Sejauh Apa Derita Wanita Bekerja?

Tadi pagi, ketika saya menunggu anak saya latihan basket di Taman Putra Perdana, satu daerah tempat pelatihan dan persiaran keluarga di Malaysia, saya membaca sebuah majalah wanita keluaran Malaysia, dengan salah satu rubrik terdepan yang cukup menyita perhatian, judulnya “Luahan Hati Seorang Wanita” (curhat seorang wanita).

Ini adalah luahan hati seorang wanita pekerja, saya istri dan juga ibu dari 7 anak (Subhanalloh, banyaknya. Memang di Malaysia, untuk memperbanyak keturunan agar ras India dan China tidak merajai jumlah penduduk di Malaysia, seorang Ibu Melayu digalakkan oleh pemerintah untuk beranak banyak–penulis).

Ibu itu bercerita lagi, katanya:’’Saya ingin berkongsi pengalaman, yang rasanya juga dialami oleh sebagian besar wanita masa kini baik yang duduk (tinggal) di perkampungan mau pun yang di perkotaan.

Wanita kini tidak seperti wanita dahulu kala, mereka seiring dengan kaum lelaki mencari nafkah untuk keluarga, lebih lagi kehidupan modern sekarang yang menuntut ’nafkah‘ lebih dalam sebuah keluarga.

Namun, usaha wanita membantu keluarga mencari nafkah sering dianggap sepi, bahkan dianggap bahwa sudah seharusnyalah mereka membantu para suami untuk mencari nafkah, kalau tidak, maka tidak cukup.

Jam lima  petang bukanlah pengakhiran tugas harian seorang wanita, walaupun ini menandakan berakhirnya tugas di tempat kerja, karena masih ada satu lagi tugas menunggu, yaitu mengurus rumah, anak-anak, dan lain-lain yang mana dalam hal ini suami-suami tidak merasakan ini juga bahagian tugasnya (Aniqah,196/01/2010-majalah Wanita Islam terbitan Malaysia).

"Ya, betul. Beban kerja bagi wanita bekerja, sangat berat. Selain kerja-kerja di atas, juga memeriksa PR anak-anak dan wajib berhias diri untuk suami, tambah saya dalam hati".

Seorang ibu juga kadang menyediakan telinga untuk mendengar berjuta keluhan, ikut membayar sampah, koran, dan pusing tujuh keliling dengan tagihan yang bertumpuk, sementara rapat RT pun serta membuat penganan arisan harus juga kita lakukan.

Hati ini demikian semakin gundah gulana ketika suami mengkritik masakan yang katanya tak enak dilihat karena sebagian lauk kita beli di warung. Kata sang suami: “Kalau selalu seperti ini, nanti anak-anak kebiasaan makan makanan dari warung dan juga MSG yang banyak. Lain kali, kalau bisa, Ummi masak sendiri lah. Selain lebih hemat, juga lebih bersih, dan abi serta anak-anak pasti lebih suka masakan Ummi.”

Demikian kata-kata lembut namun menusuk dari suamiku tanpa rasa bersalah (ini yang aku rasakan lho..) Dan, hal ini cukup membuat airmataku berlinang dengan tenang, setelah pulang kerja dengan badan pegal-pegal tak keruan.

Di negara Barat, aku baca di internet, banyak wanita bunuh diri akibat tekanan keluarga yang dirasakan tertumpu padanya. Walau memang benar, bunuh diri diharamkan dari ajaran Islam dan kita pun akan tetap bersabar terhadap hal ini.

Ini membuktikan bahwa sebagian besar wanita di dunia ketika harus mendapat tekanan untuk bekerja mencari nafkah, juga beban tugas di rumah yang menumpuk, selain harus melayani suami dan mengurus anak-anak, dan bahkan sebagian ada yang manjadi dai’yah dan berdakwah diluar rumah, Subhanalloh, bila beban terlalu berat dan menjadi tekanan, apakah akan terjadi ketidak seimbangan yang mana wanita kembali menjadi korban?!

Semoga ada solusi bagi wanita Islam dan seluruh wanita di dunia agar berbagi peran dengan suami dan masyarakat. Menjadikan tidak semua beban rumah tangga tertumpu pada wanita yang bekerja. Harus banyak pengertian dari para suami, bahwa sang istri diam-diam memerlukan bantuan, terutama dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak.

Semoga slogan ini, ketika tidak dipakai lagi oleh SBY dan JK, cocok juga untuk kehidupan rumah tangga para wanita bekerja,”Bersama Kita Bisa”

Fifi (www.jakartaislamicschool.com)