Dr. Gumilar R Sumantri: Buruh Itu Partner, Bukan Alat Produksi

Sosiolog Universitas Indonesia Dr. Gumilar R. Sumantri menyatakan, selain aksi unjuk rasa, para buruh perlu melihat tiga pandangan lain, agar apa mereka tuntut bisa terpenuhi. Berikut hasil wawancara Eramuslim dengan Dekan FISIP Universitas Indonesia.

Demo buruh selalu menjadi fenomena setiap hari buruh Internasional, tapi dari tahun ke tahun tidak ada progresnya berupa peningkatan kesejahteraan, seharusnya para buruh harus bagaimana lagi agar tuntutannya dipenuhi?

Jadi begini, memang kita tentu berfikir bagus juga yang dilakukan itu. Artinya begini, banyak perusahaan trans national company yang beroperasi di Indonesia, terutama di sekitar jabodetabek dan ini tentunya menyerap tenaga kerja yang jumlahnya cukup besar. Industri yang ada di sekitar Jabodetabek itu investasinya dari luar negeri dan sebagainya. Kebanyakan adalah industri yang membutuhkan pasokan tenaga kerja yang banyak, dan dalam jumlah yang massal, yang dibutuhkan pun bukan yang mempunyai keahlian khusus, jadi tenaga kerja lapisan bawah. Oleh karena itu dari sisi salary mereka tidak terlalu tinggi karena memang keahliannya terbatas.

Namun demikian mereka sebagai warga negara, kebanyakan dari mereka kepala rumah tangga, tentunya membutuhkan kemampuan ekonomi yang mencukupi ketika mereka bekerja, mereka terlibat di dalam proses produksi tapi ketika mereka pulang, harus melakukan reproduksi ekonomi. Kalau dipabrik atau di dunia industri mereka produksi ekonomi, tapi kalau pulang dirumah reproduksi ekonomi, artinya mereka harus mengembalikan tenaga, memulihkan pikiran, kelelahan dengan tidur dirumah, makan, nonton, dan sebagainya. Artinya dia melakukan proses konsumsi dirumah itu, reproduksi ekonomi itu analog dengan proses konsumsi.

Nah konsumsi inikan membutuhkan dana, ketika proses konsumsi itu, dana yang dikeluarkan uang dipergunakan dari mulai bayar kos, pergi nonton, makan, dan sebagainya. Harga-harga itukan sesuai dengan mekanisme pasar, artinya dia nonton ke bioskop gak peduli dia buruh pabrik, ataupun pengusaha kan kalau kelasnya sama di tempat nonton itu, sama juga tiketnya kan. Oleh karena itu kita melihat, proses konsumsi itu kan ada batas minimum yang harus dipenuhi, termasuk jumlah dana yang harus dimiliki dalam rangka menopang proses konsumsi tadi. Karena itu ada yang disebut upah minimun, di situlah peran pemerintah menjadi regulator untuk menentukan upah minimun dalam bentuk perda, atau peraturan lain ditentukan upah minimun di Jakarta berapa, kota lain berapa.

Memang ini menjadi yang debatable, tentang upah minimum ini, karena katakan dengan upah minimum sekitar 850 ribu untuk di Jakarta. Bisa dibayangkan, biaya kost 250 ribu, makan sehari habis katakan 15 ribu sehari, sebulan 450 ribu, 750 habis lah, mana lagi buat ongkos dan sebagainya.

Maksud Anda, selama ini yang dikeluhkan adanya ketidakseimbangan antara pendapatan dengan pengeluaran?

Kenyataan begitu, tapi disisi lain kalau upah itu terlalu tinggi, industri itu tidak bisa berkembang, dan juga investasi tidak mau masuk, memang ini menjadi buah simalakama.

Saya kira, kalau kasus di Eropa, para pengusaha itu sangat konsen dengan kesejahteraan para buruh, terutama dimasa sekarang, karena mereka tahu para buruh itu juga pasar. Artinya warga negara tidak mempunyai daya beli, produk mereka susah untuk laku. Sedangkan di Indonesia itu problemnya agak beda, produk yang diproduksi seperti sepatu Nike, atau barang-barang lain. Para pengusahanya tidak peduli kalau para karyawannya tidak mempunyai daya beli. Karena produknya untuk dipasarkan di negara lain.

Saya pikir solusinya adalah memang perlu kita berfikir, bahwa kesejahteraan buruh itu penting, tentu UMR harus dihitung secara cermat, jangan terlalu industri. Disatu sisi memang tertekan, sehingga tidak untung dan tidak bisa investasi. Namun disisi lain juga jangan mengeksploitisir buruh.

Yang kedua, kesejahteraan buruh itu tidak selalu menjadi tugas negara, dalam hal ini pemerintah atau corporate, tapi bisa juga menjadi tugas mereka sendiri/masyarakat. Misalnya dengan dikembangkannya koperasi yang kuat.

Bagaimana Anda mencermati bermunculannya kelompok-kelompok buruh di Indonesia?

Jadi begini, asosiasi buruh itu kan civil society, jadi tidak apa-apa jika civil society itu kuat, karena civil society itu bisa membalance-kan pasar, termasuk kepentingan para pengusaha, dan juga kebijakan negara. Mereka mengorganisir dirinya sendiri, jadi prinsipnya kemajuan yang dicapai bisa berkorelasi positif, tercapainya keadilan, pemerataan dan perasaan senang dari masyarakat.

Problemnya ini saja, civil society seperti organisasi buruh ini kan fenomena baru, ketika reformasi saja, masih butuh waktulah, sehingga asosiasi buruh ini bisa lebih optimal memperjuangkan nasib mereka. Organisasi buruh ini bisa dikembangkan agar mereka saling belajar dan bertukar informasi.

Bagaimana penilaian anda tentang cara penyalurkan aspirasi buruh dengan demonstrasi, padahal umumnya tuntutan mereka tidak pernah berhasil ataupun mendapat respons positif?

Sepanjang tidak chaos, tidak apa-apa, sah-sah saja. Itu hal yang lain lagi, yang paling penting kan mereka menyampaikan pesan moral, bukan berarti demo harus semua tuntutan itu dipenuhi. Tetapi kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berpendapat harus dibuka lebar-lebar koridornya.

Tapi kalau persoalan tuntutan mereka dipenuhi atau tidak, itukan persoalan yang terkait dengan substansi berbagai pihak yang harus saling bernegosiasi. Akibat perusahaan memenuhi semua tuntutan semua buruh, perusahaan malah nantinya jadi bangkrut, kan buruhnya jadi tidak punya pekerjaan juga. Ya… dinegara berkembang umumnya begitu.

Sebenarnya bagaimana merubah paradigma perjuangan buruh ini agar mendapatkan solusi yang terbaik atas tuntutan mereka?

Saya kira kalau diluar negeri, melalui jalur politik di parlemen, artinya mereka mempunyai partai buruh yang memperjuangkan mereka, saya lihat ada yang menggunakan pola seperti itu. Pola yang kedua, mereka membuat jaringan dari asosiasi-asosiasi buruh, yang membuka kemungkinan dialog yang produktif, di antara asosiasi buruh, pengusaha dan negara.

Ada juga format yang lain, asosiasi buruh ini menjadikan pengusaha untuk saling berinteraksi menjadi satu partner, yang intinya pengusaha itu mempunyai konsen untuk memperolah keuntungan, tapi disisi lain buruh juga tahu, mereka mau menopang pengusaha itu untuk memperoleh keuntungan. Namun apa yang menjadi keperluannya secara manusiawi juga dicukupi oleh perusahaan. Jadi di sini, paradigma antara buruh dan pengusaha tidak lagi bahwa buruh itu sebagai alat produksi, tetapi betul-betul seperti partner. (noffelisa)