Fatamorgana Demokrasi

Oleh : AM. Efendi, M.Si.

Ayo boikot produk kafir dan antek-anteknya…..!!!!! 

Ungkapan itu nyaris keluar dari setiap aktivis muslim ketika terjadi penyerangan kafir dan anteknya kepada dunia Islam. Namun sungguh ironis dan merupakan suatu kelalaian yang nyata, kalau ideologi, paham, pemikiran atau apapun bahasanya yang dianut oleh kafir dan antek-anteknya tidak diboikot, bahkan dibiarkan hingga menjadi berhala yang dijaga, dipelihara dan disembah. Bahkan cinta kepadanya melebihi cintanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena lebih mengutamakannya.

Ia adalah Demokrasi, sebuah kata yang tak asing lagi ditelinga setiap orang, yang menjadi tren pujaan hampir semua negara maju dan menjadi cita-cita negara berkembang serta sebagai indikator perkembangan politik suatu Negara bahkan menjadi “agama” baru yang dianut dunia.

Kata demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos/kratein yang berarti pemerintahan, sehingga demokrasi lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga Negara) atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut. Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM yang secara etimologi mempunyai akar bahasa asing Yunani yaitu hukum rakyat yang berarti rakyatlah yang berhak mengatur dirinya sendiri. Sistem ini berdasar pada teori bahwa kekuasaan politik harus mencerminkan kehendak bangsa. Kehendak ini yang memberikan kekuasaan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan. Negara Yunani tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan pergantian masa, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18. bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak Negara.

Demokrasi menganut prinsip Trias Politica dari JJ. Rosseau yaitu pembagian kekuasaan politik menjadi tiga yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Prinsip ini muncul karena adanya kekuasaan absolut pemerintah yang seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan tidak mampu membentuk masyarakat yang adil dan beradab. Rosseau dengan bukunya Le Contret Social dianggap seperti Injil oleh para pemimpin Revolusi Perancis, sebuah revolusi yang melahirkan dunia barat modern, yang jauh dari agama karena sejak awal munculnya demokrasi adalah ingin memberontak kepada agama yang pada waktu itu terjadi kesesatan dan penyelewengan didalamnya yang pada akhirnya membentuk ideologi sosial pada masa itu bahwa agama harus berpisah diri dari pemerintahan. Namun ada pendahulunya yang lebih konkrit dan menyeluruh sebagai sebuah sistem pemerintahan atau politik dan bahkan sebagai dasar pijakan kehidupan atau kehidupan itu sendiri. Ia adalah Islam sebagaimana yang diakui oleh seluruh manusia muslim maupun kafir. Kecuali segelintir orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pembaharu. Para orientalis pun mengakui bahwa Islam bukan hanya semata agama namun sebagai sistem politik (Fitzgerald), Negara (Nallino), teori perundang-undangan dan politik (Schacht), berdirinya sebuah masyarakat yang independent yang mempunyai system pemerintahan, perundang-undangan dan institusi (Gibb). Pendapat-pendapat ini semuanya berasal dari para orientalis, sehingga amat sangat disayangkan jika aktivis muslim lebih mementingkan demokrasi daripada sistem Islam. Apakah aktivis muslim sudah kehilangan tauhidnya?

Demokrasi merupakan perselisihan yang terjadi pada inti aqidah, dimana agama dibangun diatasnya. Perselisihan ini –sejarah mencatat- disebabkan kelalaian (tafrith) atau tidak mengerti terhadap masalah yang telah ditetapkan oleh nash atau karena berlebihan (ifrath) dan melampai batas (Ghuluw) terhadap yang telah ditetapkan oleh nash yaitu dengan menambah makna syar’i yang ada atau menambahi jumlahnya atau dengan menggabungkan hukum dan syariat yang baru dan buatan sendiri ke dalam nash-nash yang tetap dalam syariat. Sungguh amat sangat murahan jika Islam digadaikan bahkan digantikan oleh sampah fatamorgana demokrasi. Memimpikan sebuah Negara modern berdasarkan angan-angan. Bahkan di barat sendiri tidak ada konsensus yang pasti tentang makna dan bagaimana demokrasi itu bisa diterapkan sebagai sebuah model sistem pemerintahan yang paling ideal. Tidak ada kesepakatan antara kaum teoritis dan praktis apakah demokrasi memang benar sebuah bentuk pemerintahan atau hanya merupakan term yang digunakan untuk menggambarkan suatu masyarakat sebagai masyarakat yang menganut nilai-nilai demokrasi. Masihkah aktivis muslim menerima sesuatu yang tidak ada kejelasan dan kepastian?

Dalam sejarah tidak pernah tercatat meski dengan tinta getah bunga bangkai sekalipun bahwa demokrasi tegak berdiri bagaikan gunung yang kokoh. Kontrak sosial (politik) yang dicetuskan oleh JJ. Roseau tidak lebih dari sebuah hipotesis kerena dia memformulasikan teori kontraknya berdasarkan kondisi yang dia bayangkan pada abad-abad yang lalu. Dan tidak ada bukti sejarah yang mendukungnya. Sedangkan teori kontrak Islam berdasarkan pada masa lalu yang bersejarah yang benar-benar ada dan terjadi. Banyak aktivis muslim mengatasnamakan rakyat (yang merupakan inti dasar setiap kekuasaan, dalam berideologi maupun berkehendak. Mereka adalah tuan bagi diri mereka sendiri) dalam setiap kampanyenya, namun pada kenyataanya bukan rakyat tapi hanyalah kepentingan segelintir orang saja. Karena rakyat adalah kumpulan manusia yang terbatas pada lingkup territorial, geografis tertentu yang disatukan oleh ras, darah, bahasa, tradisi dll. Sangat jauh berbeda dengan umat yang merupakan kumpulan manusia dengan ikatan tempat, darah, bahasa dan yang paling utama adalah ikatan aqidah shahihah. Hal ini sering dan mungkin sengaja dinafikan oleh aktivis muslim, sehingga mereka menganggap sama antara rakyat dan umat.

Maka dalam sistem demokrasi dikenal adanya partai dimana sekelompok manusia yang dikumpulkan oleh kepentingan bersama, atau kemaslahatan menyeluruh yang didasari ikatan keyakinan maupun keimanan atau atas dasar kekufuran dan kefasikan serta kemaksiatan atau atas dasar ikatan tanah kelahiran atau kabilah dan nasab tertentu atau karena profesi dan bahasa atau apa saja bentuknya dari berbagai ikatan maupun sifat kemaslahatan yang mengharuskan manusia berkumpul atasnya dan mendukungnya. Tanpa memperhatikan dasar yang fundamental yaitu tauhid. Membiarkan pluralisme berkembang dalam tubuh muslim dengan dalil persatuan dan kesatuan. Dengan adanya multi partai, niscaya terdapat tatanan social yang saling bertentangan. Perpecahan menjadi asas dasar dari kepartaian yang seharusnya dihindari oleh muslim, akan tetapi malah sebaliknya. Bahkan orang yang memecah belah agama (mengganti dengan mengimani sebagian dan mengkafiri sebagian) dan mereka menjadi beberapa golongan adalah bentuk kemusyrikan (baca : Ar Ruum, 31-32). Partai juga dibangun atas dasar ambisi dan pesaingan.

Apakah kita takut dijuluki “teroris” karena anti demokrasi? Dan kemudian kita membelanya sampai mati? Sejarah Iran telah menggambarkan bahwa para pelajar mati saat membela demokrasi. Dan ini merupakan kesuksesan besar Washington dalam menciptakan generasi yang siap mempertahankan demokrasi hingga mati. Dan keberhasilanya dalam meniupkan apa yang disebut pembaharuan dalam Islam yang berujung pada membongkar fondasi dan struktur bangunan agama. Tugas renovator (pembaharu) adalah memperjelas yang kabur dan menjernihkan yang keruh, mengangkat yang terabaiakan dan memurnikan yang tercemar. Namun mereka mencuci otak setiap muslim dengan racun ideologi (termasuk demokrasi) yang bertentangan dengan Islam. Perang pemikiran ini bukan perang dalam dataran ijtihadi (sebagaimana yang diakui oleh sebagain ulama) namun ini adalah perang ideologi, keyakinan, keimanan antara yang hak dan batil, antara yang ma’ruf dan munkar. Dan tidak ada peperangan dalam Islam kecuali karena aqidah sebagaimana yang terjasi dalam sirah nabawiyah.

