Mengundang Makan Orang Non-Muslim

Assalaamu`alaikum wr wb.

Maaf ingin menanyakan tentang hukum mengundang makan orang non muslim ke rumah kita. Dalam diskusi lepas tarawih, teman kami dari Tunisia mengutip salah satu hadits yang artinya kurang lebih adalah:
Jangan jadikan teman kecuali dia mukmin dan jangan makan makanan-mu kecuali orang bertaqwa. Dia tidak memberikan kesimpulan hukum tapi hanya menyodorkan hadits tersebut.

Nah bagamana sebenarnya hukum mengundang makan orang non muslim ke rumah kita? Mohon penjelasannya. Syukron, Jazakallaahu khoir.

Wassalaam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hadits yang anda tanyakan itu tepatnya adalah:

لاتصاحب إلا مؤمنا ولا يأكل طعامك إلا تقي

Dari Abi Said al-Khudhri ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kamu berteman kecuali dengan orang mukmin dan jangan pula seseorang memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa." (HR Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban, Ad-Darimi)

Dari sisi derajat hadits, ada sedikit perbedaan pandangan. Abu Daud dan Al-Munziri bersikap no comment dalam keshahihannya. Sedangkan Al-Munawi mengatkan bahwa sanad-sanad hadits ini shahih. Hadits ini terdapat dalam kitab shahih Ibnu Hibban.

Hadits ini tercantum dalam banyak kitab, salah satu di antaranya adalah kitab Riyadhush-Shalihin karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang legendaris itu. Beliau meletakkan hadits ini pada bab mengunjungi orang baik-baik, duduk bersama mereka, bersahabat dan mencintai mereka, hingga meminta doa dari mereka.

Dari sisi pengertian hadits, Doktor Fahad Misy’al-mengatakan bahwa maksud hadits ini adalah anjuran agar kita tidak berteman dengan orang yang jelek perangainya, atau orang munafiq atau fasik. Latar belakangnya agar orang-orang yang buruk itu tidak memberi pengaruh yang tidak baik, akibat pertemanan itu.

Sedangkan larangan orang yang tidak bertaqwa memakan makanan kita, maksudnya adalah makanan walimah (pesta undangan makan). Bukan makanan yang sangat dibutuhkan karena hajat. Dan orang yang bertakwa itu sifatnya wara’ (menjaga) diri, tidak makan secara serakah dan juga menjaga adab-adabnya.

Nampaknya hadits ini lebih berbicara kepada masalah bagaimana memilih teman yang dijadikan rujukan, shahabat serta orang terdekat, bukan berteman dalam arti umum. Hadits ini bukan untuk dipahami bahwa kita hanya boleh berteman dengan sesama muslim saja. Sedangkan orang kafir harus dimusuhi.

Sebab bergaul dengan selain muslim dibenarkan, bahkan memberi makan seorang non muslim yang fakir atau miskin malah dianjurkan. Lebih jauh lagi, di antara asnaf yang berhak menerima zakat adalah para muallaf. Mereka ini tidak terbatas pada orang yang sudah masuk Islam saja, tetapi termasuk mereka yang belum masuk Islam, namun sangat diharapkan suatu saat masuk Islam.

Bahkan di masa risalah, Rasulullah SAW pernah memberi dari harta zakat kepada orang kafir yang sangat memusuhi umat Islam, bukan semata-mata mengharapkannya masuk Islam, tetapi paling tidak orang itu berhenti dari memusuhi kaum muslimin.

Maka kesimpulan kami, hadits ini memang bukan untuk digunakan sebagai dalil memusuhi non muslim, melainkan untuk masalah kecintaan, persahabatan dan suri teladan serta teman pergaulan yang punya pengaruh baik. Seharusnya semua itu kita dapat dari sesama muslim.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.