Agenda 'Asingisasi' di Balik Tuntutan Pembubaran LSF

Kelompok seniman dan artisyang menginginkan atau sekedar mendukung pembubaran Lembaga Sensor Film (LSF) secara tidak langsung telah memuluskan agenda penjajahan kultural di Indonesia, mengganti kultur masyarakat Indonesia dengan kultur asing.

"Target pembubaran LSF adalah asingisasi. Mereka mengadopsi liberalisme dan tidak mau mengakui akar kultur masyarakat Indonesia, " kata anggota Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) Wowok Hesti Prabowo, menyikapi proses judicial review UU Film Nomor 8 tahun 1992 tentang keberadaan LSF.

Pembubaran LSF, menurut Wowok, memang sangat tidak populis dan pemerintah tidak perlu mengabulkannya. Sebab, tuntutan itu hanya terkait penarikan simpati masyarakat, yakni dengan memerankan diri sebagai kelompok yang berjuang demi kebebasan, dengan target pendeknya adalah membuka kran kebebasan berkesenian sedikit demi sedikit.

"Target panjangnya adalah meniadakan LSF sama sekali, mereka yang mengadopsi liberalisme itu menginginkan adanya kebebasan tanpa batas, "tegasnya.

Padahal, lanjutnya, jargon pembebasan masyarakat yang selama ini didengungkannya cuma retorika, karena seperti diketahui bahwa pada saat masyarakat keberatan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak.

Ia menambahkan, kalangan seniman dan pebisnis hiburan yang menginginkan liberalisme, sebenarnya hanya segelintir orang namun mereka disuport oleh jaringan dana yang kuat dan media massa. "Jadi ada semacam diktator minoritas, "imbuh Wowok yang juga ketua yayasan Komunitas Sastra Indonesia (KSI).

Ia menyatakan, kreasi seni untuk menyampaikan gagasan serta mengekspos nilai-nilai penting tidak harus dilakukan dengan aksi yang vulgar. Sebab, kreasi seni yang tinggi itu justru diperankan dengan bahasa simbol dan imajinasi. "Kebebasan yang diinginkan mereka itu justru kemunduran. Jadi perlu dibedakan antara kreasi seni dan sampah, " imbuhnya.

NU-KPI Awasi SiaranTelevisi

Sebelumnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi saat menandatangani MoU dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), di Jakarta, Selasa (26/2) mengeluhkan, saat ini muncul kecenderungan bahwa tayangan televisi atau film dengan penonton paling banyak, justru tidak memiliki unsur pendidikan dan pencerdasan kepada masyarakat.

Melalui kerja sama itu, NU dan KPI akan melakukan gerakan penyadaran kepada masyarakat tentang baik-buruknya dampak tayangan televisi. Saat ini sedang dilakukan pengawasan dan inventarisasi terhadap seluruh tayangan televisi yang dinilai baik untuk masyarakat atau sebaliknya.(novel/nuol)