Ramadhan di Mesir, Ketika Lampu Fanus Telah Terpasang

Ramadhan di Mesir tahun ini, terasa agak lain di samping barang-barang kebutuhan yang makin mahal juga kebetulan puasanya masih di musim panas. Sehingga waktu siang hari, sekarang agak panjang. Bagi anak-anak yang mulai belajar puasa sehari penuh, puasa di musim panas adalah perjuangan berat. Apalagi untuk ibunya yang berusaha membujuk mereka supaya kuat puasa sehari penuh.

Awal Ramadhan di Mesir, seperti biasanya diumumkan oleh Mufti Mesir, tidak seperti di Indonesia yang kadang setiap ormas Islam mengumumkan awal puasanya sendiri-sendiri, sehingga awal puasa sering berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Mungkin karena di Mesir keterkaitan umat dengan alim ulamanya (seperti MUI nya Indonesia) sangat dekat dan mereka sangat mengakui keberadaan alim ulamanya. Kalaupun ada perbedaan awal puasa, paling hanya terjadi dengan Arab Saudi-negara tetangga Mesir yang menjadi kiblat Muslimin seluruh dunia-dan itu pun tidak memicu gejolak. Damai, itulah yang dirasakan manakala ada khilafiah, karena mereka rata-rata faham tentang fiqhnya.

Memulai puasa, masyarakat Mesir umumnya membersihkan rumah mereka dan tak lupa memasang lampu Fanus baik di dalam maupun di luar rumah. Lampu Fanus menjadi ciri khas masyarakat Mesir dalam menyambut Ramadhan, sehingga ada yang sampai patungan untuk membeli dan memasang lampu Famus di jalan-jalan. Saat Ramadhan tiba, para orang tua di Mesir juga membelikan anak-anak mereka lampu fanus kecil. Lampu fanis itu menjadi mainan yang sangat menyenangkan bagi mereka.

Sejarah lampu Fanus ini dimulai ketika masyarakat Mesir keluar pada suatu malam dengan membawa lampu-lampu untuk menyambut kedatangan pasukan Raja Muidz Lidznillah pada zaman Dinasti Fatimiyyah. Diceritakan, peristiwa itu terjadi malam di bulan Ramadhan. Dan sampai sekarang sejarah menyalakan dan menghias lampu itu menjadi semacam tradisi yang masih berlangsung sampai sekarang.

Menurut salah satu sumber, Fanus ini mengandung filosofi. Selain sebagai ungkapan kegembiraan menyambut Ramadhan, Fanus juga sebagai perlambang bahwa lampu pada hakikatnya adalah sumber cahaya. Begitu juga dengan Ramadhan, kehadirannya diibaratkan sebagai lampu penerang dalam kehidupan kita. Setelah sekian waktu bergelut dengan kesibukan yang kadang mengaburkan pandangan kita. Kemudian datanglah "lampu Ramadhan" yang bakal mengawal langkah kita menuju jalan yang lebih terang, dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan nama "Taqwa."

Para ibu di Mesir, sudah menyiapkan diri sekah jauh-jauh hari untuk menyambut Ramadhan, mereka belanja kebutuhan rumah tangga, terutama makanan di awal Ramadhan. Tidak heran setiap awal Ramadhan banyak supermarket yang menyediakan outlet sendiri berupa makanan khas untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ragam bahan makanannya seperti: Kurma kering, kacang-kacangan, gula, mentega, qomarudin (buah aprikot yang dikeringkan untuk minuman), kelapa kering, dan lain lain. Tidak hanya ibu-ibu saja yang sibuk saat Ramadhan tiba, lembaga atau perkantoran banyak yang memesan parcel bahan makanan untuk dibagikan ke karyawan atau tetangga. Bagi para pengusaha supermarket, Ramadhan membawa rejeki tersendiri karena mereka mendapat keuntungan banyak dari order pembuatan parcel bahan makanan.

Orang Arab senang makanan yang manis-manis. Dihari puasa pun makanan khas yang jarang di temui di bulan lain seperti Qotoif (kue terigu semacam serabi kecil di Indonesia) diisi dengan berbagai macam olahan kacang, atau isthoh (kepala susu) yang diguyur dengan madu atau cairan gula kental. Ada juga Kunafa terbuat dari bihun terigu yang ditata di loyang diberi macam-macam kacang yang di hancurkan, bisa bibentuk cone atau digulung disiram cairan gula atau madu, lalu dimasak di dalam oven. Dan banyak lagi makanan khas Mesir lainnya, yang mungkin dijumpai pula di negara tetangga Mesir lainnya. Minuman pembuka puasa yaitu Qomarudin (baca Amarudin) yang berasal dari buah apricot yang dikeringkan, dimasak bersama gula, kental dan segar, juga ada Tamarinhind (buah asam dari India) yang biasa kita gunakan untuk membuat sayur asam, oleh mereka dibuat minuman pembuka puasa setelah dicampur gula tentunya. Rasanya asam, manis dan segar.

