Menteri Peranan Wanita Atau Menteri Peranan Laki-Laki?

“Ya Robbi, kenapa wajahmu nduk ?” Ibu Anisa bertanya dengan cemas, ketika mampir ke rumah anak bungsunya untuk menyampaikan undangan arisan keluarga, dan Anisa menutupi sebagian wajahnya yang semakin tirus dengan menyelipkan sehelai saputangan ke dalam tepian jilbab agar warna biru gelap di pipi tidak begitu nampak terlihat. Namun tebal kelopak mata karena tangis yang dahsyat tidak dapat ditutupi dari mata jeli ibunya, terutama mata hati seorang ibu yang menduga ada apa-apa dengan rumah tangga putri bungsunya yang menikah baru setahun lamanya.

Lain lagi dengan Sinta, suaminya yang jelas psikopat bersama dengan mertuanya menyuruh Sinta memegang kuat bongkahan es batu, hanya karena Sinta menanyakan sms mesra yang masuk ke handphone suaminya.

“Tertatih-tatih ibunya Sinar (gadis kecil berusia 6 tahun yang terkenal karena merawat ibunya sendirian), mencoba berjalan dan bangkit, namun apa daya rasa sakit dan ngilu yang menghujam pada tungkai kakinya membuat wanita ber-anak banyak ini akhirnya mengalami kelumpuhan dahsyat setelah terjun dari lantai dua rumahnya pada saat suaminya mengejar wanita malang ini dengan sebilah parang. Dengan tenangnya sang suami yang seharusnya menjadi pelindung keluarga malah kemudian meninggalkan istri dan keenam anaknya untuk merantau ke Malaysia.

Nasib malang terkadang bertubi-tubi datang pada para wanita tanpa mereka tahu harus berlindung kepada siapa. Jerit tangis rasanya sudah habis, air mata pun sudah bukan lagi menjadi senjata, namun siapakah yang mau maju untuk membela kepentingan para wanita yang seringkali menjadi korban dari kekejaman kaum laki-laki yang tidak beriman, yang dengan semena-mena melepaskan tanggung jawab, bahkan bukan menjadi pelindung namun menjadi penyerang. Lalu kepada siapa para wanita ini meminta perlindungan dan pertolongan? Adakah ayat Allah yang sebenarnya indah terdengar yang berbunyi, “arrijalu qowwamuna ala nisa” (QS: An-Nissa : 34) berlaku pada para wanita ini?

Biasanya yang sudah-sudah, pihak yang menjadi korban adalah wanita, yang harus membela juga wanita, dan yang harus membuat undang-undang wanita pula. Maka dibentuklah Menteri Peranan Wanita, bukan Menteri Peranan Laki-laki, yang mampu memperbaiki sikap dan peranan kaum laki-laki, yang mampu menjadikan dan membuat undang undang tentang laki-laki dan mengatur bagaimana mereka harus berperan sebagai laki-laki yang bertanggung jawab dan melindungi wanita.

Mengapa tidak diadakan saja Menteri Peranan Laki-laki, agar nampak jelas bagaimana seorang laki-laki dapat berperan sebagai seorang laki-laki serta dapat melindungi para wanita yang selama ini kerap menjadi korban. Sebenarnya lucu apabila diadakan Menteri Peranan Wanita, karena yang menjadi korban adalah wanita namun yang wajib membela dirinya sendiri adalah wanita juga agar dapat memerankan fungsi kewanitaanya dengan baik.

Sebaiknya Menteri Peranan Laki-laki sangat diperlukan agar mampu mengurus kaum laki-laki yang tidak bertanggung jawab, agar mampu menjalankan peranannya sebagai laki-laki, yang mengusung ayat Allah “arrijalu qowwamuna ala nisa” (QS: An-Nissa : 34), yang memiliki pengertian sangat dalam tidak hanya untuk memimpin, namun juga melindungi para wanita.

Fifi

Quiz : Mana yang lebih diperlukan untuk membela para wanita yang menderita, Menteri Peranan Wanita atau Menteri Peranan Laki-laki, yang menegaskan peranan laki-laki agar sesuai dengan tuntunan Islam dan mengayomi para wanita.