Ahmadiyah (Kembali) Berulah

(Potret Penguasa Lalai dan Gagal Menjamin Rasa Keadilan Umat Islam Indonesia; Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

Bentrok fisik kembali pecah antara masyarakat dengan jemaat Ahamdiyah. Kali ini terjadi sekitar pukul 10.30 Wib hari Ahad (6/2/2011), di kampong Pasir Peuteuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Ada 3 tewas dan sejumlah lainya luka-luka akibat bentrokan, dan dari beberapa sumber informasi yang bisa dipercaya pemicu bentrokan akibat adanya sikap dan pernyataan yang provokatif dari jemaat Ahmadiyah terhadap masyarakat setempat.

Kapolri Timur Pradopo menyatakan para penentang Ahmadiyah adalah warga setempat dan sementara Jemaat Ahmadiyah dibantu sekitar 15 orang yang disinyalir datang dari Bekasi (Republika, 7/2). Bahkan sebagian media memberitakan sekitar 20 orang lebih datang dari Jakarta dengan maskud mengamankan aset Ahmadiyah dan membela jemaat Ahmadiyah sampai titik darah penghabisan.

Kasus bentrok fisik diatas adalah kesekian kalinya, yang sebelumnya juga terjadi di Kuningan Jawa Barat, Mataram, Bogor, Makasar dan lainya. Dalam kasus diatas, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo meminta kepada masyarakat agar melihat kasus penyerangan Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten sebagai kasus kriminal murni tanpa mengkaitkan dengan kelompok atau aliran tertentu. Demikian diungkapkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komjen Ito Sumardi, Senin (7/2/2011), di Mabes Polri, Jakarta (Kompas.com,7/2).

Memunculkan Polemik
Akhirnya peristiwa diatas mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik pemerintah, tokoh Agama, Ormas, dan LSM paska sebagian media elektronik dan cetak mengekspos secara masif.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri meminta semua pihak agar kembali pada kesepakatan yang termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung. Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono Minggu (Antara,7/2).

Dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto membacakan tujuh poin sikap pemerintah usai rapat tertutup dengan Kapolri Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Menteri Agama Suryadharma Ali di Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Jakarta, Minggu (6/2/2011) malam,(kompas.com, 7/2).

Poin penting diantaranya adalah yang ke tiga; kepada semua pihak baik dari warga Ahmadiyah dan pihak masyarakat lain harus tetap mentaati kesepakatan-kesepakatan bersama yang dibuat tanggal 14 Januari 2008 yang terdapat ada 12 butir kesepakatan dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Mendagri Tahun 2008.

Dan poin keempat; kepada segenap warga Ahmadiyah agar memahami dan mentaati kesepakatan bersama tanggal 14 Januari 2008 serta kesepakatan bersama tahun 2008. Kepada warga lain, diminta untuk tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap warga Ahmadiyah. Apabila ada perselisahan ataupun permasalahan harus disalurkan dan diselesaikan melalui Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) yang ada di setiap daerah yang diketuai Kejaksaan.

Namun saat ini sebagian besar umat Islam tidak habis pikir, kenapa kasus Ahmadiyah tidak kunjung usai?Seolah pemerintah hanya bisa menghimbau, mengevaluasi tapi minus solusi. Kenapa pemerintah tidak tegas terhadap Ahmadiyah dengan payung UU yang ada? Padahal sejak tahun 2008 pemerintah juga sudah mengeluarkan SKB (surat keputusan bersama) yang bernomor: 3 tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008/ Nomor;199 Tahun 2008, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008 di tanda tangani Menag, Jaksa Agung dan Mendagri.

Bahkan MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah sejak 1 Juni 1980/17 Rajab 1400H, Rabithah Alam Islami (RAI, Lembaga Muslim Dunia) juga lebih awal megeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah sejak tahun 1974. Wajar kalau kemudian muncul opini miring, pemerintah tidak konsisten dan sengaja melakukan pembiaran atas gesekan-gesekan fisik masyarakat dengan Ahmadiyah. Bahkan seakan “isu Ahmadiyah” sengaja di pelihara dan dijadikan komoditas politik dan kepentingan kelompok tertentu.

