Aliran Aliran Sesat di Indonesia

Assalamualaikum…

Pak ustad yang di rahmati Allah SWT, begini pak saya mo tanya mengenai aliran-aliran sesat yang berkembang di indonesia dan yang paling baru adalah al-qiyadah al-Islamiyah.

Sebagaimana kita tau aliran ini telah di nyatakan sesat oleh MUI, akibatnya di daerah-daerah tempat berkembangnya aliran ini, banyak masyarakat melakukan tindakan keras terhadap pemeluk aliran ini. Atas hal tersebut timbulah reaksi dari berbagai kalangan. Ada yang mendukung agar aliran ini segera di tindak, ada juga yang tidak setuju dengan alasan kebebasan umat beragama.

Yang saya mau tanyakan pak ustad, bagaimana seharusnya sikap kita sebagai umat muslim terhadap aliran-aliran sesat yang mengatas namakan Islam tersebut? Kalau pada zaman sahabat ra nabi-nabi palsu diperangi, apakah kita sekarang ini wajib memerangi nabi palsu tersebut. Lalu bagaimana caranya?

Terimakasih pak ustad atas penjelasannya, dan mohon maaf kalau saya yang masih awam ini salah dalam bertanya. Semoga Allah memberi kemudahanbagi kita semuauntuk dapatmemperbaiki diri.

Wassalamualaikum…

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kemungkinan besar keberadaan aliran yang menyimpang dari aqidah Islam tidak akan berhenti bermunculan. Jumlahnya yang sudah sangat banyak itu tidak akan berhenti tetapi akan teteap terus berkembang.

Dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah hanya fenomena gunung es (iceberg) saja. Di dasar lautan, ratusan ajaran menyimpang dari aqidah yang lurus telah banyak malang melintang. Menurut koordinator Aliansi Ummat Islam (ALUMI), Hedi Muhammad, dari hasil penyelidikan ALUMI diketahui, aliran sesat yang mengatasnamakan Islam telah muncul di Indonesia sejak tahun 1980-an. Sampai 2006, jumlahnya telah mencapai 250 aliran.

Mengapa aliran sesat akan tetap terus berkembang?

Ada beberapa faktor yang menyuburkan aliran sesat itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Di antaranya adalah:

1. Kegagalan Pembinaan Agama

Semua ormas dan orsospol Islam harus mengakui bahwa mereka boleh dibilang masih gagal dalam membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi belum berhasil sepenuhnya.

Di tataran akar rumput harus diakui bahwa umat ini masih belum mendapat sentuhan tarbiyah dan pembinaan. Fenomena maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis terluar. Sedangkan akar rumput rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan.

Angka 250 aliran sesat sepanjang 26 tahun menunjukkan secara telanjang bahwa begitu mudahnya sebuah aliran sesat lahir dan punya pengikut. Kalau rakyat ini sudah terbina, mustahil mereka jadi pengikut.

Kita seharusnya miris dan khawatir, berapa persen sebenarnya dari 200 juta muslim Indonesia ini yang aktif mengerjakan shalat lima waktu? Atau yang bisa membaca Al-Quran? Atau yang puasa penuh di bulan Ramadhan?

Sebab yang kita saksikan pada saat shalat Jumat, begitu banyak kendaraan yang berseliweran di jalan raya. Dan yang jelas, pada saat adzan Maghrib berkumandang, berapa banyak orang yang turun dari mobil keluar dari kemacetan sekedar untuk melakukan shalat Maghrib? Berapa besar kapasitas tempat shalat di mal-mal Jakarta untuk bisa menampung ribuan pengunjung?

Jadi kalau ALUMI mengatakan ada 250 aliran sesat, mungkin masuk akal, sebab yang tidak shalat Maghrib dan sibuk meeting di mal pun termasuk aliran sesat juga, karena tidak shalat wajib. Padahal shalat bagian dari rukun Islam.

2. Pemerintah Yang Masa Bodoh

Yang paling mengharukan sesungguhnya adalah sikap masa bodoh dari pemerintah. Entah itu departemen agama atau institusi manapun. Sudah tahu ada ratusan aliran sesat, tapi mereka tidak punya rasa peduli yang berbentuk tindakan nyata.

Kalau umat sudah terjebak tindakan anarkis, barulah mereka kebakaran jenggot. Alasannya klise, pemerintah tidak boleh berpihak dan harus mengayomi semua aspirasi masyarakat.

Bayangkan, urusan menginjak-injak aqidah dianggap sebagai aspirasi masyarakat. Jadi yang sakit itu siapa? Jangan-jangan malah pemerintahnya yang sakit. Apakah mereka tidak punya agama atau mereka oprtunis?

3. Lemahnya Payung Hukum

Salah satu yang membuat aparat jadi sariawan dan pelo lidahnya adalah karena di negara ini ajaran sesat tidak pernah dianggap melawan hukum.

Kalau ada yang ditangkap, pasal untuk menjeratnya bukan karena urusan aqidah yang sesat, tapi sekedar meresahkan masyarakat. Padahal dalam pandangan hukum Islam, sesatnya aqidah bukan sekedar kriminalitas dan kejahatan, tetapi sebuah sikap bunuh diri. Karena itu negara adalah institusi yang paling bertanggung-jawab untuk memastikan tidak adanya aliran sesat di negeri ini.

Tugas teman-teman kita di DPR jelas. buatlah undang-undang yang memberikan payung hukum yang tegas, dilengkapi dengan peraturan dan petunjuknya sampai detail. Sehingga pak polisi tidak bisa beralasan lagi untuk belagak pilon dan pura-pura tidak tahu kalau ada aliran sesat.

