungguhnya tidak ada poin yang penting. Isi surat balasan tersebut tak lebih dari basa basi politik. Jika pun ada, maka poin yang paling penting dari surat balasan tersebut adalah pertama, bahwa secara faktual Australia telah melakukan penyadapan dan menolak meminta maaf kepada pemerintah Indonesia. Hal ini menjadi bukti bahwa negeri kanguru tersebut bukan sahabat yang baik. Bagaimanapun juga, aksi penyadapan yang dilakukan Dinas Intelijen Australia terhadap sejumlah pejabat Indonesia menunjukkan ada niat dan maksud jahat negeri kanguru tersebut terhadap negeri ini. Sehingga, ada atau tidak kata maaf dari PM Tony Abott Indonesia seharusnya mengambil langkah yang lebih tegas dengan mengusir dubes Australia, memutuskan hubungan diplomatik dan membatalkan kerjasama antar dua negara yang nota bene selama ini lebih menguntungkan Australia. Kedua, pemerintah Indonesia dibawah kepemimpin presiden SBY tidak mampu bersikap tegas dalam menjaga kedaulatan dan harga diri negeri ini. Sejak kabar penyadapan terkuak ke publik, respon pemerintah begitu lamban. Bahkan, hingga PM Tony Abott menolak minta maaf sekalipun, pemerintah tetap “sabar dan berprasangka baik”.
Meski disakiti, Indonesia tak berniat untuk putus hubungan dan tetap memilih melanjutkan kerjasama yang selama ini terjalin. Apa artinya sikap kecewa dan marah SBY-seperti kata Menperin MS Hidayat- jika tidak diikuti dengan langkah konkrit secara tegas dan berwibawa. Sudah demikian kuatkah hegemoni dan dominasi Australia terhadap negeri ini hingga pemerintah kita begitu takut untuk sekedar menggertak ?
Sebegitu besarkah ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap Australia hingga kita enggan untuk putus hubungan ? Atau mungkin mindset dan mental para petinggi kita yang sudah teracuni virus inferior. Merasa rendah diri dan tak memiliki daya sehingga rela menjadi bangsa kuli dan objek eksploitasi negara negara lain. Jika benar, maka poin ketiga adalah bahwa kasus ini menunjukkan bangsa ini tidak lagi memiliki basis ideologi yang jelas. Pancasila sebagai dasar negara dalam praktiknya hanya menjadi alat legitimasi dan selubung dari penerapan ideologi sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sejak merdeka hingga kini, tidak ada model negarawan yang pancasilais. Termasuk, ketika negeri ini dipimpin oleh Presiden Megawati yang nota bene keturunan proklamator bangsa Bung Karno dan berasal dari partai nasionalis. Dari sisi filosofis, konsep pancasila sebagai ideologi bangsa belum sempurna karena sekedar kumpulan norma tanpa metode operasional yang jelas. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang lemah dan mengalami krisis identitas karena mengalami penjajajahan ideologi sekulerisme secara sistematik dalam seluruh lini kehidupan. Begitu juga dalam membangun basis politik luar negeri yang bebas aktif. Paradigma yang dibangun senantiasa defensif dengan hanya fokus menjaga kedaulatan negeri dan sebanyak mungkin menjalin persahabatan dengan nagara negara lain. Padahal, tidak semua negara memiliki pandangan yang sama.
Dalam pandangan negara negara barat termasuk Australia, Indonesia -sebagai negeri muslim terbesar di dunia- merupakan ancaman yang harus senantiasa diawasi (disadap) dan dilemahkan lewat berbagai intervensi politik, militer dan ekonomi. Dengan demikian, hegemoni dan  negara negara maju terhadap negeri ini akan tetap langgeng. Penjajahan lewat investasi asing, kerjasama ekonomi dan perdagangan luar negeri bisa terus berlangsung tanpa khawatir mengalami pemboikotan. Bahkan, intervensi politik untuk melemahkan dan memecah belah negeri ini sangat mudah dilakuan seperti dalam kasus dukungan Australia terhadap lepasnya Timor Timor. Ironis memang. Kita sulit membedakan mana kawan dan mana lawan. Alhasil, lawan kerap diperlakukan sebagai kawan seperti dalam kasus penyadapan oleh Australia.
Untuk itu, sudah saat nya kita khususnya umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini bersikap tegas dan mengambil peran untuk menjadikan Indonesia terlepas dari penjajahan, menuju negara yang mandiri dan merdeka secara utuh. Semua itu, harus dimulai dengan mencampakkan ideologi kapitalisme berserta produk turunannya. Saatnya kita hapus sekat-sekat nasionalisme yang selama ini memecah kaum muslimin. Kita tinggalkan sistem demokrasi yang korup dan tidak amanah. Kita campakkan sistem ekonomi kapitalis yang berbasis ribawi dan mensengsarakan rakyat. Kemudian. mengambil ideologi Islam secara paripurna sebagai landasan ideologi kehidupan yang adil dan benar karena berasal dari Zat Yang Maha Kuasa dan Maha tahu atas segala sesuatu, Allah SWT. Dengan bertumpu pada ideologi Islam, maka negeri ini akan mampu menjadi bangsa yang sejahtera secara ekonomi, kuat secara militer dan berpengaruh secara politik. Menjadi negeri yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Langkah awalnya adalah dengan melakukan rekonstruksi kehidupan bernegara melalui penerapan Syariah Islam dalam bingkai negara kesatuan Khilafah Islamiyah. Insya Allah.