Usaha mempolitisir?
Justru jika kita perhatikan, saat ini peristiwa “Cikeusik” kembali menjadi “angin surga” bagi pengusung ide-ide sesat pluralisme dan kebebasan beragama. Apalagi peristiwa diatas terjadi berketepatan dengan event “World Interfeith Harmony Week” yang diadakan oleh Inter Religious Council (IRC) di Istora Senayan, Jakarta, Ahad (6/2) yang memiliki tujuan untuk mendorong kerukunan dan toleransi serta mengakhiri pertikaian dan kekerasan antar umat beragama. Maka “Cikeusik” menjadi isu menarik bagi sebagian kelompok yang selama ini konsen mengkampanyekan toleransi dan pluralisme.

Ditahun 2010 melalui AKKBP melakukan Judicial Review terhadap undang-undang PNPS No.1 tahun 1965 tentang penodaan agama dan di tolak oleh MK (Mahkamah Konstitusi).Dan sangat mungkin kali ini kembali mendramatisir dan mempolitisir peristiwa “Cikeusik” untuk menyuarakan pentingnya “kebebasan beragama” dan mengkambing hitamkan (mencari kesalahan) kelompok-kelompok (ormas) yang dianggap menjadi inspirator tindakan-tindakan kekerasan. Bahkan menyudutkan MUI sebagai pihak yang betanggungjawab atas keluarnya Fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sesat.

Tidak hanya itu, berikutnya akan mempersoalkan SKB tentang Ahmadiyah sebagai salah satu pemicu lahirnya kekerasan atas jemaat Ahmadiyah. Dengan jargon “HAM” langkah advokasi untuk melindungi eksistensi kelompok sesat dan menodai keyakinan umat Islam juga akan dilakukan. Dan menekan pemerintah agar tetap dalam ideologi sekulernya dan tidak masuk dalam ranah agama; Negara tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan privacy (keyakinan) warga negaranya.

Tentu saat ini umat harus berfikir kritis dan bersikap waspada atas setiap manuver yang menjadikan umat Islam sebagai pihak tertuduh atas setiap peristiwa kekerasan. Karena banyak ruang terbuka munculnya konspirasi untuk melahirkan undang-undang (regulasi) yang bisa mengebiri kelompok atau setiap potensi yang dianggap kontra terhadap semangat toleransi, pluralism, dan kebebasan ala “demokrasi”.

Akar Masalah
Oleh karena itu, dalam anatomi masalah Ahmadiyah tersimpul beberapa penyebab pokok ahmadiyah menjadi “bisul” menahun dalam kehidupan kaum muslim di Indonesia.

Pertama, Ahmadiyah sebagai kelompok sesat sudah menjadi perkara yang disepakati (mujma’ alaihi) dan tidak ada khilaf berdasarkan dalil-dalil syar’I -al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ Sohabat- namun dibiarkan eksis dalam kehidupan kaum muslim Indonesia.Dan usaha dialog dan dakwah yang persuasive juga tidak mereka hiraukan, jemaat Ahmadiyah tetap apriori (kukuh) dengan keyakinan sesatnya.Jika ada yang rujuk ilal haq itu masih sebatas person dari mereka, tapi secara institusi Ahmadiyah di Indonesia tidak pernah mau merubah keyakinan dan sikapnya agar bisa diterima menjadi bagian utuh dari kaum muslim.

Kedua, inkonsistensi pemerintah menjalankan SKB alias SKB tidak berjalan sebagaimana mestinya, padahal dalam SKB jelas-jelas memutuskan Ahmadiyah sebagai kelompok sesat. Oleh karena itu pemerintah terlihat lalai bahkan “gagal” untuk melindungi keyakinan mayoritas umat Islam.

