Ani-Kuntoro Jadi Menteri? Ternyata Trisakti Cuma Dagangan Murahan

aniOleh Edy Mulyadi*

 

Dan, nama Sri Mulyani Indrawati (SMI) pun akhirnya bergema juga. Konon, dia akan diplot mengisi kursi menteri pada kabinet Jokowi-JK. Tidak tanggung-tanggung, konon lagi, dia akan menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Posisi keren yang menggawangi jatuh-bangunnya perekonomian negeri berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa ini.

Nama lain yang juga beredar adalah Kuntoro Mangkusubroto. Nama ini memang tidak sekencang SMI. Namun, tak urung gosip ini memantik kekhawatiran sebagian kalangan yang paham betul rekam jejak Kuntoro di jajaran birokrasi.

Jika kabar-kabur yang berseliweran itu benar, maka lengkap sudah keterpurukan Indonesia. Nyaris sejak Orde Baru, dan disambung Orde Reformasi, kendali ekonomi Indonesia senantiasa diserahkan kepada para penghamba sekaligus pejuang neoliberalisme. Satu mazhab yang getol menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak pasar.

Perempuan yang akrab disapa Ani itu kini adalah Managing Director IMF. Jabatannya sekarang sudah lumayan mentereng. Tapi, saat didapuk menduduki posisinya tersebut, sempat berembus kabar, Ani diselematkan the invisble hand agar tidak terseret pusaran mega skandal Bank Century.

Sekadar mengingatkan saja, saat –meninjam istilah Wapres Jusuf kalla– perampokan uang negara sebesar Rp6,7 triliun itu terjadi, dia adalah Menteri Keuangan sekaligus Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Sebagai KKSK, Ani dianggap orang kedua yang paling bertanggung jawab setelah Wapres Boediono.

Komparador asing sejati

Agar publik tidak lupa, selain mega skandal Century, Ani juga punya sederet prestasi yang membuktikan dia adalah seorang komparador asing sejati. Pada Februari 2013, misalnya, obligasi RI yang dijualnya laris-manis bak kacang goreng. Dan, pembeli utamanya ternyata investor asing. Kenapa?

Perempuan yang dipuji-puji media asing sebagai Menkeu terbaik Asia, bahkan dunia ini, menyorongkan yield sebesar 5,26% per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan obligasi yang diterbitkan sejumlah negara ASEAN lain. Sebut saja, Thailand 3,61%, Filipina 3,52%, dan Malaysia 3,48%.

Yang membuat seru, yield yang dibayar Indonesia ternyata jauh lebih tinggi ketimbang Filipina. Padahal saat obligasi itu diterbitkan, sejumlah lembaga rating seperti S&P, Fitch, dan Moody’s mengganjar peringkat Indonesia di atas Filipina. Dalam logika pasar uang, negara yang peringkatnya lebih tinggi bisa mengail dana dengan biaya lebih murah.

Selisih bunga Indonesia dan Filipina sepertinya ‘hanya’ 1,74%. Tapi mari kita sejenak menggunakan kalkulator sederhana. Tenor obligasi yang diterbitkan negara biasanya panjang, 20-30 tahun. Obligasi yang dilego mbak Ani itu nilainya Rp812 Trilyun. Dengan selisih bunga yang ‘hanya’ 1,74% itu akan memaksa Indonesia membayar 34,8% atau Rp282,57 Trilyun lebih besar daripada jika yield-nya sama dengan Filipina yang 3,52%. Bayangkan, Rp282,57 triliun!

Bisakah Anda memaknai angka Rp282,7 triliun dalam 20 tahun bagi Indonesia? Itu artinya, tiap tahun rakyat harus membayar Rp14,13 triliun lebih besar untuk mengisi kocek asing. Jumlah itu setara dengan membangun tiga jembatan setara Suramadu. Jauh lebih besar daripada biaya membangun double track kereta api Jakarta-Surabaya yang cuma Rp10 triliun.

Hobi obral obligasi dengan bunga supermahal Sri terus berlanjut. Pada 2008, Indonesia menerbitkan global bond di New York sebesar US$2 miliar dengan tenor 10 tahun. Bunga yang diberikan 6,95%. Ini bunga obligasi negara tertinggi yang diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, suku bunga global bond yang diterbitkan Malaysia waktu itu cuma 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan Filipina, yang selama ini dikenal sebagai The Sick Man in Asia, bunganya hanya 6,51%.

Yang lebih  hebat lagi, pada 2009, untuk menambal defisit APBN, dia kembali menerbitkan global bond senilai US$3 miliar. Global bond itu terbagi dua; US$2 miliar berjangka waktu 10 tahun dengan bunga 11,75% dan US$1 miliar berjangka waktu 5 tahun berbunga 10,5%. Pada saat yang sama, Filpina menangguk dana dari pasar internasional sebesar US$1,5 miliar dengan bunga 8,5% saja!

Bisa dipahami, mengapa para kapitalis asing cinta berat kepadanya. Bisa dimaklumi juga, kenapa majalah Euromoney pada 2006 mengganjarnya sebagai Finance Minister of the Year. Sri mulyani telah memuaskan syahwat kapitalis asing sambil mengorbankan kepentingan bangsanya sendiri. Menteri keuangan seperti inikah yang akan kembali diboyong Jokowi masuk dalam jajaran kabinetnya?

Merugikan negara dengan UU Migas

Bagaimana dengan Kuntoro? Rekam jejak Kuntoro sejauh ini biasa-biasa saja, jauh dari cemerlang. Padahal, karirnya di pemerintahan terbilang panjang dan cukup lengkap. Dia pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum  (1993-1997),dua kali Menteri Pertambangan, yaitu pada  Kabinet Pembangunan VII (1998) dan di Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Direktur Utama PLN (2000), serta Kepala Badan Pelaksana – Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2005).

Satu lagi tentang Kuntoro. Sekadar mengingatkan saja, Kuntoro adalah tokoh penting di balik UU No. 22/2001 tentang Migas yang sangat menguntungkan asing dan sangat merugikan Indonesia. Bukan itu saja, lewat Kuntoro pula USAID masuk, bahkan mengucurkan dollar demi suksesnya pembahasan RUU yang draft-nya mereka buatkan.

Kisah pengkhianatan anak bangsa kepada bangsanya sendiri ini masih dapat ditemukan dalam arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. Pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.

Lewat dokumen itu sangat jelas peran yang dimainkan Kuntoro pada awal 1999. Saat itu, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dia minta bantuan USAID mereview sebuah draft RUU Migas. USAID menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatangani Strategic Objective Grant Agreement (SOGA) yang berlaku untuk lima tahun sekaligus mengucurkan bantuan US$20 juta.

Tulisan ini akan kian panjang jika harus menguliti kinerja dan prestasi keduanya sebagai pengabdi dan pejuang kepentingan asing. Pertanyaan besar kepada Jokowi, benarkah Anda akan menarik mereka dalam jajaran menteri?

Kalau memang benar, lantas dimana doktrin Tri Sakti yang dengan berbusa-busa Anda semburkan saat berkampanye Pilpres tempo hari? Bukankah dengan Trisakti itu Anda sukses menyihir rakyat Indonesia yang sudah lama ingin mandiri dalam politik, ekonomi, budaya sendiri? Atau, karena Anda telah megubahnya menjadi dengan Nawacita pada visi-misi yang diserahkan ke KPU, maka dagangan Tri Sakti itu kini boleh dicampakkan? (*)

 

Jakarta, 14 Oktober 2014

 

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)