Bermakmum pada Anak Kecil yang Fasih

Assalamu ‘alaikum Wr Wb

Ustadz yang diRahmati Alloh Swt.

Saya ada pertanyaan sebagai berikut :

1. Bolehkah kita (orang dewasa laki-laki) bermakmum pada anak laki-laki berusia 10 tahun tetapi bacaan dan hafalan Al-Qur’an anak tersebut sangat baik, bahkan jauh melebihi orang dewasa pada umumnya?

2. Apa kriteria dan batasan usia tentang "baligh" bagi syarat untuk menjadi imam sholat? (sebab sering kita jumpai anak remaja atau orang tua yang secara usia dan fisik mungkin sudah baligh tapi dalam masalah agama atau bacaan Al-Qur’an/sholat sangat kurang/memprihatinkan dibandingkan seorang anak yang mungkin usianya baru 10 tahun tapi sudah menguasai bacaan/hafalan Al-Quran begitu bagus.)

3. Jika sudah ada sekumpulan orang yang sedang sholat berjamaah dan dipimpin oleh seorang imam di dalam suatu masjid, bolehkah kita membentuk sholat berjamaah sendiri yang terpisah dari rombongan sholat berjamaah yang sedang berlangsung?

Jazakallah khairan katsiran atas jawaban dan bantuan Ustadz.

Wassalamu ‘alaikum wr wb.

Rasyid

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Rasyid yang dimuliakan Allah swt

Keimaman Seorang Anak Kecil

Diriwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya bahwa Nabi saw bersabda,” Jika seseorang bertiga, hendaklah salah seorang diantara mereka menjadi imam, dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling banyak hapalan Al Qurannya." Yaitu orang yang banyak hafalan dan mengetahui hukum-hukum agama , yaitu orang yang paling faqih sebagaimana pendapat sebagian ulama.

Diriwayatkan oleh Bukhori dan yang lainnya bahwa Amr bin Salamah dari Nabi saw bersabda,” Jika waktu shalat tiba, hendaklah salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan, dan yang mengimami kalian yang banyak hapalan alqurannya.” Lantas mereka saling mencermati, dan tak ada yang lebih banyak hafalan al Qurannya selain diriku kemudian mereka menyuruhku maju (memimpin shalat di depan mereka), padahal umurku ketika itu baru enam atau tujuh tahun.” Didalam riwayat an Nasai disebutkan usianya baru 8 tahun…

Berdasarkan riwayat-riwayat diatas maka dibolehkan bagi seorang anak kecil menjadi menjadi imam bagi orang-orang yang lebih tua usianya, khususnya jika anak itu lebih mengetahui tentang agama daripada mereka, demikian menurut Imam Syafi’i.
Sedangkan Imam Malik memakruhkan atau melarangnya untuk shalat-shalat fardhu. Adapun Abu Hanifah dan Ahmat maka terdapat perselisihan diantara mereka berdua. Pendapat yang masyhur dari keduanya sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar didalam kitab “Fathul Bari” bahwa mereka berdua membolehkan anak kecil menjadi imam didalam shalat Nafilah, seperti : tarawih, dua hari raya selain shalat fardhu namun pemisahan ini tidaklah bermakna karena didalam hadits Amr disebutkan adzan untuk shalat kemudian ada yang menjadi imam sedangkan adzan tidaklah dilakukan kecuali untuk shalat wajib bukan nafilah.

Dan mereka yang melarang keimaman seorang anak kecil atau memakruhkannya didalam shalat fardhu bersandar dengan atsar dari Ibnu Mas’ud bahwa tidaklah seorang anak menjadi imam sehingga sampai usia yang bisa dikenakan had (hukuman), maksudnya adalah mukallaf dengan baligh. Demikian pula atsar serupa dari Ibnu Abbas, keduanya diriwayatkan oleh al Atsram didalam sunannya namun keduanya tidaklah marfu hingga ke Nabi saw akan tetapi keduanya adalah pendapat dari kedua sahabat itu. Dan dalam keadaan seperti ini maka hadits marfu’ lebih didahulukan daripada parkataan yang berhenti hingga sahabat, sebagaimana didahulukannya apa yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim daripada riwayat al Atsram.

Tema ini dijelaskan didalam kitab “Nailul Author” milik Imam asy Syaukani.
Ringkasnya bahwa keimaman seorang anak kecil didalam shalat fardhu diperbolehkan dan sah menurut Syafi’i. dan pendapat ini dimungkinkan untuk seorang anak kecil yang mengimami kedua orang tua, saudara-saudara laki-lakinya atau saudara-saudara perempuannya, atau seorang murid mengimami teman-temannya akan tetapi tidak diperbolehkan keimamannya menurut imam-imam yang lain. jika ada orang yang baligh maka lebih diutamakan—untuk menjadi imam—daripada seorang anak kecil. (Fatawa al Azhar juz IX hal 134)

Sementara itu DR. Abdullah Faqih mengatakan bahwa pendapat yang kuat adalah dibolehkannya seorang anak kecil menjadi imam didalam shalat Fardhu maupun Nafilah jika dia termasuk anak paling banyak hafalan al Quran daripada orang-orang lainnya berdasarkan hadits Amr diatas.