Jika kembali ke substansi SKB yang berisi 7 poin keputusan, terlihat jelas bahwa pemerintahlah yang paling besar peran dan fungsinya untuk menyelesaikan. Bola di tangan Presiden, jika pemerintah serius bisa saja meningkatkan SKB itu menjadi Kepres (keputusan presiden) sehingga konflik horizontal bisa dihindari.Tapi sekali lagi kenapa pemerintah bersikap ambigu (medua) dan ragu? Seharunya bersikap tegas dan jelas, pemerintah tinggal pilih pertama; bubarkan Ahmadiyah dan jika Ahmadiyah tetap ngotot dengan pendiriannya maka pemerintah dengan dukungan mayoritas umat Islam bisa menetapkan Ahmadiyah bukan lagi bagian dari Islam dan jemaatnya bukan orang Islam.kedua;di biarkan tanpa keputusan; Tentu semua ada resiko, tapi jika dibiarkan tanpa ada keputusan tegas (memilih opsi pertama) serta implementasi keputusan secara konsisten itu akan jauh lebih berbahaya.Karena pilihan kedua jelas tidak memiliki dasar hukum (baik hukum syara’ maupun hukum positif yang ada), bahkan justru akan mengakumulasi rasa ketidakadilan dan ketersinggungan mayoritas umat Islam Indonesia yang merasa keyakinan (akidahnya) di nodai oleh kelompok Ahmadiyah.Jika ini dibiarkan terus, akan menjadi “bara dalam sekam” tinggal menunggu pemantiknya, kontraksi social politik akan makin liar jika menemukan momentumnya.

Ketiga, keberadaan individu dan kelompok-kelompok pengusung liberalisme (kebebasan) beragama dengan kedok HAM dan Demokrasi berusaha membela kelompok sesat Ahmadiyah.Dalam koridor Demokrasi, kelompok ini menjadi ganjalan bagi pemerintah untuk bersikap tegas.Apalagi jika para penguasa (pemegang kebijakan) cara berfikirnya juga liberal dan lebih memperhatikan citra agar dianggap seorang yang demokratis, moderat dan humanis serta meraih dukungan dari pihak asing (Barat), sehingga abai sama sekali terhadap nasib mayoritas umat Islam yang ternodai keyakinannya.

Jadi, umat Islam hingga saat ini menunggu bukti dan realisasi dari SKB, bukan sekedar himbauan. Karena kunci penyelesaian bergantung kepada keberanian pemerintah mengimplementasikan SKB yang ada.Jika tidak, maka pemerintah benar-benar bersikap munafiq (hipokrit).

SKB seperti pisau bermata dua, satu sisi pemerintah mengakui bahwa jemaat Ahmadiyah beraliran sesat dan sudah tidak boleh melakukan penyebaran keyakinan mereka.Apabila melanggar, akan dikenakan sanksi pidana.Jika masih membandel akan dibubarkan.Namun ketika MUI dan masyarakat sudah melaporkan kepada pemerintah jika sampai saat ini jemaat Ahmadiyah masih menjalankan keyakinannya dan tidak melakukan perubahan apa-apa.

Faktanya pihak pemerintah tidak memberikan respond dan tindakan yang semestinya.Tentu ini melahirkan kekecewaan masyarakat luas, tapi disatu sisi masyarakat atau siapapun tidak boleh melakukan tindakan apapun, apalagi kekerasan kepada jemaat Ahmadiyah.Jika ada masalah harus dilaporkan kepada aparat sehingga tidak ada penghakiman sendiri.

Jadi tampak jelas, konsistensi dan implementasi pemerintah terhadap SKB tidak berjalan sebagaimana mestinya. Wajar kalau kemudian Ahmadiyah yang jumlahnya tidak sampai 0,001 persen dari penduduk Indonesia tetap eksis, bahkan menjadi pemantik gesekan-gesekan fisik dalam kehidupan beragama khususnya umat Islam.

Para penguasa harus ingat peringatan Allah SWT, tentang orang-orang yang condong kepada perbuatan dzalim atau bahkan lebih dari itu.

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan”(QS.Hud:112-113). Wallahu a’lam bisshowab