Buatlah sebuah institusi, apalah namanya, mungkin juga Majelis Ulama atau apa saja, yang penting instutusi itu diberi payung hukum yang kuat untuk bertindak. Mulai dari menerima laporan, melakukan survey dan penyelidikan, sampai memanggil dan menginterogasi para pemimpin aliran sesat dan akhirnya berhak menjatuhkan vonis sampai kepada hukuman mati. Sehingga ketika institusi itu bertindak, tindakannya legal dan mengatas-namakan negara.

Tanpa ada aspek legalits ini, percuma saja ormas Islam berteriak-teriak sambil menggerutu. Mereka akan terus dibuat capek dan mengurusi hal-hal yang tidak ada habisnya.

Kalau institusi seperti itu sudah ada, urusan jadi gampang. Panggil saja para pemimpin aliran sesat itu, disidang. Kalau ternyata tidak sesat, bisa sekalian diklarifikasi dan dibersihkan namanya. Tapi kalau memang sesat, tinggal disuruh bertobat dan diberi waktu selama tiga hari. Tidak mau tobat juga, penggal saja lehernya dan selesai. Memang demikian yang dilakukan oleh wali songo kepada penyebar ajaran wihdatul wujud yang sesat dan menyesatkan.

4. Munculnya Pembela Aliran Sesat

Aliran sesat yang sudah banyak ini semakin subur ketika kelompok liberalis ikut-ikutan membela mereka. Alasannya sebenarnya sudah sangat basi dan ketinggalan zaman. Kita sudah bosan mendengar alasan pembalaan yang itu-itu jua. Paling banter alasannya adalah kebebasan memilih agama dan kebebasan untuk menafsirkan ajaran agama.

Bagi kalangan liberalis, kebebasan berpikir adalah tuhan yang wajib disembah. Padahal esensinya sederhana saja, mereka ingin tiap orang punya kebebasan dan kesempatan untuk jadi orang sesat sekaligus kebebasan untuk masuk neraka. Tidak lebih dan tidak kurang.

Maka kalau intinya hanya ingin lebih cepat masuk neraka, kita bantu dengan disegerakan hukum mati saja. Jadi keinginan mereka bisa segera tercapai.

5. Media Tidak Berpihak kepada Umat Islam

Umat Islam hari ini tidak punya media. Itu realita yang tidak ada seorang pun yang bisa menyanggahnya. Umat Islam tidak punya televisi, tidak punya kantor berita, tidak punya jaringan pers nasional apalagi dunia.

Maka munculnya aliran sesat di media, alih-alih mengarahkan agar umat jangan sampai terlibat, yang terjadi justru pembelaan kalangan pers kepada aliran-aliran itu. Salah satu televisi swasta nasional malah membuat sebuah liputan yang menggambarkan bagaimana anarkisme dilakukan oleh umat Islam, membakar dan meruntuhkan sebuah markas aliran sesat sambil meneriakkan lafadz Allahu akbar. Sungguh jelas keberpihakan televisi itu kepada aliran sesat dan mendudukkan umat Islam sebagai penjahat.

Penggiringan opini model begini bukan baru hari ini saja, sejak lama teman-teman kita di FPI sudah terkena getahnya. Sehingga FPI sudah dibunuh karakternya oleh jaringan media sekuler yang umumnya anti-Islam.

Itulah lima hal yang menjadi faktor kelemahan umat Islam dalam menghadapi badai aliran sesat. Kalau kita mau jalan keluar, pikirkanlah bagaimana agar kelima hal itu bisa kita atasi.

Pertama, seluruh ormas Islam harus bersatu dan saling bantu dalam membina umat. Jangan ada lagi urusan ribut-ribut yang tidak jelas ujung pangkalnya. Kita punya 200 juta massa bersama yang setiap hari jadi korban ajaran sesat, sementara kita sibuk bertengkar kapan jatuhnya tanggal 1 Syawwal atau siapa yang mau jadi Presiden di 2009. Sungguh kekonyolan yang tiada banding.

Kedua, umat Islam sudah banyak yang duduk di pemerintahan. Seharusnya gigi mereka tidak perlu ngilu ketika membela Islam. Toh umat Islam mayoritas di negeri ini. Di Indonesia timur yang banyak non muslimnya, orang-orang kafir yang duduk di pemerintahan bekerja siang malam untuk memanfaatkan wewenang dan jabatan serta pengaruhnya demi kepentingan agama mereka. Itu mereka katakan secara terbuka.

Tapi di pusat yang pejabatnya kebanyakan umat Islam, mereka tiba-tiba jadi linglung ketika diminta untuk bersikap. Ini sungguh konyol dan kebangetan.

Ketiga, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah waktunya diberi payung hukum dan wewenang yang kuat. MUI perlu dipersenjatai, bukan dengan bedil tapi dengan kekuatan hukum. Kalau sekarang, anjing menggonggong khafilah berlalu.

Para kiyai itu teriat-teriak di masjid dan mimbar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena tangan mereka terbelenggu. Sekali bergerak, malah masuk penjara dengan tuduhan anarkis.

Keempat, sudah waktunya kelompok liberal dimasukkan ke dalam daftar aliran sesat. Sehingga bisa juga diseret ke pengadilan dan divonis hukuman berat. Biar tidak lagi berusaha memancing di air keruh.

Kelima, umat Islam wajib untuk punya media massa yang serius. Setiap individu punya beban fardhu ‘ain untuk membantu hidupnya media massa Islam ini.

Wallahu a’lamb bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc