Dibalik “Kemenangan” Liberalis (3)

Transformasi bangsa dan negara Indonesia yang tadinya penuh semangat kemandirian, berdaulat, penuh izzah di mata dunia, menjunjung tinggi cita-cita mulia dan berani memperjuangkan kebenaran, menjadi satu bangsa dan negara yang tergantung pada Barat, menjadi sangat pragmatis sehingga kehilangan izzah-nya, berjiwa kerdil dan peragu, bermental minderwaardigheit-complex atau menyimpan perasaan rendah dri yang kelewatan, dan sebagainya ini, atau dalam bahasa Arab, Minanuur ilan Dzhulumat, dari Cahaya kepada Kegelapan, berjalan dengan cepat. Tahun 1965 adalah tonggaknya.

Bulan Nopember 1967, Jenderal Suharto mengirim Tim Ekonominya, Mafia Berkeley—simbah-nya Kaum NeoLib sekarang—ke Swiss untuk bertemu para CEO Multi National Corporate (MNC) yang rata-rata Yahudi untuk menggadaikan hampir seluruh kekayaan alam negeri ini dengan harga yang sangat murah. Bahkan landasan legal-formal, cetak-biru UU Penanaman Modal Asing-nya pun dibuat di Swiss. Salah satu hasilnya adalah diserahkannya Gunung Emas Terbesar Dunia di Timika, Papua, kepada Freeport McMoran (AS) sehingga kini telah berubah menjadi Lembah Emas Terbesar Dunia. Inilah tonggak dijajahnya kembali Indonesia oleh Barat. Sampai sekarang.

Dalam bidang budaya, jika Soekarno berusaha menghidupkan budaya nasional (tari lenso, paduan suara dengan lagu-lagu daerah dan penuh semangat kebangsaan), menggairahkan produk tekstil nasional dengan mengkampanyekan penggunaan kain ‘Blatju’ sebagai bahan busana nasional Indonesia dan melarang bahan pakaian import, melarang musik “ngak-ngik-ngok”, melarang celana Cutbray dan pakaian yang dianggap kelewat sexy (tank-top diharamkan), melarang rock n roll (dulu gaya joget Elvis Presley dan lainnya juga dilarang), maka di masa awal kekuasaan Jenderal Suharto, budaya Barat-Hedonis malah diundang masuk dengan sangat bebasnya.

Pembunuhan karakter bangsa yang sudah dengan susah-payah dibangun oleh Soekarno dihancurkan dengan sistematis. Bangsa Indonesia yang dulunya dikenal sebagai bangsa Timur yang ramah, sekarang menjadi bangsa yang sangat gila dengan kebudayaan Barat. Segala hal yang datang dari Barat dianggap sebagai kemajuan. Hal ini terjadi di segala bidang.

Peran Lobi Freemasonry      

Ada sisi yang tidak diungkap buku-buku sejarah di negara ini tentang keterlibatan jaringan Freemasonry di Indonesia dalam membuat cetak-biru arah perpolitikan bangsa ini di masa awal kekuasaan Jenderal Suharto.

Kelompok persaudaraan Luciferian bernama Freemasonry sudah ada di Indonesia sejak zaman VOC. Mereka membangun jaringannya di seluruh Nusantara. Namun di tahun 1962, keberadaannya diharamkan di seluruh Indonesia oleh Soekarno lewat Keputusan Presiden RI. Sejak itu, Freemasonry Hindia-Belanda yang tadinya bermarkas besar di Gedung Loji Adhucstat (sekarang Gedung Bapenas), memindahkan pusat organisasinya ke Singapura.

Kejatuhan Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto diduga kuat ada juga peran dari jaringan ini. Banyak kegiatan mereka yang sampai hari ini masih misteri karena mereka pada dasarnya memang bergerak secara rahasia. Namun ternyata ada juga yang bocor. Salah satunya sebuah pertemuan rahasia Freemasonry Indonesia (dulunya Vrijmetselaren Oost-Indie) di Singapura pada hari Senin, 16 September 1972.  

Dalam pertemuan tersebut, mereka berkumpul untuk mengevaluasi awal pemerintahan Jenderal Suharto dan juga merumuskan strategi persaudaraan bagi negeri itu ke depan. Pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi bernama “Panca Karsa Utama”. Sebuah cetak biru di bidang politik kepada pemegang kekuasaan. Pertemuan itu dimuat dalam majalah internal “Kabana” nomor 48 tahun 1972. Panca Karsa Utama merumuskan lima strategi politik:

Pertama, Wahana Tanpa Daya. Menciptakan kekuatan-kekuatan politik yang terwakili dalam partai politik, namun hanya sebagai macan kertas saja, dan yang sesungguhnya sama sekali tidak punya kekuatan apa pun.

Kedua, Triyana Tunggal Sila. Artinya, semua partai politik wajib berasakan Pancasila dan membuang semua perbedaan asas agama.

Ketiga, Sirna Sangga Kawasa. Pancasila adalah asas tunggal, bukan saja terhadap partai politik, namun semua organisasi kemasyarakatan juga harus demikian. Seluruh kehidupan harus dijauhkan dari nilai-nilai kewajiban agama. Negara dan Agama merupakan ruang yang terpisah. Salah satunya, jilbab misalnya, dilarang.

Keempat, Bhinneka Agama Miraga Tunggal. Intinya sekarang ini disebut pluralisme. Semua agama itu sama, sebab itu membeda-bedakan sesama pemeluk agama adalah salah besar. Semua agama disatukan dalam satu tempat ibadah tunggal yang dinamakan Wisma Bhakti Pancasila. Suku, Agama, dan Ras, atau SARA, menjadi wilayah yang sangat tabu untuk diperdebatkan. Bukan itu saja, pemakaman umum pun dilarang membeda-bedakan orang mati berdasarkan agamanya.

Kelima, Nagara Utama. Yaitu mewujudkan Indonesia yang subur, makmur, dengan berasas tunggal, berkepercayaan tunggal, berbahasa tunggal dan bersuku tunggal, pembauran dilakukan di semua bidang kehidupan. Jadi, inti semua itu adalah menciptakan Indonesia yang sepenuhnya sekuler.

Salah satu bukti lagi adalah dimasukkannya Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, istilah populernya “Kejawen”, yang sesungguhnya tidak ada bedanya dengan Gerakan Theosofie yang dibangun perempuan Yahudi-Rusia bernama Madame Blavatsky di zaman VOC, ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bahkan secara berkesinambungan, gerakan ini mendapat porsi yang sama untuk tayang di TVRI dan juga RRI.

Secara sistematis, terencana, dan terukur, bangsa Indonesia di bawah Jenderal Suharto diubah menjadi bangsa budak bagi kepentingan imperialis Barat, dalam semua sisi. Karakter bangsa Indonesia asli yang luhur menjadi hilang dan digantikan dengan karakter budak. Hal ini terus terjadi dan terus dilestarikan sampai detik ini.

Dalam peradaban manusia, perekonomian merupakan bangunan dasarnya. Bagai sebuah piramida, sistem ekonomi merupakan lapisan paling bawah yang menopang dan menentukan bidang lainnya, seperti politik, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Ini hukum besi sejarah manusia sampai kapan pun. Di bawah Jenderal Suharto, sistem ekonomi kerakyatan dengan pondasi utama koperasi (arti koperasi adalah ‘Gotong Royong’) yang digagas Soekarno-Hata dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan Kapitalistime. Istilah ini diperhalus, eufimisme, dengan istilah “Sistem Ekonomi Pancasila”, yang sejatinya sangat jauh dari nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya.

Sistem inilah yang bekerja dengan kecepatan penuh di negeri ini sejak zaman Suharto hingga zaman SBY sekarang ini, walau para pemimpin negara ini tidak pernah mau mengakuinya. Dalam pandangan ekonomi-politik, hal ini sudah sedikit-banyak disinggung dalam tulisan berseri terdahulu dengan judul “Siapakah Sebenarnya Suharto?” di Eramuslim. Dalam serial tulisan ini selanjutnya, kita akan mengupas cara kerja sistem jahat ini di dalam mengelabui dan memanipulasi kesadaran rakyat Indonesia, sehingga dalam Pilpres 2009 kemarin, kubu NeoLib (Liberalis) bisa “menang” karena mendapat suara rakyat terbanyak dibanding kandidat lainnya. Padahal banyak sekali rakyat Indonesia yang mengakui jika sekarang ini kehidupan kian sulit, biaya pendidikan kian mahal, kebutuhan hidup kian tinggi, dan uang rupiah kian tidak ada harganya. Walau demikian, kelihatan lucu jadinya, karena mereka dalam pilpres kemarin ternyata masih banyak yang mau dan memilih untuk melanjutkan kondisi sulit seperti sekarang ini. Ibarat orang yang tengah mengemudi kendaraan, walau tahu di depannya ada jurang yang dalam, namun dia malah melanjutkan menginjak gas, bukan mengganti pijakan kakinya ke pedal rem atau banting stir. Namun inilah kenyataan yang harus diterima. Inilah bangsa kita tercinta, bangsa Indonesia. (bersambung/ridyasmara)