Sahkah Cerai Terpaksa

Assamulaikum wr. wb.

Ustadz, saya ingin menanyakan beberapa hal, sebagai berikut :

  1. Istri mengajukan cerai kepada suami dengan menggunakan surat bermaterai saja, tanpa mengajukan lebih lanjut ke KUA, saat itu suami menandatangani surat tersebut, dengan alasan mendapat tekanan dari pihak keluarga istri. Sahkan perceraian tersebut di mata Allah ???
  2.  Ada yang bilang hal itu tidak sah, karena pada saat menandatangani surat tersebut tidak diikutkan oleh niat suami untuk menceraikan istri, jadi perceraian tersebut batal karena segala sesuatu kan tergantung niat, sedangkan saat itu suami tidak berniat untuk menceraikan istri, tapi karena tekanan dari istri dan keluarga istri akhirnya suami bersedia menandatangani, bagaimana hukumnya …?
  3. Suami pernah membuat pernyataan untuk menafkahi anak-anaknya dalam jumlah tertentu tiap bulan. Berikutnya ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan (suami hanya menafkahi separuh dari perjanjian), apakah hal ini bisa di hitung sebagai penipuan dan diperkarakan secara pidana ??? karena surat perjanjian tersebut dibuat diatas materai…

Demikian pertanyaan saya, terima kasih atas jawaban ustad,

Wassalamualaikum wr.wb

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Hukum Orang yang Dipaksa Cerai

Menurut jumhur ulama bahwa seseorang yang dipaksa untuk menjatuhkan talak (cerai) terhadap isterinya maka talak tersebut tidaklah jatuh dikarenakan orang itu tidak meniatkan untuk menceraikannya. Adapun niat yang ada didalam diri orang itu adalah menghindari kemudaratan atau bahaya yang akan menimpa dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan umatku karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi) juga sabda Rasulullah saw,”Tidak ada talak dalam ketertutupan (akalnya).” (HR. Abu Daud) maksudnya dipaksa. Inilah pendapat yang kuat.

Sedangkan para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa talak orang yang dipaksa tetap jatuh karena dia berniat untuk menceraikan walaupun dia tidak menyukai akibat dari perbuatannya itu. Ia seperti orang yang bercanda dalam talak dan talak tetap jatuh, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Tiga perkara yang seriusnya adalah serius dan bercandanya juga serius, yaitu : menikah, talak dan ruju’.” (HR. Para imam yang lima dan Ahmad kecuali Nasai)
(al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6885)

Diantara dalil jumhur adalah mengqiyaskan talak karena dipaksa dengan talak yang dijatuhkan saat sedang marah. Hal itu dikarenakan kedua-duanya mengakibatkan orang yang mengatakannya tidak berniat atas apa yang diucapkan. Seorang yang marah ketika mengucapkan talak terhadap istrinya dianggap tidak ada niatan untuk itu dikarenakan akal sehatnya sedang tertutupi oleh amarah yang membara didalam dirinya. Sedangkan orang yang dipaksa mengucapkan talak terhadap istrinya mengetahui secara sadar apa yang diucapkannya itu namun hatinya mengingkari apa yang diucapkannya itu dikarenakan ancaman yang ditujukan kepadanya.

Untuk itu tidaklah disebut terpaksa kecuali dengan tiga persyaratan :

  1. Orang yang dipaksa tersebut dalam keadaan ditekan dan tidak kuasa menghalaunya.
  2. Orang yang dipaksa tersebut betul-betul mengira bahwa sesuatu yang diancamkan terhadapnya akan terjadi.
  3. Sesuatu yang diancamkan terhadapnya adalah yang membawa celaka / bahaya seperti pembunuhan, pemutusan, penganiayaan, penahanan untuk waktu yang lama dan lainnya. (al Mujmu’ juz XVI hal 67, Maktabah Syamilah)

Adapun argumentasi para ulama madzhab Hanafi yang mengqiyaskan talak karena dipaksa dengan orang yang bercanda menurut Ibnul Qoyyim adalah qiyas yang rusak. Beliau mengakatakn,”Sesungguhnya seorang yang dipaksa tidaklah berniat terhadap ucapannya dan juga akibat darinya. Dia mengatakan yang demikian dikarenakan dirinya didorong dan dipaksa untuk mengatakannya serta dia tidaklah dipaksa untuk berniat. Adapun orang yang bercanda, dia mengatakan suatu perkataan itu dikarenakan pilihan dan niat tanpa menginginkan akibatnya. Dan hukum ini bukan kembali kepada dirinya tapi kepada Sang pembuat syariat. Orang yang bercanda ini menginginkan perkataannya itu dan menginginkan tidak ada akibatnya. Bukanlah demikian, sesungguhnya siapa yang menyentuh sebab-sebab hukum karena pilihannya berarti dia telah mengharuskan atas konsekuensinya walaupun dirinya tidak menginginkannya. Adapun orang yang dipaksa, dia tidak menginginkan ini dan juga itu. Maka qiyas mereka (para ulama madzhab hanafi) orang yang mentalak karena dipaksa dengan orang yang bercanda adalah qiyas yang rusak. (Aunul Ma’bud juz V hal 77, Maktabah Syamilah)

Jadi jika tekanan yang dilakukan pihak istri terhadap suami begitu berat sehingga dia tidak memiliki pilihan lain kecuali mengucapkan kata talak maka talak itu tidaklah jatuh walaupun dia juga menandatangani diatas kertas bermaterai dikarenakan kertas itu masih belum diajukan ke pihak pengadilan.

