Hukum Salaman Setelah Shalat

sigitAssalamualaikum. Wr. Wb

Ustad yang dirahmati oleh Allah SWT. Ada sedikit hal yang mengganjal dalam hati saya. Ketika saya selesai melaksanakan Shalat Magrib berjamaah, kemudian spontan saya mengajak rekan yang ada di sebelah saya untuk bersalaman, kemudian dia berkata, “itu bid’ah”. Saya minta dijelaskan tentang bid’ah. Apa itu bid’ah, danhal-hal bid’ah yang sering dalam pergaulan saat ini apa saja?

terima kasih

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Wahid yang dimuliakan Allah swt

Hukum Bersalaman Setelah Shalat

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh) bahkan ada yang mengatakan sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta menguatkan ikatan persaudaraan.

Keutamaan hal itu telah diriwayatkan oleh berbagai hadits yang sebagiannya dengan jalan yang hasan, diantaranya dari Qatadah,”Aku berkata kepada Anas bin Malik,’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat NAbi saw,” Anas menjawab,”Ya.” (HR. Bukhori dan Tirmidzi)

Dari Hudzaifah bin al Yaman dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan luruhlah kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon.” (HR. ath Thabrani didalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan didalam kitabnya “at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika diantara para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”

Dari Salman al Farisiy dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan luruh sebagaimana rontoknya dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. ath Thabrani dengan sanad hasan)
Adapun bersalaman setelah selesai melaksanakan shalat maka tidaklah pernah ada pada masa Nabi saw maupun pada masa Khulafaur Rasyidin, sedangkan hadits-hadits menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.

Oleh karena itu Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hal itu (bersalaman setelah shalat) adalah makruh akan tetapi al ‘Iz bin Abdissalam mengatakan bahwa ia adalah mubah (boleh) dikarenakan tak ada satu pun dalil yang melarangnya. Namun Nawawi mengatakan bahwa pada asalnya bersalaman adalah sunnah dan memelihara bersalaman itu pada beberapa keadaan lainnya tidaklah mengeluarkannya dari sunnah namun didalam kitab “Ghiza al Albab” milik as Safariniy (1/283) disebutkan bahwa sebagian mereka telah mengharamkannya.

Sementara Syeikh ‘Athiyah Saqar berpendapat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara kepada definisi tentang bid’ah… dan selama permasalahan itu masih diperselisihkan maka tidak seyogyanya kita berfanatik dengan satu pendapat. ( Fatawa al Azhar juz IX hal 50)

Sementara itu Syeikh Ibn Baaz mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid atau di shaff dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang dan menghilangkan permusuhan.

Akan tetapi apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau setelah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan.

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw setelah melaksanakan shalat fardhunya.

Adapun shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya. (Majmu’ Fatawa Ibn Baaz juz XI hal 267)

Bid’ah dan Macam-Macamnya

Bid’ah menurut terminologinya berasal dari kata bada’asy Syai, yubdi’uhu, bid’an dan ibtada’ahu berarti mengawalinya. Dan bida’ adalah sesuatu yang terjadi pertama… sedangkan bid’ah berarti baru yaitu sesuatu yang baru didalam agama setelah hal itu sempurna.

Adapun menurut etimologinya maka terdapat banyak definisi tentangnya dikarenakan perbedaan sudut pandang para ulama didalam pengertian dan kandungannya.

Diantara mereka ada yang memperluas kandungannya hingga mencakup segala sesuatu yang baru. Diantara mereka ada yang mempersempit kandungannya dan menyusutkannya serta meletakkan berbagai hukum dibawahnya.

Secara ringkas terdapat dua pandangan :

1. Para ulama ada yang mengatakan bahwa bid’ah adalah segala seuatu yang tidak terdapat didalam al Qur’an dan Sunnah, baik didalam permasalahan ibadah atau pun adat (kebiasaan) baik yang tercela maupun tidak tercela, diantara yang mengatakan ini adalah Imam Syafi’i, al Iz bin Abdissalam, an Nawawi dan Abu Syamah. Dari madzhab Maliki adalah al Qarafi dan az Zarqoniy. Dari madzhab Hanafi adalah Ibn Abidin. Dari madzhab Hambali adalah Ibn al Jauziy dan dari madzhab azh Zhahiriy adalah Ibn Hazm.

Pandangan ini tercakup didalam definisi yang diberikan al Iz bin Abdissalam tentang bid’ah yaitu suatu perbuatan yang tidak ada pada masa Nabi saw. Bida’ah ini terbagi menjadi bid’ah yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah.

Bid’ah yang wajib seperti ilmu nahwu untuk memahami firman Allah dan Rasul-Nya.. bid’ah yang haram diantaranya adalah madzhab al Qadariyah, al Jabriyah, al Murjiah dan al Khawarij. Bid’ah yang mandub seperti membuat sekolah-sekolah, membangun jembatan juga termasuk shalat tarawih berjamaah di masjid dengan satu imam. Bid’ah makruh seperti kaligrafi masjid, hiasan-hiasan pada mushaf. Bida’ah yang mubah seperti memperluas suatu kenikmatan didalam makan, minum maupun pakaian.

2. Ada sekelompok ulama yang mencerca perbuatan bid’ah serta menegaskan bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang sesat, baik didalam adat (kebiasaan) maupun ibadah. Diantara yang mengatakan ini adalah Imam Malik, asy Syatibiy dan ath Thurtusyi. Dari madzhab Hanafi adalah Imam asy Syamniyyi dan al ‘Ainiy. Dari madzhab Syafi’i adalah Baihaqi, Ibn Hajar al Asqalaniy, Ibn hajar al Haitsamiy. Dari madzhab Hambali adalah Ib Rajab dan Ibn Taimiyah. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2814 – 2816)

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo Lc

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…