Tatanan Politik Islam yang Terkoyak

Dalam keyakinan kita sebagai muslim, Islam merupakan sistem keyakinan dan tata nilai yang memuat aturan-aturan Ilahi yang universal dan hakiki. Sistem ini ditujukan untuk mengatur prikehidupan manusia, agar manusia bisa menegakkan keadilan baik ke sisi terdalam dirinya maupun ke luar dirinya. Karenanya, sesungguhnya ketika Allah SWT berfirman: "Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil." (Qs. Al-Hadid : 25), maka sebenarnya Islam tengah menyuguhkan sebuah bentuk tatanan politik. Ayat ini menegaskan tatanan politik yang dikehendaki Islam berasas pada keadilan.

Menurut Islam keadilan harus dirasakan oleh semua, baik oleh yang meyakini Islam sebagai agama yang dipeluknya maupun yang mengingkarinya. Karenanya, keadilan pada Islam berdiri pada pondasi kepastian dan keyakinan. Islam berbeda dengan tatanan politik buatan manusia yang dibangun atas dasar perkiraan dan prediksi semata. Kemutlakan kebenaran ajaran Islam ini meniscayakan adanya orang-orang utusan yang telah mendapat sibghah (celupan) Ilahi, sehingga setiap perkataan dan tindak tanduknya merupakan manifestasi Ilahi, tidak semillipun meleset dari apa yang dikehendaki-Nya.

Gambaran ringkasnya ada pada kepribadian nabi Muhammad saw yang mengaktualisasikan aturan Ilahi itu dalam seluruh hembusan nafas dan perilakunya. Ketika umat manusia mengikuti segenap tuntunan sang Nabi, maka kemuliaan dan keagungan mampu mereka raih. Namun ketika justru berpaling, Al-Qur’an membahasakan, "Mereka akan mendapat azab yang pedih".

Karenanya kesengsaraan dan ketimpangan sebagai ‘azab pedih’ yang dirasakan umat Islam saat ini, bukan bersumber dari aturan-aturan Islam yang tidak update, yang ketinggalan zaman, melainkan umat Islam sendiri yang telah ‘nakal’ mengganti nikmat Allah dengan hukum-hukum buatan manusia. Kita tidak bisa menghindari kenyataan akan traumanya umat Islam akan sistem kepemimpinan politik Islam.

Dalam perjalanan sejarah masyarakat Islam, tatanan politik berkeadilan yang hendak diwujudkan Islam pernah mengalami terpaan badai prahara. Dunia Islam pernah dipimpin oleh khalifah-khalifah yang terkadang salah dan tidak becus dalam menjalankan kekuasaannya bahkan melakukan kedzaliman yang tiada tara yang membuat sebagian orang trauma dengan pemerintahan Islam.

Menurut saya, wajar saja, sebab yang dianggap khalifah oleh umat Islam adalah orang-orang yang sebenarnya tidak layak memegang jabatan itu. Untuk membenarkan ketidakbecusan mereka inilah kitapun berpendapat khalifah atau pemimpin bisa saja salah, dan dibuatlah konsep, tidak ada ketaatan kepada pemimpin dalam kemaksiatan.

Dikatakanlah pemimpin tidaklah harus yang paling alim, tidaklah mesti yang paling tahu tentang ajaran agama ini, bahkan dengan hadits yang dibuat-buat, ketaatan harus tetap diberikan kepada pemimpin meskipun mereka melakukan kedzaliman. Pendapat seperti ini mendapat tantangan dari Allah SWT yang berfirman di dalam Surah al-Zumar (39) : 9: "Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran". Dan firman-Nya di dalam Surah Yunus (10):35: "Maka apakah orang-orang yang menunjuki jalan kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang-orang yang tidak dapat memberi petujuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?"

Ya, begitulah. Aqidah sesat inilah yang melahirkan pemimpin-pemipin durjana yang berjubah Islam.

Laporan Sejarahwan

Kita lihat apa yang dilaporkan sejarahwan atas ulah khalifah-khalifah yang menyalahi ajaran Islam dan mengabaikan syarat-syarat yang dibutuhkan seorang pemimpin. Dalam kitab tarikhnya, Al-Kamil fi Tarikh, Daru’l Kitab Al-Arabi, Beirut, jilid 12 hlm 375 Ibnu Atsir menuliskan kesaksiaannya yang melihat dengan mata kepala sendiri ulah raja-raja dan khalifah-khalifah 25 tahun sebelum kejatuhan Baghdad. Ia menggambarkan para raja-raja ini tidak ubahnya seperti hewan yang hanya memikirkan persoalan perut dan melampiaskan nafsu syahwat sesuka mereka.

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa’n Nihayah jilid 13 hlm 200 menulis : "Saya memasuki kota Baghdad tahun 656 H. Pada tahun itu saya melihat bala tentara Tartar telah mengepung kota Baghdad, kemudian pasukan Tartar tersebut mengepung istana khalifah, lalu menghujaninya dengan anak panah dari segenap penjuru, sehingga akhirnya mengenai seorang sahaya wanita yang sedang main-main dengan khalifah. Sahaya yang bernama Arfah itu termasuk salah seorang gundik khalifah. Ketika anak panah itu mengenainya, ia sedang menari-nari di hadapan khalifah. Khalifahpun terkejut dan ketakutan.". Apa yang terpetik dalam benak ketika membaca penyaksian Ibnu Katsir ini . Mana tanggungjawab sang khalifah sebagai pemimpin ketika justru negara dalam kondisi perang dan genting masih juga bermain-main, bukankah sebagai khalifah dia harusnya memikirkan masa depan rakyatnya dan umat Islam?.

