Catatan Ramadhan: Bukan Orang Gagal

macet11Pulang kampung, nampaknya sudah menjadi tradisi yang bagi sebagian orang mendekati kewajiban jika hari-hari Ramadhan tinggal hitungan jari. Segala persiapan dilakukan, berbagai bekal disiapkan untuk hajatan besar tingkat nasional, bahkan internasional ini. Mulai dari para pemudik itu sendiri, sampai pemerintah dari tingkat daerah hingga pusat ikut dibuat sibuk menyiapkan segala hal demi menjamin semuanya berjalan lancar. Bahkan berbagai pihak korporat pun tak ketinggalan ikut ambil bagian dalam program tahunan ini, termasuk nyaris semua stasiun televisi dan media cetak mau tidak mau menjadikan “Pulang Kampung” sebagai berita utamanya.

Secara pribadi, sebagian besar para pemudik sudah merencanakan pulang kampung sejak jauh hari. Ada yang menyiapkan sejak lama, karena sudah lama tidak pulang kampung. Ada yang memang setiap tahun tak pernah absen menengok tanah kelahiran, namun ada juga yang hingga belasan tahun tidak pulang-pulang. “Tahun ini harus pulang!” ucap salah seorang teman yang sudah tiga lebaran tidak pulang kampung. Ternyata Bang Thoyib tidak sendirian, banyak yang meninggalkan keluarganya di kampung dan tidak pulang-pulang dengan berbagai alasan. Mulai dari yang sama sekali tidak punya ongkos pulang kampung, sampai alasan “belum jadi orang sukses” sebagai pengikat kakinya untuk tak melangkah pulang, meski hatinya menjerit kencang ingin pulang.

Berbagai rasa beraduk saat menyiapkan pulang kampung. Ada yang sudah senyum-senyum sendirian berhari-hari menjelang pulang kampung, entah karena rasa kangennya dengan kampung halamannya atau seseorang yang telah lama menantinya kembali. Ada yang terharu tak tahan menahan tetesan air mata bahagianya, karena sebentar lagi bertemu dengan orang tuanya yang sekian lama ditinggalkan. Ia tahu, sejauh apapun ia, orang tuanya selalu melayangkan doa untuknya. Ada yang tak tertahankan rindunya untuk mengenang kembali masa-masa indah di kampungnya, membajak sawah dan memanggul padi hasil panen bersama Bapak, pergi ke Surau menjelang maghrib bersama teman-teman sepermainan, tidur di teras rumah beralas papan di pangkuan ibu sambil mendengarkan dongeng ditemani suara jangkrik bersahutan. Tetapi ada pula yang tahun ini akhirnya memberanikan diri pulang kampung, sambil berharap orang-orang di kampung sudah bisa memaafkannya atas kesalahan yang pernah ia perbuat di masa lalu.

Berbagai bekal pun disiapkan. Tak hanya mempercantik diri dengan penampilan yang baru, berbagai oleh-oleh pun disiapkan untuk sanak famili, saudara, kerabat, sahabat, tetangga, teman-teman sekolah dulu. “Pulang kampung nanti, saya harus buktikan bahwa saya berhasil hidup di kota,” ujar seorang teman yang lain. Ya, memang seperti ada tuntutan tak resmi dari orang-orang di kampung bahwa setiap saudara, kerabat, keluarga, sahabatnya yang pergi merantau ke kota, maka keberhasilan dan kesuksesan harus menjadi tujuannya. Dan lebih sempit lagi, kesuksesan yang dimaksud tidak lain adalah kekayaan. Berbagai cerita dari desa dan kampung pun kerap kita dengar, mereka yang pulang kampung diharapkan untuk ‘Berbagi’, mulai dari berbagi rezeki sampai sekadar berbagi cerita; tentang kota dan kehidupannya, tentang pengalaman dan suka dukanya selama merantau.

Anak rantau yang pulang kampung, dikerubungi teman-temannya untuk minta ditraktir. “ingin merasakan rezeki dari kota,” begitu alasannya. Karena itulah, ada orang-orang yang jadi mikir berkal-kali untuk pulang kampung, khawatir dianggap sebagai orang gagal kalau tidak bagi-bagi rezeki. Jadilah, meski hidup susah di kota, pas-pasan bahkan selalu kekurangan, namun kalau pulang kampung segalanya dibuat ada. Mulai dari cerita yang mengada-ada, seperti tinggal dikontrakan bilangnya punya kontrakan. Bilang kerja di Bank, ternyata cuma office boy di Bank, mengaku tinggal di rumah mewah padahal ia hanya pembantu, pernah kirim foto dirinya dengan mobil mewah, padahal itu mobil majikannya. Ada pula yang pernah kirim fotonya bersama artis, mengaku kenal dekat dengan artis yang lagi ngetop itu, padahal cuma ketemu dan beruntung bisa foto bareng saat jumpa fans.

Mengada-adanya sampai ada yang berlebihan. Pulang kampung bawa mobil sendiri hasil sewaan, di kampung mengakunya mobil sendiri. Bawa oleh-oleh dari kota, dibagi-bagi ke orang sekampung sambil mikir nanti balik ke kota bingung bayar hutangnya. Segala aksesoris “orang kota” bak lengket di tubuhnya. Perhiasan dari leher ke kaki, tak perlu orang tahu semua hasil pinjaman. Pamer laptop dan BlackBerry hasil kreditan, untuk menambah keyakinan orang-orang di kampung bahwa dirinya memang orang sukses di kota.

Semua itu rela dilakukan oleh sebagian pemudik, hanya untuk sebuah anggapan di kampung bahwa keputusannya untuk merantau bertahun-tahun silam adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. Untuk mematahkan anggapan bahwa kehidupan di desa lebih baik daripada di kota, untuk membuktikan kepada semua orang di kampung bahwa tidak semua orang yang merantau akhirnya kembali ke kampung dengan tangan hampa dan kegagalan. Ya, semua demi satu anggapan bahwa dirinya bukanlah orang gagal!

Semua kepalsuan dari kota mungkin saja bisa menipu keluguan dan kepolosan orang-orang di kampung, mulai dari orang tua sampai teman-teman di masa kecil. Meski tidak jarang yang akhirnya semuanya akan terbongkar, seiring bersama sahabat atau kerabat lainnya yang menyusul ke kota untuk mencoba mengadu nasibnya, bermimpi menjadi orang sukses seperti yang ia lihat dari sahabatnya saat pulang kampung.

Tetapi itu semua hanya boleh berlaku selama pulang kampungnya masih di dunia. Kalau sudah pulang ke kampung akhirat, ceritanya jadi lain. Apakah sudah cukup bekal yang akan kita bawa? Bagaimana persiapan kita menuju kesana? Tidak ada kepalsuan yang bisa kita tampilkan di kampung akhirat, tidak ada yang bisa ditipu. Semua tergantung amal ibadah kita selama di dunia. Meski demikian, pulang kampung di dunia dan pulang kampung akhirat punya satu kesamaan, yakni kita tidak mau dicap sebagai orang gagal! Kalau cuma jadi orang gagal di dunia, kita masih bisa perbaiki. Tetapi kalau sudah dianggap gagal di hadapan Allah nanti. Tak selamatlah kita. Naudzubillaahi min dzalik. (Gaw, yang masih kurang bekal ke kampung akhirat)

Bayu Gawtama