Dr. Bathara Hutagalung: Mengenang Pertempuran Surabaya, 28 Oktober 1945

Eramuslim.com -Di era perang asimetris, sejarah menjadi senjata yang sangat ampuh untuk menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan budaya sesuatu bangsa yang terjajah. Penulisan sejarah dikaburkan, diputar-balik dan bahkan dipalsukan, yang di kemudian hari mengakibatkan timbulnya kontroversi dan perdebatan sengit mengenai kebenaran akan sejarah bangsa tersebut.

Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, sebagai akibat dari pengaburan dan pemalsuan sejarah yang dilakukan oleh mantan penjajah dan antek-anteknya. Pengaburan dan pemalsuan penulisan sejarah dilakukan melalui beberapa tahapan:

Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.

Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain.

Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.”

Untuk membalikkan peran pelanggar HAM dan pengawal HAM, maka: Keempat, semua Negara bekas penjajah, kecuali Amerika Serikat, telah menghapus hukuman mati, dan kini menyatakan bahwa hukuman mati adalah pelanggaran HAM. Kemudian Negara-negara bekas penjajah, dibantu antek-anteknya di Negara-negara bekas jajahan, memoles citra mantan penjajah sebagai Negara-negara yang “mengajarkan HAM”, bahkan sebagai pengawal/pengawas HAM.