Lekra, Organ Kebudayaan PKI yang Suka Mengolok-olok Tuhan

Lakon ludruk (Jawa Timur), ketoprak (Jawa Tengah), dan sandiwara (Jawa Barat) saat itu, ketika PKI sedang berada di atas angin karena mendapat “dukungan” elit politik dan oknum-oknum militer, memang narasinya aneh-aneh.

Ada lakon dengan judul Patine Gusti Allah, Gusti Allah Dadi Manten, Malaikat Kawin, dan lain-lain, yang membuat orang Islam marah.

Ludruk dengan lakon Patine Gusti Allah, yang sedang pentas di Jombang, misalnya, pernah membuat seorang anggota Banser marah besar. Panggungnya diobrak-abrik dan dihancurkan. Ludruk pun batal manggung.

Orang-orang Islam jelas marah. Tapi tak bisa berbuat banyak. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi sayap PKI, saat itu sangat kuat dan merajalela. Lekra mengkoordinasi grup-grup ludruk, ketoprak, drama, dan sandiwara untuk mementaskan kesenian yang bernuansa paham PKI.

Lembaga Kebudayaan atau Politik?

 

Lekra yang berdiri 17 Agustus 1950 di Jakarta. Ia menjelma jadi organ kesenian dan kebudayaan PKI yang sangat radikal, ekspansionis, dan ekstrim. Sulit membayangkan ada sebuah lembaga kebudayaan yang demikian berkuasa di dunia seperti Lekra.

Kenapa? Karena Lekra hakikatnya bukan sekadar lembaga kebudayaan. Tapi lembaga politik provokatif yang berselimut kebudayaan.

Politisasi Lekra ini bentukan Nyoto dan Aidit, dua pimpinan puncak PKI. Bagi Nyoto dan Aidit—setiap organ dalam PKI harus menjadi corong revolusi dan penyebaran ateisme-komunisme. Itulah sebabnya, semangat gerakan kebudayaan Lekra sama dengan semangat gerakan komunisme Stalin dan nazisme Hitler.

Ideologi Lekra pun “dijejalkan” ke mana-mana—tak hanya ke gedung-gedung kesenian, tapi juga ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, masjid-masjid, dan balai-balai desa.

Lagu mars PKI Genjer-Genjer misalnya, menjadi lagu wajib pada setiap upacara politik. Pentas ludruk juga penuh lakon dan adegan untuk menjejalkan paham ateisme.

Penyamaan kesucian air wudhu dengan air kencing pada lakon Gusti Allah Mantu tersebut di atas—juga pembangunan patung palu arit setinggi 20 meter di halaman Masjid Agung Bojonegoro—menunjukkan bagaimana massif dan ekstrimnya gerakan Lekra menghancurkan kesadaran relijius bangsa Indonesia.

Lekra meracuni anak-anak sekolah dengan pelajaran ateisme, mendiskreditkan ulama, menyerang sastrawan Muslim; dan membangun simbol-simbol PKI di masjid.

PKI, misalnya, dengan atraktif menginjak-injak al-Quran di Masjid Jami’ Kanigoro, Kediri. Ulama dan haji, misalnya, oleh Lekra disebut pengisap darah rakyat dan tuan tanah bengis yang harus disingkirkan.

 

Lekra Tuduh Hamka Plagiat

 

Sastrawan Hamka dituduh plagiat. Novel karya Hamka yang sangat popular Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVW) dituduh sebagai karya plagiat oleh sastrawan Lekra, Abdullah Said Patmadji (ASP).

ASP menuduh novel TKVW mirip dengan Dumu el Hub (Air Mata Cinta), sebuah film adaptasi dari ovel karya Al-Manfaluthi. Di Koran Bintang Timur—medianya PKI—ASP menulis bahwa novel TKVW adakah karya plagiat Hamka.

Ini sangat memalukan sastrawan Indonesia. Tuduhan ASP tersebut kemudian disanggah oleh HB Jassin, kritikus sastra Indonesia. “Hamka tidak plagiat. Karya Hamka adalah ungkapan pribadi dan pengalamannya sendiri,” tulis Jassin, paus sastra Indonesia itu.