Tentang Hukum Tafsir Mimpi

sigitAssalaamu’alaykum warohmatulloohi wabarokaatuh

Ustadz Sigit yang dimuliakan Allah, apakah hukum dari tafsir mimpi. Apakah itu dihukumi seperti hal-hal ghoib lainnya yang mana dilarang, atau diperbolehkan? Ataukah pula khusus diperuntukkan bagi Nabi Yusuf Alaihissalaam saja? Bagaimana pula hukumnya bagi orang-orang yang memperbincangkan mimpinya dan berusaha mengartikan dengan awal kalimat “Jangan-jangan…”.

Namun apabila diperbolehkan, apakah ada cabang studi di dalam ilmu agama Islam yang mempelajarinya?
Jazakalloh

Wassalaamu’alaykum warohmatulloohi wabarokaatuh

Waalaikumussalam Wr Wb
Sesungguhnya menafsirkan mimpi dibolehkan. Nabi saw pernah menafsirkan mimpinya dan mimpi orang lain. Abu Bakar pernah menafsirkan mimpi dihadapan Rasulullah saw.

Didalam shahih Bukhori dari Ibnu Abbas menceritakan seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengatakan; ‘Tadi malam aku bermimpi melihat segumpal awan yang meneteskan minyak samin dan madu, lantas kulihat orang banyak memintanya, ada yang meminta banyak dan ada yang meminta sedikit, tiba-tiba ada tali yang menghubungkan antara langit dan bumi, kulihat engkau memegangnya kemudian engkau naik, kemudian ada orang lain memegangnya dan ia pergunakan untuk naik, kemudian ada orang yang mengambilnya dan dipergunakannya untuk naik namun tali terputus, kemudian tali tersambung.’

Spontan Abu Bakar berujar; ‘Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku untuk tebusanmu, demi Allah, biarkan aku untuk mentakwilkannya! ‘ “takwilkanlah” Kata Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Abu Bakar mengatakan; ‘Adapun awan, itulah Islam, adapun madu dan minyak samin yang menetes, itulah Alquran, karena alqur’an manisnya menetes, maka silahkan ada yang memperbanyak atau mempersedikit, adapun tali yang menghubungkan langit dan bumi adalah kebenaran yang engkau pegang teguh sekarang ini, yang karenanya Allah meninggikan kedudukanmu, kemudian ada seseorang sepeninggalmu mengambilnya dan ia pun menjadi tinggi kedudukannya, lantas ada orang lain yang mengambilnya dan terputus, kemudian tali itu tersambung kembali sehingga ia menjadi tinggi kedudukannya karenanya, maka beritahulah aku ya Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, saya benar ataukah salah? ‘ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Engkau benar sebagian dan salah sebagian!” Abu Bakar mengatakan; ‘Demi Allah ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kepadaku takwilku yang salah! ‘ Nabi menjawab: “Janganlah engkau bersumpah!”

Hadits diatas menunjukkan dibolehkannya menafsirkan mimpi dan hal itu juga dibolehkan bagi selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun penafsiran yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditunjukkan oleh banyak hadits-hadits shahih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah membagi mimpi menjadi tiga bagian, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya mimpi itu ada tiga macam, diantaranya mimpi-mimpi buruk yang menakutkan yang datang dari setan untuk membuat sedih anak Adam, diantaranya pula perkara yang menggelisahkan seseorang ketika terjaga kemudian terbawa dalam mimpinya, dan diantaranya pula satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Majah dan yang lainnya, hadits shahih)

Adapun macam pertama yaitu mimpi buruk dari setan maka tidak perlu ditafsirkan atau diceritakan. Dari Jabir berkata,”Telah datang seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; “Ya Rasulullah! Aku bermimpi kemarin seakan-akan kepalaku di penggal, bagaimana itu?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tertawa, beliau bersabda: ‘Apabila setan mempermainkan salah seorang dari kalian di dalam tidurnya, maka janganlah dia menceritakannya kepada orang lain.” (HR. Muslim)

Macam kedua demikian pula karena ia bukanlah mimpi. Sesungguhnya ia hanyalah perkara yang menggelisahkan seseorang disaat terjaganya dan terus difikirkannya sehingga hal itu dilihatnya saat dirinya tidur.

Adapun macam ketiga adalah salah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian yang mesti diungkapkannya. Malik pernah ditanya,”Apakah setiap orang yang bermimpi mesti menceritakannya?’Dia menjawab,’Tidak, apakah hendak bermain-main dengan kenabian?!’ dia berkata,’Tidaklah seorang menceritakan mimpinya kecuali yang baik.

Jika seorang bermimpi yang baik maka hendaklah dia menceritakannya dan jika dia bermimpi selainnya maka katakanlah kebaikan atau diam.’ Intinya bahwa tidak ada perbedaan dikalangan ulama tentang mengungkapkan mimpi dikarenakan banyaknya dalil dalil. Tidaklah mengingkarinya kecuali orang atheis atau kebanyakan dari mutazilah. (Markaz al Fatwa No. 4473)

Dan janganlah seorang yang bermimpi buruk kemudian menafsirkannya dengan kalimat jangan-jangan begini atau begitu…! Akan tetapi hendaklah dia berdiam diri untuk tidak menceritakannya.

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.”

Kemudian terjadi perbedaan dikalangan ulama tentang apakah kemampuan menafsirkan mimpi merupakan sesuatu yang bisa dipelajari atau tidak? Pendapat yang tepat adalah bahwa kemampuan menafsirkan mimpi merupakan pemberian dann taufik dari Allah swt kepada orang yang dikehendaki-Nya, sebagaimana perkataan Imam Malik diatas,”Apakah hendak bermain-main dengan kenabian?!”
Wallahu A’lam