Maidaturrahman

Hal lain yang khas pula di negeri Piramida ini adalah "Maidaturrahman" yang berati hidangan Tuhan atau jamuan Allah. Bila kita berkunjung ke negeri ini di bulan Ramadhan, jangan lupa untuk sekedar berjalan-jalan ketika waktu Magrib akan tiba, selain suasana sunyi senyap jarang mobil yang lewat, kita akan melewati banyak sekali tenda-tenda yang dibangun, meja-meja yang berjejer rapi siap dengan hidangan aneka ragam makanan untuk berbuka puasa dan gratis, boleh dinikmati oleh semua orang. Tidak hanya orang miskin boleh datang, namun untuk semua orang yang kebetulan berada di jalan itu ketika saat berbua tiba.

Makanan yang dihidangkan antara lain nasi, roti Isy (roti bundar tipis yang disebut juga roti canay), daging, ayam panggang, sayur kacang, dan halawa (makanan penutup yang rasanya manis seperti pisang, jeruk, balakh atau kurma muda dan kue). Hampir semua masjid di Mesir juga menyediakan maidaturrahman. Cara menghidangkannya pun beragam pula. Di beberapa masjid besar, biasanya makanan tersaji dengan rapi dan bersih. Setiap orang mendapat jatah satu kemasan yang berisi makanan. Ada juga masjid-masjid yang menyediakan makanan dalam wadah-wadah besar, untuk dinikmati bersama. Nasi, sayur, kentang, bahkan ikan atau daging rebusnya dijadikan satu. Satu wadah cukup untuk 7 atau 10 orang. Makanan ini disantap terkadang tanpa memakai sendok atau jika ada sendok, sendoknya dipakai bergantian.

Ada pula Maidaturrahman yang diselenggarkan di hotel atau restoran besar, yang datang pun hanya orang orang tertentu saja dan tidak gratis. Mereka mengganti makanan dengan harga tertentu untuk disumbangkan ke yayasan sosial yang memerlukan. Di samping menyediakan makanan berbuka, masyarakat Mesir berlomba pula untuk berinfaq. Di setiap Maidaturrahman, biasanya dipasang spanduk yang bertuliskan Maidaturrahman, seakan mengajak orang untuk berlomba-lomba berinfaq.

Dana yang dikeluarkan untuk Maidaturrahman tidak hanya dari perorangan saja, lembaga-lembaga pun mengatur penyelenggaraan Maidaturrahman, di antaranya WAMY (World Assembly of Moslem Youth), Bayt Zakat Kuwait dan Yayasan Haramain, termasuk lembaga-lembaga sosial non-pemerintah yang sering memberikan fasilitas dalam bentuk uang maupun makanan kepada masyarakat khususnya mahasiswa Indonesia untuk berbuka puasa. Biasanya yang diberikan berupa parcel bahan makanan. Pengambilan parcel ini pun beragam ada yang diantar langsung, ada pula yang diatur dengan cara mereka membawa Karnek (kartu mahasiswa) untuk ditukar dengan parcel.

Alhamdulillah berkat semangat berinfaq yang sangat kuat di Mesir, kalangan mahasiswa Indonesia terkenal paling banyak mendapat bantuan dari para Muhsinin. Jangan heran bila di jalan, kita bertemu orang yang langsung menyapa dan menanyakan apakah kita dari Indonesia. Mereka akan serta merta merogoh kantong dan memberikan uangnya jika orang yang mereka temui itu asal Indonesia.

Ada pengalaman, salah seorang teman yang tidak mau mengaku orang Indonesia (maklum, dia takut dianggap tidak baik bila mengaku dari Indonesia) akhirnya kecewa ketika mengetahui niatan orang yang menanyainya karena ingin memberi sumbangan infaq musa’adah (bantuan).

Sejarah Maidaturrahman di Mesir ini dimulai oleh Abdurrahman Katkhudza, seorang petinggi pada masa Turki Usmani berkuasa di negeri ini. Dalam penuturan Al-Maqrizi, Abdurrahman selalu menyiapkan makanan berbuka puasa di dekat rumahnya untuk orang-orang di sekitarnya. Ketika malam hari, ia memberikan setiap orang dua buah roti, daging bersama makanan lainnya untuk sahur. Saksi atas kedermawanannya masih bisa dilihat dengan adanya bangunan Sabil Abdurahman Katkhudza yang berada di Hay Jamiliyah.

