Vonis Murtad dan Mahkamah Syari'ah

Assalamu’alaikum

Dalam jawaban Pak Ustadz atas sebuah pertanyaan berjudul "Keluar dari Suatu Jamaah, Murtadkah Saya?",

eramuslim. Com/ustadz/pol/45617b28. Htm

Pak Ustadz sebutkan bahwa:

Vonis murtad kepada seseorang tidak bisa langsung dikeluarkan saat itu juga, harus menunggu ada ketetapan resmi dari pengadilan syariah. Pengadilan syariah ini harus diselenggarakan oleh lembaga formal atas nama negara Islam yang berdaulat. Bukan pengadilan jalanan atau pengadilan swasta.Status kemurtadan seseorang harus berdasarkan sebuah ketetapan hukum positif yang tetap dan dikeluarkan oleh negara Islam yang berdaulat.

Yang ingin saya tanyakan adalah apakah MUI sudah termasuk dalam kategori Mahkamah/Pengadilan Syari’ah. Kalau memang iya bukankah Indonesia bukanlah negara Islam yang berdaulat? Jadi, apakah fatwa-fatwa MUI tentang murtadnya Ahmadiyah itu bisa dikatakan tidak sah atau bagaimana?

Selain itu, kalau boleh saya ingin sekali Pak Ustadz memberikan contoh tentang Mahkamah/Pengadilan Syari’ah yang memang diselenggarakan oleh lembaga formal atas nama negara Islam yang berdaulat! Apakah ada di Mesir, Arab Saudi?

Wassalam

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Majelis Ulama Indonesia merupakan janin atau cikal bakal dari sebuah mahkamah syar’iyah, namun belum bisa dikatakan sepenuhnya berfungsi. Karena belum bisa mengeluarkan vonis dengan diiringi eksekusi hukumannya.

Karena negara ini tidak memberikan wewenang itu kepada MUI, sehingga MUI tidak bisa dikatakan sebagai lembaga peradilan. Mahkamah Syar’iyah yang sesungguhnya pasti punya hak untuk melakukan eksekusi mati kepada penjahat syariah.

Dari segi perundangan, negara kita tidak memberikan hak kepada MUI untuk menjadi sebuah mahkamah syar’iyah dengan segala wewenang dan fungsi utamanya.

Maka semua fatwa yang dikeluarkan MUI tidak pernahmengikat secara hukum kepada warga negara dan tidak punya kekuatan hukum secara positif.

Fatwa Haramnya Bunga Bank

Sebagai contoh, ketika MUI mengharamkan bunga bank bagi umat Islam, seharusnya semua umat Islam yang masih saja menabung di bank konvensional harus diadili dan dihukum setimpal, karena bank konvensional melanggar syariah Islam.

Tetapi nyatanya, semua bank konvensional tetap saja dibolehkan beroperasi di tengah umat Islam. Bank-bank konvensional masih berjalan dan bahkan dimiliki oleh orang-orang yang nota bene beragama Islam, demikian juga dengan para direksi, manager dan karyawannya, kebanyakan beragama Islam. Dan yang pasti, nasabahnya juga beragama Islam.

Lalu di mana fatwa MUI tentang haramnya bunga bank? Rasanya tidak ada konsekuensi hukumnya.

Kalau MUI diberi wewenang dan berfungsi sebagai mahkamah syar’iyah, maka MUI bersama pihak keamanan berhak menangkapi semua orang Islam yang masih saja berinteraksi dengan bank-bank konvensional.

Fatwa Haramnya Natal Bersama

Demikian juga dengan fatwa MUI tentang haramnya umat Islam melakukan perayaan natal bersama dengan pemeluk agama lain. Fatwanya sudah tegas dan bisa dibaca di semua media. Tetapi nyatanya, masih saja umat Islam bercampur baur ikut masuk gereja atau ikut misa bersama. Bahkan ketika Gusdur ikut misa natal bahkan didoakan oleh ribuan umat Kristiani, toh dia aman-aman saja dan masih menghirup udara bebas. Tidak ada sanksi atau sejenisnya.

Jangankan buat umat Islam, buat seorang Gusdur pun sebuah lembaga semacam MUI sama sekali tidak dihormati. Kalau orang yang dianggap lebih mengerti agama bebas melanggar fatwa MUI, apalagi dengan jutaan umat Islam lainnya yang awam.

Fatwa Sesat Ahmadiyah

MUI dalam fatwanya pada tahun 1980 telah secara tegas menyatakan kesesatan gerakan Ahmadiyah. Anda bisa baca fatwa itu di situs resmi MUI http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php? Id=33

Tetapi tetap saja aliran Ahmadiyah itu dibiarkan berkeliaran oleh aparat keamanan. Seolah-olah aparat keamanan ‘bego-bego’ semua dan cuek bebek dengan fatwa Majelis Ulama yang mulia itu. Entah karena mereka tidak tahu, atau malah tidak mau tahu.

Atau boleh jadi karena para aparat itu tidak menganggap MUI sebagai lembaga resmi pemerintahan yang berhak untuk mengeluarkan keputusan hukum positif yang mengikat.

Dan ternyata justru negara ini secara resmi telah memberi status hukum formal atas keberadaan aliran sesat ini sebagai badan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA/23/13 tanggal 13-3-1953 (Tambahan Berita Negara: tangga131-3-1953 No. 26).

Maka apa yang divonis kafir oleh MUI dibantah oleh negara ini bahkan malah membolehkan gerakan kafir ini hidup di negeri kita dengan mengatas-namakan diri mereka sebagai pemeluk agama Islam.

Akibatnya, umat Islam bergerak sendiri-sendiri. Ketika ada sebagian kecil yang terjebak tindakanarkis, saat itulahdiblow-up oleh jaringan media yang memang pada dasarnya sangat ‘sirik’ kepada umat Islam. ‘Sirik’ di sini bukan menyekutukan Allah, tetapi jaringan media nasional di negeri kita secara mayoritas memang dimiliki dan diisi oleh para jurnalis yang meski beragama Islam, tetapi berfikrah liberalis alias anti Islam. Setidaknya itulah yang bisa kita rasakan sebagai umat.

Walhasil, fatwa tinggal fatwa, anjing terus saja menggonggong dan kafilah jalan terus. Di mata mereka, MUI tidak lebih dari macan ompong yang diikat dan dikurung di dalam kandang untuk dijadikan tontonan anak kecil. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc