Analisa: Konflik Kaukasus, Kepentingan Siapa?

Gajah berperang, pelanduk mati di tengah-tengahnya. Peribahasa ini menggambarkan kondisi terakhir konflik Georgia-Ossetia yang berujung pada konflik Rusia dan AS-Uni Eropa. Sejumlah analisa menyebutkan, konflik di wilayah Kaukasus itu bukan sekedar konflik lokal, tapi lebih dari itu yaitu konflik dua kubu kekuatan dunia yang sama-sama ingin menancapkan pengaruhnya di kawasan yang kaya akan sumber gas alamnya itu. Para analis juga mengatakan, konflik masih akan terus terjadi dan akan berlangsung lama, selama negara-negara superpower itu campur tangan, tak peduli jika konflik itu menelan korban jiwa di kalangan masyarakat sipil. Mereka juga berpendapat, konflik ini akan memunculkan blok-blok kekuatan baru antara Timur dan Barat.

Rusia-AS Berebut Kepentingan

Konflik di negara-negara kecil pecahan Uni Sovyet di kawasan Kaukasus, sudah diprediksi oleh sejumlah analis. Mereka mengatakan, meski mendukung kemerdekaan sejumlah negara-negara kecil di kawasan itu, Rusia masih memiliki banyak kepentingan untuk tetap menjaga negara-negara itu tetap berada di bawah pengaruhnya. Rusia, kata para analis itu, merasa masih menjadi "penjamin keamanan" di kawasan tersebut. Asisten editor di Caucasian Review of International Affairs (CRIA), Alexander Jacksonis, bahkan menyebut operasi militer Rusia ke Georgia, setelah Georgia menyerang Ossetia Selatan, adalah bentuk baru imperialisme Rusia.

Rusia memandang wilayah Kaukasus, terutama Chechnya di wilayah Utara Kaukasus wilayah yang rawan konflik karena keberadaan kelompok pejuang Muslimnya, sehingga merasa perlu ikut turun tangan guna menjaga stabilitas keamanan di wilayah itu. Selama ini, Rusia juga dianggap telah menerapkan kebijakan yang keras di kawasan Kaukasus dengan mengedepankan kekuatan militernya, sehingga sebagian negara-negara kecil di kawasan itu cenderung ber’kiblat’ ke Barat. Kondisi ini dimanfaatkan Barat, dalam hal ini AS dan sekutunya Uni Eropa yang memang berambisi untuk mengintegrasikan kawasan Kaukasus ke dalam kekuatan NATO. Dan AS, seperti biasanya, menggunakan alasan demokratisasi untuk menancapkan pengaruhnya di Kaukasus.

Menurut Dr Constantinos Filis, penasehat internasional di Research Institute of European and American Studies, Kaukasus adalah wilayah yang sangat vital bagi Rusia. Faktanya, Kaukasus adalah wilayah yang terdiri dari banyak kelompok etnis dengan latar belakang budaya, sejarah dan agama yang berbeda-beda.

Saat ini, sedikitnya ada enam negara Republik Islam di kawasan Kaukasus, antara lain Azerbaijan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, Kirgizstan dan Tajikistan yang menjadi bagian Common wealth of Independent States (CIS)

Rusia ingin menyatukan perbedaan itu, setelah kebijakan Stalin yang memindahkan populasi Rusia berdasarkan etnisnya. Kehadiran militer Rusia dalam bentuk basis-basis militer, pasukan penjaga perdamaian dan hubungan militer Rusia antar negara-negara di kawasan Kaukasus, merupakan indikasi yang sangat jelas betapa Rusia memandang penting wilayah ini.

Kaukasus juga sangat vital bagi kepentingan energi Rusia. Pipa-pipa gas dan minyak banyak yang melintasi kawasan Kaukasus-Rusia, dan pipa-pipa itu harus mendapat pengamanan. Sebagai konsekuensinya, stabilitas keamanan di wilayah ini menjadi penting untuk menjaga kelancaran dan keberlangsungan proyek-proyek pengangkutan Hidrokarbon ke pasar-pasar Barat.

Di sisi lain, analisa Filis menyebutkan bahwa peranan AS dan negara-negara Barat lainnya di kawasan Kaukasus cukup besar dan tidak bisa diabaikan. Krisis Georgia menjadi alasan AS untuk memperkuat eksistensi militer AS di Georgia dan negara-negara tetangga Rusia lainnya. AS bahkan sudah menginstal peralatan anti-misilnya di Republik Polandia dan Ceko, yang memicu kemarahan Rusia. Rusia menuding AS telah melakukan tindakan di luar batas. Sebuah kenyataan yang sangat jelas menunjukkan bahwa kedua kekuatan itu sedang berebut untuk menjadi satu-satunya kekuatan di dunia dengan menanamkan pengaruhnya yang kuat ke seluruh belahan dunia, termasuk kawasan Kaukasus.

Blok-Blok Kekuatan Baru

Banyak analis yang berpendapat, konflik Rusia-Georgia tidak akan berkembang menjadi perang dingin antara Rusia-AS. Kedua kekuatan, menurut mereka, sebenarnya saling membutuhkan. Namun para analis tak mengabaikan akan munculnya blok-blok kekuatan baru di Timur dan Barat. Baik AS maupun Rusia terus mencari sekutu-sekutu yang kuat. Rusia melirik negara-negara yang selama ini dikenal dengan sikap anti-AS nya, seperti Iran dan Suriah. Tak heran jika konflik berkembang menjadi sikap saling tuduh terkait sokongan senjata antara Rusia dan AS.

Rusia, misalnya secara demonstratif mengungkapkanya rencananya untuk menjual senjata-senjatanya ke Suriah dan Iran dan menuding AS telah menyelundupkan senjata-senjata ke negara-negara Kaukasus untuk menimbulkan ketidakstabilan keamanan di wilayah itu dan di wilayah Rusia, sehingga akan mudah bagi AS untuk menuduh Rusia tidak becus menjaga keamanan di kawasan sekitarnya.

AS bisa jadi salah perhitungan, karena kekuatan negara-negara seperti Rusia-Iran-Suriah tidak bisa diremehkan. Sampai saat ini saja, AS masih kewalahan menghadapi Iran dalam persoalan nuklirnya. Belum lagi sikap keras Suriah yang menolak tunduk di bawah pengaruh AS.

Iran, lewat Menteri Luar Negerinya Manoucheher Mottaki mengecam AS karena telah meremehkan Rusia di tengah masyarakat internasional dalam konflik di Kaukasus. "Di masa lalu, Barat membuka jalan bagi Georgia dan sekarang memprovokasi Georgia untuk menyerang Ossetia Selatan.

Mottaki juga mengingatkan negara-negara di Kaukasus untuk menyadari ‘konspirasi’ kekuatan-kekuatan Barat untuk menimbulkan kekacauan di wilayah itu. "AS dan Israel tidak pernah bisa melakukan sesuatu untuk menyelesaikan problem di Kaukasus dan hany menambah buruk krisis, " tukas Mottaki.

Sejumlah analis menyatakan, tiga kekuatan ini saja-Rusia-Iran-Suriah, akan menjadi blok yang tidak bisa dianggap enteng oleh AS. Bukan tidak mungkin blok Rusia akan mendapat kekuatan baru dari negara-negara yang selama ini memang sudah muak dengan perilaku AS, semisal beberapa negara di Amerika Latin. Dengan demikian, AS bersama sekutunya, nampaknya harus mengubur ambisinya untuk menjadi satu-satunya kekuatan superpower yang bisa mengendalikan dunia. (ln/dari berbagai sumber)