Batas Maksimal Lamanya Berpuasa dalam Sehari

Assalamualaikum w.w.

Ustadz, saya saat ini sedang berada di negara yang mengalami musim panas. Insya Allah saat ramadhan nanti waktu berpuasa disini kurang lebih 18-19 jam lamanya. Pertanyaan saya, jika waktu itu terlalu panjang dan memberatkan buat kami, apakah ada pendapat yang meringankan dalam menjalani puasa disini?mengingat saya juga harus bekerja selama 8 jam per hari, dan sangat sulit untuk menjaga ketahanan fisik dengan kondisi musim panas seperti ini. Mohon penjelasan dan pendapat berbagai mazhab tentang waktu puasa yang panjang ini.

Terima kasih banyak sebelumnya.

wass.w.w.

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Arsesha yang dimuliakan Allah swt

Waktu diwajibkan bagi seorang yang berpuasa untuk menahan dari hal-hal yang membatalkan puasanya adalah sejak terbit fajar hingga terbenam matahari berdasarkan firman Allah swt :

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Artinya : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqoroh : 187)

Hal ini berlaku umum bagi setiap muslim yang tinggal di wilayah yang di situ masih bisa dibedakan antara siang dan malamnya dan jumlah keduanya adalah 24 jam meskipun terkadang siangnya lebih panjang dari malamnya di satu musim atau sebaliknya di musim yang lain.

Hai’ah Kibar al Ulama Saudi Arabia didalam fatwanya menyebutkan :
1. Barangsiapa yang menetap di suatu negeri yang malam harinya bisa dibedakan dari siangnya dengan terbit fajar dan tenggelam matahari hanya saja siang harinya panjang sekali disaat musim panas dan pendek disaat musim dingin maka diwajibkan baginya melaksanakan shalat lima waktu pada waktu-waktu yang telah ditetapkan syariat, berdasarkan keumuman firman Allah swt :

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Israa : 78)

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

Artinya : “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisaa : 103)

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin al Ash bahwa Rasulullah saw bersabda"Waktu shalat zhuhur adalah jika matahari telah condong dan bayangan sesorang seperti panjangnya selama belum tiba waktu shalat ashar, dan waktu shalat ashar selama matahari belum menguning, dan waktu shalat maghrib selama mega merah (syafaq) belum menghilang, dan waktu shalat isya` hingga tengah malam, dan waktu shalat shubuh semenjak terbit fajar selama matahari belum terbit, jika matahari terbit, maka janganlah melaksanakan shalat, sebab ia terbit diantara dua tanduk setan." HR. Muslim (612)

Dan hadits-hadits lainnya yang menerangkan tentang batas waktu-waktu shalat lima waktu baik hadits yang berupa perkaataan maupun perbuatan. Dan tidaklah dibedakan antara panjang dan pendeknya siang hari serta panjang dan pendeknya malam hari selama waktu-waktu shalat tersebut bisa dibedakan dengan tanda-tandanya sebagaimana diterangkan Rasulullah saw. Itulah yang terkait dengan batas waktu-waktu shalat.

Adapun tentang batas waktu-waktu puasa mereka pada bulan Ramadhan maka diharuskan bagi orang-orang yang telah mukallaf (telah diwajibkan atasnya puasa) diharuskan untuk menahan dari makan, minum dan segala yang dapat membatalkan puasanya setiap hari sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari di negeri mereka selama siang harinya bisa dibedakan dari malamnya di negeri mereka itu dan keseluruhan waktu keduanya adalah 24 jam. Dihalalkan bagi mereka makan, minum, berjima’ dan sejenisnya hanya pada waktu malam hari saja meskipun waktu malamnya pendek. Karena syariat Islam adalah universal mencakup seluruh manusia di setiap negeri. Firman Allah sw:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Artinya : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqoroh : 187)

Dan barangsiapa yang tidak mampu untuk menyempurnakan puasanya hari itu dikarenakan panjangnya (siang hari), melalui tanda-tandanya, pengalaman atau pernyataan seorang dokter yang cerdas lagi bisa dipercaya atau dugaannya bahwa puasa itu dapat membuatnya celaka atau karena dirinya sakit keras atau puasa menjadikannya bertambah sakit atau lama sembuhnya maka dibolehkan untuk mengqodho hari-hari yang tidak berpuasa di bulan mana pun saat dirinya memiliki kesanggupan untuk mengqodhonya, firman Allah :

