Hijab Walimah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustad, saya ingin tanya dalil dan sirah adanya hijab dalam prosesi walimah. Saya pernah mengajukan hal ini pada keluarga tapi mereka menyanggah dengan alasan pada masjidil haram saja tidak ada hijab padahal sebagai tempat berkumpulnya orang untuk beribadah. Mohon penjelasannya.

Jazakallah

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hijab dalam walimah memang termasuk masalah yang sering mencuat. Sebagian orang mewajibkan pemasangan tabir pemisah (hijab) antara tamu laki dan tamu perempuan, namun sebagian lain tidak mewajibkannya.

Kalau kita cari pandangan fatwa para ulama, kita dapati ternyasta memang mereka berbeda pandangan tentang kewajiban memasang tabir antara tempat lak-laki dengan tempat wanita. Meski pun ada beberapa hal yang disepakati, seperti para wanita wajib menutup aurat dan berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat. Mereka juga sepakat bahwa tidak boleh terjadi ikhtilat (campur baur) antara laki dan wanita. Mereka juga sepakat tentang haramnya berkhalwah atau berduaannya seorang laki-laki dan seorang wanita bukan mahram.

Sedangkan kewajiban untuk memasang kain tabir penutup antara ruangan laki-laki dan wanita, sebagian ulama mewajibkan dan sebagian lainnya tidak mewajibkan.

Kami akan coba menampilkan pandangan masing-masing dengan dilengkapi dengan dalil-dalil yang menunjang.

1. Pendapat Pertama: Yang Mewajibkan Tabir
Mereka yang mewajibkan harus dipasangnya kain tabir penutup ruangan berangkat dari dalil baik Al-Quran maupun As-Sunah nabawiyah. Di antaranya adalah dalil-dalil berikut ini:

a. Dalil Al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak, tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu, dan Allah tidak malu yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka MINTALAH DARI BELAKANG TABIR. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.(QS. Al-Ahzab: 53)

Ayat tersebut menyatakan bahwa memasang kain tabir penutup meski perintahnya hanya untuk para isteri nabi, tapi berlaku juga hukumnya untuk semua wanita. Karena pada dasarnya para wanita harus menjadikan para isteri nabi itu menjadi teladan dalam amaliyah sehari-hari. Sehingga khitab ini tidak hanya berlaku bagi isteri-isteri nabi saja tetapi juga semua wanita mukminat.

b. Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan oleh Nabhan bekas hamba Ummu Salamah, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berkata kepada Ummu Salamah dan Maimunah yang waktu itu Ibnu Ummi Maktum masuk ke rumahnya. Nabi bersabda: `pakailah tabir`. Kemudian kedua isteri Nabi itu berkata: `Dia (Ibnu Ummi Maktum) itu buta!` Maka jawab Nabi: `Apakah kalau dia buta, kamu juga buta? Bukankah kamu berdua melihatnya?`

Dan masih banyak lagi sebenarnya dalil-dalil lain yang menunjang pendapat bahwa ada kewajiban memasang tabir antara ruangan laki-laki dan ruangan wanita.

Tentunya bukan hanya dalam kesempatan walimahan saja, tetapi berlaku pada semua kesempatan.

2. Pendapat Kedua: Yang Tidak Mewajibkan
Oleh mereka yang mengatakan bahwa tabir penutup ruangan yang memisahkan ruangan laki-laki yang wanita itu tidak merupakan kewajiban, kedua dalil di atas dijawab dengan argumen berikut:

a. Dalil Al-Quran
Mereka mengatakan bahwa kewajiban memasang kain tabir itu berlaku hanya untuk pada isteri Nabi, sebagaimana zahir firman Allah dalam surat Al-Ahzab: 53.

Hal itu diperintahkan hanya kepada isteri nabi saja karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka serta rasa hormat terhadap para ibu mukimin itu. Sedangkan terhadap wanita mukminah umumnya, tidak menjadi kewajiban harus memasang kain tabir penutup ruangan yang memisahkan ruang untuk laki-laki dan wanita.

Dan bila mengacu pada asbabun nuzul (sebab turun) ayat tersebut, memang kelihatannya memang diperuntukkan kepada para isteri nabi saja.

b. Dalil Sunnah
Kalangan ahli tahqiq (orang-orang yang ahli dalam penyelidikannya terhadap suatu hadis/pendapat) mengatakan bahwa hadits Ibnu Ummi Maktum itu merupakan hadis yang tidak sah menurut ahli-ahli hadis, karena Nabhan yang meriwayatkan Hadis ini salah seorang yang omongannya tidak dapat diterima.

Kalau ditakdirkan hadis ini sahih, adalah sikap kerasnya Nabi kepada isteri-isterinya karena kemuliaan mereka, sebagaimana beliau bersikap keras dalam persoalan hijab.

c. Dalil lainnya: Isteri yang Melayani Tamu-Tamu Suaminya
Banyak ulama yang mengatakan bahwa seorang isteri boleh melayani tamu-tamu suaminya di hadapan suami, asal dia melakukan tata kesopanan Islam, baik dalam segi berpakaiannya, berhiasnya, berbicaranya dan berjalannya. Sebab secara wajar mereka ingin melihat dia dan dia pun ingin melihat mereka. Oleh karena itu tidak berdosa untuk berbuat seperti itu apabila diyakinkan tidak terjadi fitnah suatu apapun baik dari pihak isteri maupun dari pihak tamu.

Sahal bin Saad al-Anshari berkata sebagai berikut: `Ketika Abu Asid as-Saidi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi dan sahabat-sahabatnya, sedang tidak ada yang membuat makanan dan yang menghidangkannya kepada mereka itu kecuali isterinya sendiri, dia menghancurkan (menumbuk) korma dalam suatu tempat yang dibuat dari batu sejak malam hari. Maka setelah Rasulullah s.a. w. selesai makan, dia sendiri yang berkemas dan memberinya minum dan menyerahkan minuman itu kepada Nabi.` (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Terhadaphadis ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar penulis syarah (keterangan) hadits Buhkari, berpendapat: `Seorang perempuan boleh melayani suaminya sendiri bersama orang laki-laki yang diundangnya…`

Tetapi tidak diragukan lagi, bahwa hal ini apabila aman dari segala fitnah serta dijaganya hal-hal yang wajib, seperti hijab. Begitu juga sebaliknya, seorang suami boleh melayani isterinya dan perempuan-perempuan yang diundang oleh isterinya itu.

Dan apabila seorang perempuan itu tidak menjaga kewajiban-kewajibannya, misalnya soal hijab, seperti kebanyakan perempuan dewasa ini, maka tampaknya seorang perempuan kepada laki-laki lain menjadi haram.

d. Dalil bahwa Masjid Nabawi di Zaman Rasulullah SAW Tidak Memakai Tabir
Pandangan tidak wajibnya tabir didukung pada kenyataan bahwa masjid nabawi di masa Rasulullah SAW masih hidup pun tidak memasang kain tabir penitup yang memisahkan antara ruangan laki-laki dan wanita. Bahkan sebelumnya, mereka keluar masuk dari pintu yang sama, namun setelah junmlah mereka semakin hari semakin banyak, akhirnya Rasulullah SAW menetapkan satu pintu khusus untuk para wanita.

Hanya saja, Rasulullah SAW memisahkan posisi shalat laki-laki dan wanita, yaitu laki-laki di depan dan wanita di belakang

Demikian kedua pendapat yang masih menjadi khilaf di kalangan ulama. Terbuka luas kesepampatan kepada kita untuk memilih yang mana saja dari kedua, karena keduanya merupakan produk hasil ijtihad para ulama syariah yang sangat bisa dipertanggung-jawabkan.

Kalau pun saudara kita memilih pandangan yang tidak sama dengan pilihan kita, bukan berarti saudra kita itu lantas menjadi musuh yang harus diperangi. Demikian juga, mereka tidak berhak memerangi kita yang mungkin pilihan pendapatnya tidak sama. Sebab masalah ini memang khilaf di kalangan ulama.

Seandainya ada dalil qath’i yang sharih, tentu khilaf tidak perlu terjadi.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc