Dibalik “Kemenangan” Liberalis (2)

Sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa di paruh akhir abad ke-15 Masehi, Portugis, Spanyol, Inggris, lalu Belanda dan lainnya ke Nusantara, maka sejak itulah pribumi mengenal penjajahan. Dengan sekuat tenaga, mengorbankan jiwa raga, jutaan syuhada Bumi Pertiwi berjuang untuk melepaskan diri, memerdekakan bangsa ini,  dari segala bentuk penjajahan. Jika Dienul Islam memerdekakan umat-Nya agar tidak ada Ilah lain selain Allah Swt, maka jutaan syuhada itu berjuang agar bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat, tidak “meng-ilahkan” Amerika seperti yang terjadi sekarang.

Bangsa ini memetik hasil perjuangannya pada 17 Agustus 1945, hari Jum’at bertepatan dengan bulan Ramadhan. Saat lambung dan seluruh organ tubuh berzikir hanya kepada Allah Swt, melupakan sejenak kelezatan dunia, bibir-bibir yang kering karena berpuasa dengan lantang meneriakkan pekik, “Merdeka!!!”. Bebas dari segala bentuk penjahahan.

Secara politik, sejak hari itu memang Indonesia telah menjadi negara merdeka. Namun secara ekonomi belum, karena masih banyak perusahaan-perusahaan inti yang dikuasai Belanda, Amerika, dan bangsa-bangsa Eropa lainnya. Para bapak bangsa ini berusaha sekuat tenaga agar secara perlahan, kemerdekaan di bidang ekonomi juga bisa diraih oleh pribumi. Baru pada tahun 1958, pemerintahan Bung Karno mengeluarkan UU No.86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing termasuk sektor pertambangan. Selain itu, Bung Karno juga memberlakukan UU No. 44/1960 yang mempertegas pengelolaan migas sepenuhnya dalam kontrol Negara. Setelah itu, Bung Karno menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) yakni 60:40, ditambah kebijakan lain seperti seluruh perusahaan asing (Multi National Corporate, MNC) wajib menyerahkan 25% area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25% lainnya setelah 10 tahun. Selain itu, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap yang ditetapkan pemerintah Indonesia dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu.

Saat itu skema Bung Karno langsung disetujui oleh presiden AS, John F Kennedy, dan tiga raksasa minyak dunia (Stanvac, Caltex, dan Shell). Indonesia kala itu benar-benar berdaulat dan punya izzah yang tinggi di mata AS. Dampaknya langsung terasa di Indonesia, sektor pendidikan maju dengan pesat, tingkat melek huruf naik dari sebelumnya yang hanya 10% ke 50% (1960). Biaya pendidikan pada masa itu juga sangat murah.

Apa yang dilakukan pemerintahan Bung Karno adalah sesuai dengan amanah Konstitusi Negara yang mengamanahkan jika seluruh kekayaan alam Indonesia digunakan sebesar-besarnya (untuk) kemakmuran rakyat.

Hanya saja, apa yang dilakukan Soekarno diam-diam menimbulkan kegeraman yang sangat di dalam diri banyak pengusaha dunia yang rata-rata masuk dalam jaringan Yahudi Internasional. Mereka menghendaki Bung Kano ditumbangkan agar kekayaan Indonesia bisa dikuasai kembali.  

Campur Tangan Imperialisme Barat

Hindia Belanda, nama Indonesia sebelum merdeka, merupakan negeri pengekspor migas terbesar ke Amerika Serikat (Gouda & Zaalberg; 2007). Semua keuntungan hasil ekspor kekayaan alam Bumi Pertiwi itu masuk ke dalam kas negeri Belanda. Sebab itu, ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya, Amerika berusaha sekuat tenaga mendukung Belanda agar pasokan migasnya tidak terganggu. Kala itu bukan hal yang aneh jika tentara Belanda yang mendarat di Indonesia pasca Perang Dunia II ternyata banyak yang mengenakan seragam US Army, demikian juga dengan senjata dan betbagai kendaraan militer yang masih ada cap US Army-nya (Robert Lovett kepada Frank Graham, 31 Desember 1947, Foreign Relation US, 1947, vol. 6, h.1099, 1164).

Namun perkembangan dunia internasional pasca Perang Dunia II yang memusuhi kolonialisme dan imperialisme dan mendukung lahirnya negara-negara baru membuat AS harus berpikir realistis. AS pun kemudian mengakhiri dukungannya kepada Belanda dan berbalik mendukung Indonesia. Logika yang dibangun Washington sangat sederhana: Jika AS bisa berhubungan langsung dengan Indonesia, mengapa pula harus lewat Belanda?

Dalam skenario Washington, dukungan AS ini akan mempererat hubungannya dengan Indonesia sehingga negara yang masih hijau ini akan mau diajak bekerjasama dengan AS, di mana kepentingan AS jelas lebih banyak ketimbang kepentingan Indonesia. AS hendak memasukkan Indonesia, negeri yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya ini, di bawah pengaruhnya, dalam menghadapi ekspansi Soviet Rusia. Perhitungan Washington ternyata salah besar. Soekarno yang keras kepala tidak mau tunduk pada AS, bahkan dengan lihainya memainkan dua negara adidaya kala itu, Soviet dan AS, dengan cerdik. Indonesia bagaikan perahu kecil yang meliuk-liuk di antara dua kutub Barat dan Timur, tanpa mau bersandar pada salah satunya. Hal ini jelas menjengkelkan AS.  

Akhirnya Washington mengambil keputusan untuk menumbangkan Soekarno dan menggantinya dengan penguasa Indonesia yang mau tunduk pada kepentingan imperialistik AS. Sebuah rencana yang sukses paska tragedi 1965.

Intervensi Budaya

Banyak yang tidak sadar jika tahun 1965-1966 bagi bangsa Indonesia bukan sekadar perpindahan kekuasaan de-facto antara Presiden Soekarno kepada Jenderal Suharto, bukan sekadar peristiwa terbunuhnya enam jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya, bukan sekadar berubahnya Indonesia dari satu negara yang tadinya berdaulat dan mandiri menjadi negara yang sangat tergantung pada imperialis AS. Tahun 1965-1966 merupakan tonggak, al-furqon, bagi orientasi dan semangat kebangsaan, ghirah nasionalisme, dan Character of Nation negeri ini.

Sejak terbitnya fajar gerakan kebangsaan yang ditandai dengan kelahiran Syarikat Islam di tahun 1905, lalu Sumpah Pemuda 1928, perjuangan merebut kemerdekaan, proklamasi, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan kemudian melewati tahun-tahun penuh mara-bahaya—Vivere Pericoloso, kata Bung Karno—dalam mengelola negara yang masih muda ini menghadapi keganasan imperialisme Barat dan rayuan maut fasisme Soviet, menghapus exploitation de l’homme par l’homme (penindasan utara terhadap selatan), semangat revolusi membara dalam dada semua anak bangsa.  

Orang-orangtua di negeri ini masih bisa mengingat dengan baik, bagaimana semangat menyala-nyala tertanam kuat di dalam dada mereka untuk berjuang menegakkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, penuh harga diri, menentang Neo-Kolonialisme dan Neo-Imperialisme (Nekolim). Ketika itu semua anak bangsa, putera-puteri Indonesia adalah manusia-manusia terbaik yang menjaga kobaran semangat kebangsaan dan nasionalisme di dalam dadanya. Nation and Character Building yang dipompakan Bung Karno kian hari kian tinggi menjulang, membakar manusia Indonesia punya pikiran. Pidato-pidato presiden pertama yang menggeledek, merobek langit dan mencakar bumi ini menciptakan generasi Indonesia yang penuh dengan izzah, berani memperjuangkan kebenaran apa pun resikonya, walau harus melawan raksasa imperialisme dunia yang dipimpin Amerika sekali pun. Indonesia tumbuh menjadi macan dunia, yang sanggup menggalang kekuatan alternatif, Gerakan Non-Blok, dan berani mengatakan tidak kepada Amerika maupun Soviet.

Semua kebanggaan ini sirna dalam sekejap, generasi penuh harga diri dan keberanian ini hilang bagai menguap ke udara kosong, saat Jenderal Suharto, atas dukungan penuh CIA, naik ke pentas kekuasaan dengan membantai jutaan rakyatnya sendiri dalam masa penuh darah antara Oktober 1965 sampai awal tahun 1966. Sejak itu bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kerdil, penakut, peragu, dan tidak punya harga diri. (bersambung/ridyasmara)