Muhadditsin Vs Fuqaha Dalam Hukum Musik

Assalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh,
Ana mau tanya ustadz, kenapa antara ulama hadist dan ulama fiqih "seakan-akan" selalu berbeda dalam berijtihad. Kalau dilihat misalnya fatwa-fatwa Bin Baz, Al-Albani, Utsaimin dibandingkan dengan fatwa-fatwa Qardhawi. Contohnya dalam masalah hukummusik, jelas sekali perbedaannya. Mohon penjelasannya.

Shukron katsiro

Wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh

Assalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Para muhadditsin dengan para fuqaha memang sangat dimungkinkan untuk saling berbeda pendapat. Bahkan sesama muhadditsin pun juga sering kali saling berbeda pendapat. Dan para fuqaha, dengan sesamanya, juga sudah kita tahu seringkali berbeda pendapat.

Perbedaan pendapat itu bukan hal yang tabu atau haram. Perbedaan pendapat itu justru menunjukkan dinamika keilmuan dalam syariah Islam. Bahkan meski ungkapan ikhtilafu ummati rahmah bukan termasuk hadits yang shahih, namun pada prinsipnya secara nyata memang melahirkan banyak kebaikan.

Namun untuk urusan hukum musik, sebenarnya tidak secara tepat merupakan polemik antara ahli hadits dengan ahli fiqih. Sebab para ahli fiqih sebenarnya juga saling berbeda pendapat dalam masalah ini. Hanya kebetulan saja Syeikh Bin Baz, Syeikh AL-Albanidan Syeikh Utsaimin berbeda pendapat dengan Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam pendekatan masalah musik. Namun perbedaan itu bukan representasiperwakilan dari kubu ahli hadits dengan kubu ahli fiqih.

Kalau kita kembalikan kepada disiplin ilmu masing-masing, pada dasarnya perbedaan pendapat dalam hukum musik sebenarnya adalah polemik para ahli fiqih, bukan polemik para ahli hadits. Sebab yang diteliti ole para ahli hadits terbatas pada wilayah keshahihan atau kedhaifan sebuah riwayat. Tidak sampai kepada wilayah penarikan hukum. Bagaimana menarik kesimpulan adalah ‘wilayah kerja’ para ahli fiqih.

Namanya saja fiqih, artinya paham. Jadi peranan fiqih adalah bagaimana memahami isi kandungan hukum yang ada pasa suatu dalil, baik berupa ayat Quran maupun berupa hadits nabawi.

Syeikh Bin Baz, Syeikh Al-Albanidan Syeikh Al-Utsaimin ketika berfatwa dalam masalah musik, bukan dalam kapasitas sebagai ahli hadits, melainkan beliau masuk ke wilayah fiqih. Sebab yang namanya fatwa adalah produk para ahli fiqih. Kalau keduanya berfatwa tentang keshahihan suatu hadits, maka saat itu kita bilang bahwa mereka sedang berfungsi sebagai ahli hadits.

Jadi ketiga tokoh itu bukan hanya berhenti sebagai ahli hadits, namun juga berkapasitas sebagai ahli fiqih. Dan dengan jabatan sebagai mufti resmi kerajaan Saudi Arabia, fungsi ahli fiqih tidak mungkin dilepaskan dari diri seorang Syeikh Bin Baz.

Bahwa pendapat beliau dan umumnya para ulama di Saudi Arabia mengharamkan musik, bukan karena mereka ahli hadits, namun karena banyak faktor lainnya. Misalnya masalah kultur yang sudah ada di sana selama ini, pasti turut ikut mempengaruhi alur pikiran mereka.

Tidak bisa dipungkiri ketika seseorang berfatwa, maka faktor pengaruh lingkungan tidak mungkin terlepas dari esensi fatwanya. Parasyeikh itu, khususnya Bin Baz dan Utsaimin, meski mungkin tidak terus terang mengakui berafiliasi kepada mazhab fiqih tertentu, namun karena mereka lahir dan dibesarkan serta belajar kepada para ulama di suatu komunitas tertentu, maka fatwa-fatwa yang keluar dari mereka berdua lebih dekat kepada fatwa dari mazhab tertentu. Dalam hal ini mazhab fiqih Ahmad bin Hambal.

Sebagai contoh, mazhab ini tidak menajiskan kotoran hewan. Khususnya hewan yang dagingnya halal dimakan. Maka kotoran sapi, kotoran kambing, kotoran ayam tidak akan dianggap najis. Maka jangan heran kalau keduanya boleh jadi juga tidak menajiskan kotoran hewan yang dagingnya halal dimakan.

Kalau ada seorang mufti yang lahir dan dibesarkan di lingkungan mazhab As-Syafi’i, jangan heran kalau beliau akan lebih hati-hati dalam urusan air yang kurang dari 2 qullah (musta’mal). Seba mazhab Asy-Syafi’i yang membentuk lingkungannya akan berpengaruh pada dirinya.

Maka dalam pandangan kami, ketika ada dua kubu ulama berbeda pendapat dalam hukum musik, kelihatannya yang lebih bermain adalah faktor lingkungan (bi’ah)masing-masing ulama, ketimbang latar belakang disiplin ilmunya. Maksudnya, faktor itu punya pengaruh yang kuat.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc