Apakah Jokowi Ingin Meniru Mao Zedong?

Oleh karena itu, wajar kalau sebagian kalangan menyatakan, “Jika Jokowi benar-benar ingin dikritik masyarakat, sebaiknya para buzzer yang selama ini dibayar pemerintah ditertibkan dulu”. Permintaan tersebut antara lain disampaikan budayawan Sujewo Tedjo. Namun, para pejabat di lingkungan Istana Kepresidenan membantah kalau selama ini pemerintah “melihara” buzzer. Akan tetapi, bantahan tersebut bisa dipatahkan setelah beredar foto Jokowi bersama para buzzer di Istana Bogor, Jawa Barat. Foto tersebut beredar di hampir semua jejaring media sosial. Di dalam foto tersebut, terlihat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Para netizen juga sering menjuluki Moeldoko sebagai “Kakak Pembina”.

Selain Moeldoko, tentu ada para buzzer yang wajahnya nampak sumringah saat berfoto bersama Presiden Jokowi. Di dalam foto itu terdapat buzzer yang namanya sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat, mereka antara lain, Permadi Arya atau Abu Janda, Deny Siregar dan Eko Kunthadi. Sangat boleh jadi itu adalah foto bersama tàhun 2019, saat para buzzer itu dibutuhkan Jokowi untuk mengangkat citra dirinya menjelang Kampanye Pilpres waktu itu.

Sayangnya, hingga kini sebagian besar masyarakat menganggap para buzzer tersebut masih bekerja untuk rezim penguasa. Banyak kalangan termasuk anggota DPR (dari PKS) yang mempertanyakan anggaran APBN yang dialokasikan untuk mendanai para buzzer tersebut.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzzamil Yusuf mempertanyakan, apakah Abu Janda merupakan seorang influencer yang dibayar pemerintah menggunakan APBN. “Pertanyaan kami ini untuk klarifikasi kepada publik. Pertama, apakah Permadi Arya dibayar dengan anggaran APBN?” tanya Al Muzzamil, dikutip melalui siaran akun Youtube DPR-RI, Rabu. Hal itu disampaikan Al Muzzamil berkaca dari temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan anggaran pemerintah sekitar Rp 90 miliar untuk membayar influencer dan key opinion sejak 2014.

Permadi Arya alias Abu Janda namanya lebih populer karena cuitannya pernah menyinggung kasus dugaan rasialisme dan penistaan agama. Meskipun dia sudah sering dilaporkan ke polisi, namun sampai sekarang Abu Janda tidak ditahan polisi. Di berbagai pemberitaan media, Abu Janda mengakui dirinya menjadi influencer dan dibayar dengan nominal yang besar.

*Kehilangan legitimasi*
Sementara itu, seorang buzzer yang juga mantan rekan kerja penulis di salah satu media mainstream, mengakui dirinya menjadi influencer Jokowi pada saat kampanye Pilpres 2019. Dia membantah kalau selama menjadi influencer dibayar dengan dana APBN. “Saya dibayar oleh pengusaha yang menjadi pendukung dan donatur Jokowi,” katanya.

Dia hanya mau disebut sebagai influencer dan keberatan disebut sebagai buzzer karena konotasinya jelek. Ketika Majalah Tempo menurunkan laporan soal buzzer bayaran beberapa waktu lalu, mantan rekan kerja saya ini menjadi salah satu nara sumbernya. Saya pun berkomunimasi dengan dia melalui chatting di halaman Facebook setelah keluar laporan Majalah Tempo tersebut.

Kembali kepada ajakan Jokowi agar masyarakat bisa aktif menyampaikan kritik. Ajakan ini sebenarnya bagus dan akan benar-benar jadi kenyataan kalau para aktivis serta para ulama yang saat ini ditahan polisi dan kejaksaan bisa dibebaskan terlebih dulu. Selama mereka masih ditahan, ajakan Jokowi tersebut hanya sekedar lips service belaka. Alih-alih dibebaskan, penguasa nampaknya akan terus menjerat para tokoh lainnya yang selama ini kritis kepada pemerintah. Yang sekarang ditarget adalah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin yang dituduh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai tokoh radikal.