Nafkah Isteri

Memberikan nafkah kepada isteri adalah kewajiban seorang suami yang berarti ia menjadi hak istri. Diantara dalil-dalilnya adalah :

  1. Firman Allah swt,”Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233)
  2. Firman Allah swt,”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu “ (Ath Thalaq : 6)
  3. Sabda Rasulullah saw,”Hendaklah kamu memberinya makan tatkala kamu makan, dan memberinya pakaian tatkala kamu berpakaian.” (HR. Abu Daud)

Namun demikian ada beberapa persyaratan bagi seorang istri yang berhak mendapatkan nafkah dari suaminya :

  1. Ikatan perkawinan yang sah.
  2. Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya.
  4. Kedua-duanya saling menikmati.

Jika salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka ia tidak wajib diberi nafkah. (Fiqhus Sunnah, edisi terjemah juz III hal 57)

Memang tidak disebutkan didalam ayat-ayat yang mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya tentang kadar atau besarnya jumlah nafkah yang harus diberikannya. Kadar dan besaran nafkah ini dikembalikan kepada kemampuan masing-masing suami dan kebiasaan yang ada di masyarakatnya, sebagaimana firman Allah swt,”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”(QS. Ath Thalaq : 7)

Sesuai dengan kemampuan yang ada didalam ayat itu bukan berarti seorang suami bisa seenaknya saja memberikan nafkahnya kepada istri, padahal istrinya telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya. Jika hal ini terjadi maka ini adalah suatu bentuk kezhaliman suami.

Besaran nafkah suami kepada istrinya tentunya juga harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi si suami. Besaran seorang suami yang miskin tentunya berbeda dengan yang menengah atau kaya. Semakin mapan ekonomi suami maka dia harus semakin memberikan kesejahtaraan, baik kualitas makanan, pakaian dan juga tempat tinggal kepada istrinya, begitu pula sebaliknya.

Perubahan harga-harga kebutuhan sembako pun harus menjadi perhitungan para suami didalam menentukan besaran nafkahnya kepada para istrinya. Tidak dibenarkan seorang suami yang berekonomi menengah atau kaya memberikan nafkah kepada istrinya seperti orang yang miskin. Begitu pula dengan tidak dibenarkannya seorang istri yang menuntut nafkahnya seperti orang kaya padahal suaminya miskin.

Suami yang memberikan nafkah kepada istrinya jauh dibawah kemampuan sebenarnya maka ia dianggap bakhil dan diperbolehkan bagi istrinya untuk mengambil harta (uang ) suami tanpa seizinnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa Hindun binti Utbah mengatakan,”Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya Abi Sofyan itu orang yang bakhil, ia tidak mencukupi kebutuhanku dan anakku kecuali aku menagmbil (uang) darinya pada saat dia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah bersabda,’Ambillah dari harta Abi Sofyan sesuai kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhori)

Dari hadits itu pun bisa disimpulkan bahwa istri diperbolehkan menuntut suaminya manakala ia tidak memenuhi kewajibannya memberikan nafkah kepadanya sesuai dengan taraf ekonominya. Bahkan dibenarkan seorang istri meminta kepada Hakim untuk menentukan besaran nafkahnya manakala memang hal itu terjadi.

Dari penjelasan diatas maka terhadap permasalahan yang anda ajukan :

  1. Jika tuntutan nafkah yang diajukan istri kepada suami memang sesuai dengan kemampuan ekonomi suami namun ia tidak memenuhinya secara sengaja bukan dikarenakan ada suatu musibah yang mengakibatkan penghasilannya menurun di bulan-bulan itu maka ini adalah kezaliman darinya dan si istri berhak menuntutnya ke pengadilan karena nafkah yang tidak dipenuhi itu adalah utang baginya atas istrinya. Dan alangkah baiknya didahului dengan memberikan nasehat penyadaran dan peringatan sebelum melangkah ke pengadilan.
  2. Namun jika yang dituntut si istri tidaklah lazim atau melebihi batas kemampuan ekonomi suami maka perjanjian itu tidaklah dibenarkan, berdasarkan firman Allah swt,”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”(QS. Ath Thalaq : 7)

Dan isi kesepakatan tersebut haruslah dikoreksi dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi suami.

Wallahu A’lam