Sebuah kesalahan yang sangat fatal jika Islam disamakan atau bahkan diidentikan dengan demokrasi. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui sebagai perbedaan yang sanat fundamental, yaitu :

1.    Rakyat atau bangsa

Rakyat dalam demokrasi adalah rakyat yang terbatas pada lingkup wilayah territorial geografis, yang hidup dalam suatu daerah tertentu dan disatukan oleh ikatan-ikatan darah, ras, bahasa, dan tradisi yang sama. Artinya demokrasi adalah sinonim-secara pasti-dengan pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang dipenuhi kecenderungan fanatisme kelompok. Sedangkan menurut Islam, umat adalah kumpulan yang disatukan bukan oleh kesatuan tempat, darah, atau bahasa, karena itu adalah ikatan sintetik, sementara dan sekunder, ikatan yang utama adalah kesatuan aqidah atau dalam pemikiran dan emosi.

2.    Tujuan

Tujuan demokrasi adalah kehidupan dunia dan materi. Namun tujuan Islam adalah kemaslahatan dunia dan akhirat.

3.    Kekuasaan rakyat

Kekuasaan rakyat dalam demokrasi adalah mutlak. Rakyat yang menetapkan undang-undang dan menghapusnya. Keputusan yang dikeluarkan majlis menjadi hukum yang harus ditaati sekalipun melanggar aturan moral atau bertentangan dengan kepentingan universal manusia. Sedangkan kekuasaan mutlak dalam Islam hanya milik AllahSubhanahu Wa Ta’ala. Kekuasaan rakyat terikat oleh syari’at Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga seseorang tidak bisa berbuat sewenang-wenang.

Sebagai uraian akhir, Islam akan hilang dari tubuh seorang muslim bersama hilangnya ideologi Islam ketika ideologi lain (demokrasi-pemilu-hizbiyah (partai) dan yang berhubungan denganya) sudah menjadi dasar berpijak pemikiranya. Maka solusi bagi fatamorgana ini adalah revolusi yang fundamental dalam tubuh muslim dari system demokrasi (pemilu dll) menjadi system Islam, boikot seluruh ideologi kafir (demokrasi dll) dalam tubuh umat Islam, eksplorasi solusi konstruktif edukatif dari sistem Islam untuk permasalahan global (dunia) dan jangan gadaikan ideology Islam dengan ideologi hizbiyah kafir laknatullah. Wa Allahu a’lam Bi al Shawab

 

Maraji’:

1.        Al Hakayamah, Muhammad Khalil, 2008, Usthurah Al Wahm, Kasyf Al Qina”an Al Istikhbarat Al Amrikiyyah Al Qaeda Membongkar Intelijen Amerika, alih bahasa Irwan Raihan, Solo: Media Islamika

2.        Al Imam, Asy Syaikh Muhammad Bin ‘Abdillah, 2009, TanwirAzh Zhulumat Bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al Inyikhabat Menggugat Demokrasi dan Pemilu Menyingkap Borok-Borok Pemilu Dan Membantah Syubuhat Para Pemujanya, alih bahasa Abu MUqbil Ahmad Yuswaji dan Abu Nizar Arif Mufid, Banyumas: Pustaka Salafiyah

3.        Al Maqdisi, Syeikh Abu Muhammad Ashim, 2008, Ad Dimuqrathiyah dinun Agama Demokrasi,alih bahasa Abu Musa Ath Thayar, Klaten: Kafayeh

4.        Al Mubarakfuri, Syaikh Syafiyurrahman, 2008, Al Ahzab As Syiyasiyah Fil Islam Islam dan Partai Politik Membedah system Politik dan Demokrasi, alih bahasa Ahmad Mulyono, Jakarta: Pustaka At Tazkia

5.        Arif, Syamsuddin, DR., 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani

6.        Black, Anthony, 2006, The History Of Islamic Political Thought: From The Prophet to The Present Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi HIngga Masa kini, alih bahasa Abdullah Ali dan Mariana Ariestyawati, Jakarta: Serambi

7.        Grey, Jerry D, 2007, Demokrasi Barbar Ala Amerika, Depok: Sinergi

8.        Ibn Katsir, Abu Fida, 2006, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Lebanon: Daar al Kutub al ‘Alamiah

9.        Jaiz, Hartono Ahmad, 2003, Aliran dan Paham Sesat Di Indonesia,Jakarta: Pustaka Kautsar

10.    Rais, M. Dhiaudin, DR., 2001, Al Nadhariyat Al Syiyasiyah Al Islamiyah Teori Politik Islam, Jakarata: Gema insani press

11.    Saikal, Amin, 2006, Islam and West, conflik, or coperatian Islam dan Barat Konflik atau kerjasama, alih bahasa Abdul Halim Mahalli, Jakarta: Sanabil puastaka