Soal Rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo, Teringat Perang Shiffin

Untuk menghentikan laju kemenangan Prabowo di Pilpres 2019, tidak ada pilihan kecuali berbuat curang. Karena curang menjadi satu-satunya cara untuk memenangkan Jokowi, maka wajar kalau sebelum, saat maupun sesudah pemilu, publik disuguhi tontonan bukti-bukti kecurangan pemilu yang begitu telanjang dan demonstatif. Kecurangan yang terstruktur, sistemik, massif, dan brutal. Fakta-fakta kecurangan ini sudah beredar luas di masyarakat.

Dengan tingkat kecurangan yang luar biasa, maka saran agar Prabowo tidak menerima atau menolak kehadiran LBP menjadi pilihan yang senafas dengan akal sehat. Sebab kalau menerima LBP dan apalagi sampai terjadi rekonsiliasi, maka sama halnya menyepakati segala tindak kecurangan yang dilakukan kubu Jokowi.

Rekonsiliasi (islah) dalam konteks pemilu harus dibangun atas dasar prinsip kejujuran dan keadilan (jurdil), bukan kecurangan. Kalau tidak, maka tawaran islah dalam bentuk apapun harus ditolak oleh Prabowo, dan saya meyakini Prabowo akan mengedepankan prinsip ini dalam berislah.

Kalau KPU tidak memproses segala bentuk kecurangan yang terstruktur, sistemik, massif, dan brutal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka bukan hanya tidak mau menerima LBP, kubu Prabowo harus secara serius mempertimbangkan untuk tidak menandatangani hasil pemilu. Dan sebagai bentuk penolakan atas hasil pemilu, aksi damai yang tertib dan non-violance (semacam pepe di era kerajaan) dengan melibatkan ratusan ribu dan bahkan jutaan masyarakat perlu dipertimbangkan menjadi opsi selanjutnya untuk dilakukan. Sekian (Depok, 27/4/2019).[tsc]

Penulis: Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dosen FISIP UMJ