Semangat Maidaturrahman ini sebetulnya diilhami hadits Nabi saw yang menegaskan kemuliaan orang yang menyediakan jamuan berbuka puasa akan mendapatkan pahala seperti puasa orang yang dijamunya. Diriwayatkan Zaid bin Khalid Al-Zuhni Rasululullah saw bersabda, "Barang siapa yang menjamu orang yang berpuasa, amaka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya." (HR Tirmidzi). Orang yang memberikan jamuan makanan pada yang berpuasa, juga didoakan Nabi saw agar mendapatkan do’a kesejahteraan para malaikat. Jaminan pahala itulah yang menarik kaum muslimin Mesir berbondong bondong menyiapkan makanan berbuka bagi yang berpuasa.

Tarwih dan I’tikaf

Ramadhan juga identik dengan bulan Al-Qur’an, kita akan menjumpai hampir disetiap tempat orang Mesir sedang membaca Al-Qur’an, baik itu di halte bis, di dalam kendaraan umum, bahkan para penjaga toko dan pegawai kantoran pun menyempatkan diri membaca Al-Qur’an disela sela pekerjaan rutinnya. belum lagi budaya ibadah I’tikaf yang sudah mentradisi di tengah umat Islam Mesir. Disaat-saat terakhir Ramadhan, masjid-masjid di seluruh Mesir dipenuhi para muta’kifien. Mereka umumnya adalah pelajar, mahasiswa, pegawai dan para pengusaha. Mereka tidak menaruh target i’tikaf selama sepuluh hari penuh, tetapi disesuaikan dengan kesibukan masing masing.

Bagi mereka, yang penting menyisakan hari beri’tikaf dan merenung, meski cuma beberapa hari daripada tidak sama sekali. Kebiasaan I’tikaf di masjid besar Amr bin Ash lebih menarik lagi. Masjid bersejarah, yang dibangun pertama kali di Mesir saat Amr bin Ash di angkat menjadi gubernur untuk kawasan Afrika ini setiap tahun selama Ramadhan kebanjiran tak kurang dari 400 sampai 500 orang yang beri’tikaf. Pada setiap tiga hari terakhir Ramadhan. masjid yang berada di kawasan Mishr Qodimah (Mesir Lama) ini mampu menyedot pengunjung shalat tarawih sampai puluhan ribu orang. Mereka hadir, karena saat itu masjid diimami seorang syaikh Mesir dan qari yang terkenal memiliki suara indah yaitu Syaikh Muhammad Jibril.

Di Mesir mereka melaksanakan shalat Tarawih berbeda beda, ada beberapa masjid yang melakukannya 8 raka’at, ada juga yang 20 raka’at. Bacaan ayatnya pun ada yang hanya membaca surat-surat pendek, ada pula yang membaca satu Juz untuk satu malam. Jadi ketika Ramadhan berakhir mereka pun telah menkhatamkan Al-Qur’an. Ada juga beberapa masjid yang menyambung shalat tarawihnya dengan qiyamullail, bacaannya berjuz-juz Al-Quran setiap raka’atnya. Tidak heran bila sampai ada yang bengkak kakinya karena kelamaan berdiri.

Apalagi hari terakhir puasa, inilah mungkin yang sangat dinanti para mahasiswa Indonesia di Mesir, sebab setiap masjid membuka tempat untuk menyalurkan zakat. Seperti yang kita ketahui, setiap masjid di Mesir ini mempunyai lembaga zakat, mengumpulkan dan menyalurkan zakat. Ramailah Masjid di hari hari terakhir Ramadhan dengan para pencari musa’adah (bantuan). Saling memberi informasi masjid mana yang buka musa’adah untuk hari itu, adalah hal biasa kita dengar di kalangan mahasiswa dari mulai Ramadhan sampai akhir Ramadhan. Saking giatnya, bisa jadi satu orang mahasiswa bisa mendapat ratusan pond Mesir dalam satu hari.

Setiap bulan Ramadhan, toko maupun fasilitas perkantoran di Mesir lebih cepat tutup. Dan jangan heran bila kemacetan akan makin mencapai puncaknya bila para pegawai keluar kantor. Orang berseteru hanya untuk mendapat jalan pulang ke rumah, jadi benar-benar harus bersabar di bulan Ramadhan bila kita berjalan di Negeri Mesir, meski kemacetan Cairo adalah hal yang biasa. Bila kemacetan mendera, seperti banyak yang terlihat di jalan, orang akan mengambil tasbih yang tergantung di kaca spion dan memulai berdzikir, Subhanallah.

Indahnya Ramadhan di negeri ini, semoga berkah yang dijalani negeri ini terus berlangsung seiring dengan semangat mereka dalam menggapai pahala Ramdhan sebanyak banyaknya… (Mimin Mintarsih Salam, ibu rumah tangga, tinggal di Cairo, Mesir)