Sedangkan laporan sejarahwan Khatib Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, menuliskan Khalifah Muqtadir memiliki sebelas ribu orang kebiri dan ribuan budak dari Sicilia, Roma dan Ethiopia dan kemewahan yang tiada taranya dalam sejarah. Cukuplah tiga pengakuan sejarahwan ini yang saya nukilkan.

Sejarahwan muslim telah menulis sejarah dengan apa adanya dan laporan-laporan sejarah mereka menunjukkan adanya kenyataan yang tidak terpungkiri, sebagian besar khalifah-khalifah yang diakui sebagai penguasa dan pemimpin atas kaum muslimin mempraktikkan gaya hidup yang hedonisme, penuh kemewahan, menghambur-hamburkan Baitul Mal, menginjak-injak aturan Islam, menyogok ulama untuk mengukuhkan kekuasaan mereka dan menyingkirkan Imam yang sah dan ulama-ulama yang berusaha menyadarkan masyarakat muslim akan kedzaliman mereka. Tak terperihkan penderitaan yang harus dialami ulama-ulama Islam sepanjang pemerintahan khalifah-khalifah dari Dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Cambukan, siksaan, pemenjaraan bahkan sampai dibunuh harus menjadi tebusan atas dakwah mereka.

Tersebutlah diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dipaksa oleh khalifah yang berkuasa untuk menghabiskan separuh hidupnya dalam penjara dan penyiksaan yang mendirikan bulu roma sebagai imbalan atas dakwahnya. Saya tidak memungkiri adanya kejayaan dan prestasi-prestasi gemilang yang mereka raih, namun apakah kita bisa menyebut pemerintahan mereka Islami ketika kemajuan dan kemakmuran hanya dirasakan segelintir orang sementara jumlah mereka yang tersingkirkan secara sosial tidak terhitung?. Bisakah mereka disebut sebagai khalifah-khalifah Islam jika pada akhirnya keadilan sebagai prinsip Islam tidak mereka tegakkan?

Melihat kenyataan ini, Imam Khomeini ra mengatakan, "Islam tumbuh dan berkembang karena pengorbanan dan kesyahidan putra putri tercintanya." Ya, mujahidin Islam tidak melulu tertebas pedang kaum kuffar, namun juga diantara mereka ada yang menemukan kesyahidannya dibalik terali besi, tiang gantungan, bubuhan racun dan tebasan pedang suruhan sang khalifah Islam.

Keberadaan khalifah-khalifah yang menyimpang dari tuntunan Ilahi ini membuat aturan politik Islam terpecah menjadi kepingan-kepingan besar. Sebagian besar umat Islam menyatakan Islam tidak mengurusi persoalan politik, dan sebagiannya lagi justru sibuk menggedor-gedor kesadaran kaum muslimin akan pentingnya politik dan kekhilafaan dalam masyarakat Islam. Kaum muslimin menderita sakit yang memilukan dan menghilangkan simpatik umat lain.

Bukan hanya syariat Islam yang diragukan kedigdayaannya menegakkan keadilan, namun juga berimbas kepada penghinaan dan pengolok-olokan nabi Muhammad saww yang dianggap telah menebar teror kemanusiaan bukannya menegakkan keadilan. Allah SWT berfirman, "Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (Qs. Al-Anfal : 53).

Jadi sesungguhnya, bukan Allah SWT tidak menepati janjinya, bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, ummat yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, umat washatan yang mampu menegakkan keadilan, melainkan umat ini sendiri yang mengingkari nikmat dan anugerah yang telah diberikan. Umat Islam sendirilah yang berani menorehkan tinta berwarna selain Islam dengan membuat aturan-aturan politik lain kemudian menyebutnya sebagai aturan Islam.

Setelah melakukan ibadah Haji Perpisahan (Hajjatul-Wada) 18 Dzulhijjah tahun 10 H, bersama jemaah haji Rasulullah berhenti di Gaidir Khum. Begitu Rasulullah selesai membacakan khutbah terakhirnya, Penguasa mutlak atas manusia berfirman, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu." (Qs. Al-Maidah :3). Ya, kesempurnaan ajaran Islam meniscayakan adanya tatanan politik yang kuat dan cemerlang dalam Islam untuk menegakkan keadilan atas umat manusia, sehingga menjadi ajaran rahmat bagi sekalian alam.

Wallahu ‘alam bishshawwab

Profil Penulis :

Ismail Amin ; Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
Lahir di Makassar 6 Maret 1983, sempat menimba ilmu di Ma’had Al Birr UNISMUH Makassar, sekarang untuk sementara menetap di Republik Islam Iran sambil belajar di Mostafa International University. Mengelola blog pribadi http://abi-azzahra.blogspot.com/ bisa di hubungi via email di [email protected]