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqoroh : 185)

Artinya : “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)

2. Barangsiapa yang menetap di negeri dimana matahari tidaklah tenggelam diwaktu musim panas dan tidaklah terbit di waktu musim dingin atau di negeri yang siangnya berlangsung terus menerus selama enam bulan dan malamnya berlangsung terus menerus selama enam bulan maka diwajibkan bagi mereka untuk tetap melaksanakan shalat-shalat lima waktu di setiap 24 jam serta memperkirakan dan menentukan waktu-waktunya dengan bersandar kepada negeri terdekat yang di situ dapat dibedakan waktu-waktu shalat wajibnya, berdasarkan riwayat didalam hadits israa dan miraj bahwa Allah swt telah mewajibkan 50 shalat sehari semalam lalu Nabi saw meminta keringanan kepada Tuhannya hingga Allah berfirman,”Wahai Muhammad! Sesungguhnya difardukan shalat lima waktu sehari semalam.” HR. Muslim (162)

Juga apa yang diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah berkata,”Telah datang kepada Rasulullah saw seorang dari penduduk Najed dalam keadaan kepalanya penuh debu dengan suaranya yang keras terdengar, namun tidak dapat dimengerti apa maksud yang diucapkannya, hingga mendekat (kepada Nabi saw) kemudian dia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah saw menjawab: "Shalat lima kali dalam sehari semalam". Kata orang itu: "apakah ada lagi selainnya buatku". Nabi saw menjawab: "Tidak ada kecuali yang thathawu’ (sunnat)…". HR. Bukhori (46) Muslim (11)

Diriwayatkan bahwa Nabi saw berbicara kepada para sahabatnya tentang al Masih ad Dajjal. Mereka bertanya: Berapa lama ia tinggal di bumi? Rasulullah saw menjawab: "Empat puluh hari, satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan, satu hari seperti satu pekan dan hari-hari lainnya seperti hari-hari kalian." Kami bertanya: Wahai Rasulullah, itukah satu hari yang seperti satu tahun, cukupkah bagi kami shalat sehari? Rasulullah saw menjawab: "Tidak, tapi perkirakanlah ukurannya." HR. Muslim (2937).

Di dalam hadits tersebut disebutkan bahwa sehari yang seperti setahun itu tidaklah dianggap seperti satu hari sehingga cukup melaksanakan lima kali shalat saja selama itu akan tetapi diwajibkan baginya untuk shalat lima waktu setiap 24 jam. Beliau saw juga memerintahkan mereka untuk membagi-baginya sesuai dengan waktu-waktunya dengan melihat rentang waktu maskimal diantara waktu-waktunya dihari biasa di negeri mereka.
Maka diwajibkan bagi kaum muslimin di negeri itu untuk menentukan waktu-waktu shalatnya dengan bersandar kepada negeri terdekat yang di situ bisa dibedakan antara siang dan malamnya serta bisa diketahui waktu-waktu shalat lima waktunya dengan tanda-tanda syariyahnya di setiap 24 jam.

Demikian pula diwajibkan bagi mereka untuk berpuasa bulan Ramadhan serta diwajibkan bagi mereka untuk memperkirakan puasa mereka dan menentukan mulai dan berakhirnya bulan Ramadhan dan waktu mulai menahan (dari makan dan minum) serta waktu berbuka setiap harinya di awal dan akhir bulan dan dengan terbitnya fajar serta tenggelam matahari setiap harinya bersandar dengan negeri terdekat yang bisa dibedakan siang dengan malamnya yang jumlah keduanya (siang dan malam) adalah 24 jam, sebagaimana hadits Nabi saw tentang al Masih ad Dajjal dan arahan beliau saw kepada para sahabatnya tentang bagaimana menentukan waktu-waktu shalat didalamnya dan sesungguhnya dalam hal ini tidaklah ada perbedaan antara puasa dan shalat. (al Lajnah ad Daimah No. 2769)