Beliau berargumentasi bahwa sabdanya saw,“Jika waktu shalat tiba” menunjukkan ia adalah shalat mauqutah (telah ditentukan waktunya) dan ini pada umumnya merupakan kekhasan dari shalat-shalat fardhu.

Sedangkan sabdanya,” hendaklah salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan” sebagaimana diketahui bahwa pada shalat nafilah tidak terdapat adzan. Bahkan perintahnya kepada mereka untuk melaksanakan shalat berjamaah menunjukkan bahwa ia adalah shalat fardhu karena Rasulullah tidaklah memerintahkan untuk melaksanakan shalat nafilah dengan berjamaah.

Batasan Usia Baligh

Allah swt berfirman :

Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An Nuur : 59)

Nabi saw bersabda,"Pena diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga bermimpi." sementara ungkapan tentang anak kecil dengan sabdanya saw,”hingga dewasa” diriwayat Ahmad, Abu Daud dan an Nasa’i dan sabdanya saw juga,”hingga beruban.” Di riwayat Abu Daud, Tirmidzi, an Nasa’i dan yang lainnya, “al Jami’ al Kabir” milik as Suyuthi. Nabi saw bersabda didalam riwayat Bukhori.”Mandi di hari jumat wajib bagi setiap orang yang telah bermimpi.”. Ibnu Umar berkata sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori,”Sesungguhnya Rasul saw pernah mendapatinya dalam barisan perang Uhud ketika berusia empat belas tahun, namun beliau tidak mengizinkannya, dan kemudian beliau kembali menemukannya dalam barisan perang Khandaq, ketika ia berusia lima belas tahun, beliau akhirnya mengizinkannya."

Dari sini diketahui bahwa batasan taklif adalah telah baligh yaitu telah bermimpi atau berusia 15 tahun Qomariyah (penanggalan islam, pen)

Ibnu Hajar didalam “Fathul Bari juz V hal 327” mengatakan para ulama telah bersepakat bahwa mimpi bagi seorang laki-laki dan perempuan mengharuskannya melaksanakan berbagai ibadah, bisa dikenakan had (hukuman) dan seluruh hukum-hukum yaitu keluarnya mani baik dikarenakan bersenggama atau lainnya, baik dalam keadaan terjaga atau tidur. Mereka telah bersepakat bahwa tidaklah ada pengaruhnya senggama saat tidur kecuali dengan keluarnya mani. Dan para ulama juga bersepakat bahwa haidh menunjukkan balighnya kaum wanita.

Para ulama kemudian berselisih tentang batas minimal usia haidh pada wanita dan usia bermimpi pada lelaki. Apakah tanda-tanda itu terbatas pada itu saja atau tidak ? di dalam hal usia jika seorang anak telah melampui usia tersebut namun belum bermimpi atau wanitanya belum mendapat haidh maka pada saat itu dia sudah bisa dikatakan baligh.
Abu Hanifah berpendapat,”Usia baligh adalah 19 tahun atau 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.” Kebanyakan ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa batasan pada keduanya—laki-laki dan perempuan—adalah 17 tahun atau 18 tahun. Syafi’i, Ahmad dan jumhur berpendapat bahwa batasan keduanya adalah pada usia sempurna 15 tahun berdasarkan hadits Ibnu Umar, pendapat ini juga menjadi sandaran Umar bin Abdul Aziz… (Fatawa al Azhar juz X hal 426)

Dengan demikian untuk menentukan seseorang masuk usia baligh atau belum maka dilihat dari tanda-tandanya terlebih dahulu, yaitu jika seorang telah bermimpi atau bermimpi sedang bersenggama atau keluar mani bagi lelaki maupun perempuan, berdasarkan firman Allah swt :

Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An Nuur : 59)

Atau muncul tanda-tanda yang mudah dikenali seperti pada laki-laki adalah bermimpi, tumbuh rambut di sekitar kemaluan, jakun atau sejenisnya.

Jika tanda-tanda tersebut tidak muncul maka masa baligh ditentukan dengan usia yaitu 15 tahun qomariyah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Ibnu Umar berkata,”Sesungguhnya Rasul saw pernah mendapatinya dalam barisan perang Uhud ketika berusia empat belas tahun, namun beliau tidak mengizinkannya, dan kemudian beliau kembali menemukannya dalam barisan perang Khandaq, ketika ia berusia lima belas tahun, beliau akhirnya mengizinkannya."

Dan ketika seorang anak telah sampai usia baligh maka dikenakan terhadapnya beban-beban taklif yang diperintahkan Allah swt sehingga dibolehkan baginya untuk menjadi imam didalam shalat.

Untuk pertanyaan anda yang ketiga silahkan baca artikel sebelumnya tentang “Hukum Dua Jamaah Shalat dalam Satu Tempat

Wallahu A’lam