Dengan demikian diwajibkan bagi penduduk yang tinggal di negeri-negeri yang siangnya bergantian dengan malamnya selama 24 jam untuk berpuasa menahan makan, minum, dan hal-hal lainnya yang dapat membatalkan puasanya mulai dari terbit fajar hingga tenggelam matahari meskipun waktu siangnya mencai 18 atau 19 jam. Kecuali jika pergantian siang dan malamnya di negeri mereka berlangsung lebih dari 24 jam, seperti : siangnya berlangsung hingga dua hari, sepekan, sebulan atau enam bulan maka pada keadaan seperti ini dibolehkan bagi mereka untuk memulai dan mengakhirkan puasanya dengan bersandar kepada negeri yang terdekat dengan negeri mereka.

Hal demikian diwajibkan bagi penduduk asli yang bermukim di negeri itu. Adapun setiap pendatang ke negeri tersebut dengan satu tujuan tertentu dan ketika tujuan tersebut selesai maka ia akan meninggalkan negeri itu maka ia dihukumi dengan hukum musafir baik ia tinggal di negeri itu dalam waktu yang lama atau sebentar baik diketahui bahwa tujuannya itu akan cepat atau terlambat selesainya ataupun tidak diketahuinya, demikian menurut Syeikh Ibn Utsaimin.

Beliau mendasari pendapatnya dengan firman Allah swt :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

Artinya : “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An Nisaa : 101)

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Muzammil : 20)

Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang yang berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah terkadang menetap dalam waktu yang lama untuk berjual beli suatu barang dan karena Nabi saw tidaklah membatasi umat umat dengan batas waktu tertentu berakhirnya waktu safar…

Nabi saw pernah menetap di Mekah saat Futuh Mekah selama 19 hari dengan mengqashar shalatnya, beliau menetap di Tabuk selama 20 hari dengan mengqashar shalatnya. Anas bin Malik pernah menetap di Syam selama 2 tahun dengan mengqashar shalatnya. Al Hasan berkata,”Aku tinggal bersama Abdurrahman bin samurah di Kabul selama 2 tahun dan melaksanakan shalat seperti shalat musafir.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,”Tidak terdapat didalam Kitabullah dan tidak juga di Sunnah Rasul-Nya kecuali orang yang mukim dan musafir. Orang yang mukim adalah penduduk setempat sedangkan selain mereka adalah musafir yang diperbolehkan mengqashar shalatnya.”

Ibnul Qoyyim mengatakan,”Nabi saw menetap di Tabuk selama 20 hari dengan mengqashar shalat dan beliau saw tidaklah mengatakan kepada umatnya,’Janganlah seorang mengqashar shalatnya jika menetap lebih dari waktu itu (20 hari).’ Dia melanjutkan,”Menetapnya (selama itu) tidaklah mengeluarkannya dari hukum safar baik tinggal dalam waktu lama atau sebentar jika dia bukanlah penduduk asli dari negeri itu dan bukan pula orang yang berniat untuk menetap (mukim) di negeri itu.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin juz XVII hal 233 – 234)

Dengan demikian jika anda berniat untuk menetap selamanya di negeri tersebut maka diwajibkan bagi anda untuk berpuasa seperti penduduk setempat dengan memulai puasanya sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari di negeri itu baik siang harinya lebih panjang dari malamnya di musim panas atau sebaliknya di musim dingin.
Adapun jika anda tidak berniat menetap di negeri tersebut akan tetapi hanya untuk suatu tujuan tertentu saja, seperti : studi, bisnis atau lainnya maka anda dianggap sebagai seorang musafir yang diperbolehkan bagi anda untuk tidak berpuasa, sebagaimana firman Allah :

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqoroh : 185)

Namun demikian jika memang anda memiliki kesanggupan untuk berpuasa dalam keadaan demikian, tidak mengkhawatirkan adanya kepayahan dan kemudharatan dalam diri anda maka berpuasa adalah lebih baik bagi anda demi mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan dan menyegerakan selesainya kewajiban dari diri anda. Akan tetapi jika keadaan anda sebaliknya maka dibolehkan bagi anda untuk berbuka atau tidak berpuasa dan menggantinya di bulan-bulan lainnya di luar Ramadhan.

Wallahu A’lam