Tuduhan Ansyad Mbai tentang Adanya Media Islam sebagai Situs Propaganda Terorisme

Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai, kembali melancarkan ‘serangannya’ dalam upaya pembentukan stigma negatif pada kelompok tertentu dengan mengatakan, bahwa pengunjung terbesar situs-situs yang diidentifikasi sebagai ‘situs propaganda terorisme’ berasal dari Indonesia.

“Jumlah pengunjung dari Indonesia bisa mencapai 80 – 90 persen,” kata Ansyad Mbai pada Focus Group Discussion (FGD) tentang Deradikalisasi (Meningkatkan Ketahanan Masyarakat) Melalui Advokasi, Komunikasi, dan Edukasi di Ruang Publik, di Bogor, Kamis (9/6/2011).

Ansyad mengaku tidak hafal nama ke-11 situs tersebut, namun ia menyebut dengan lantang bahwa salah satunya adalah arrahmah.com. Data-data tentang situs-situs tersebut diakuinya berasal dari satu institusi yang berpusat di Australia.

Institusi Australia yang mana, Ansyad sekali lagi tidak menyebutkan secara jelas dan detil. Perolehan data tersebut sedikit lebih rendah dari hasil penelusuran Kemenkominfo yang menyebutkan ada 32 situs yang menjelek-jelekan agama lain.

Hal tersebut memicu pertanyaan di balik penyebutan situs arrahmah.com sebagai situs terorisme. Kenapa dari kesebelas situs yang ia yakini, anehnya hanya arrahmah.com sebagai situs yang satu-satunya ia ingat.

Ansyad mengungkapkan bahwa penggunaan internet menjadi pilihan bagi para ‘teroris’ untuk melakukan kampanye selain juga merekrut anggota baru. Sebagai contoh ia mengemukakan aksi-aksi radikalisme yang dilakukan belakangan ini seperti bom bunuh diri di Cirebon atau bom buku di Jakarta, tidak terlepas dari internet.

“Pepi yang membuat bom buku mengaku memperoleh pengetahuan membuat bom dari internet,” katanya.

Peliputan langsung oleh media jadi alat kampanye ‘terorisme’

Tidak hanya itu, Ansyad juga mengkritik media Indonesia yang dinilainya memberi ruang bagi ‘kampanye terorisme’ melalui peliputan langsung di televisi. “Di negara lain tidak ada satu pun media yang melakukan ‘live broadcast’ dengan terorisme,” katanya.

Terkait hal ini, sekali lagi Ansyaad menjadikan negara lain sebagai tolak ukur. Negara lain yang dimaksudnya tentu saja negara yang notabene mendukung ‘terorisme versi George bush’.

Pada faktanya, peliputan langsung di televisi terkait ‘terorisme’ memang dibutuhkan agar tidak terjadi monopoli dan manipulasi berita yang hanya berasal dari satu sumber. Kalau sudah demikian, dampaknya akan sangat buruk, yakni yang benar bisa dibilang salah, dan yang salah ditutup-tutupi.

Ambil contoh dalam kasus penembakan ‘teroris’ di Sukoharjo beberapa waktu lalu. Coba kalau peliputan tidak bersifat ‘terbuka’ pasti klaim tentang kematian pedagang kaki lima dalam operasi ‘penangkapan teroris’ oleh Densus 88 langsung dituduhkan pada ‘dua tersangka terorisme’.

Faktanya, hingga kini peluru siapa yang ‘nyasar’ di tubuh pedagang tersebut belum juga diumumkan pihak Polri. Belum lagi fakta tentang adanya dugaan bahwa salah satu ‘teroris’ yang tertembak ternyata telah disiksa dan ditembak dari jarak dekat. Kalau sumber berita dan peliputan hanya dari satu sumber sudah pasti kenyataan tersebut tak akan pernah terkuak.

Dengan adanya kampanye pelarangan liputan langsung di media terkait ‘terorisme’, Ansyad seperti berniat menjadikan Indonesia sebagai negara diktator militerisme dimana hanya negaralah ‘yang berhak menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah’. Padahal pada kenyataannya, masyarakat Indonesia kini semakin lama semakin pintar, semakin kritis, dan bukan lagi masyarakat yang hanya bisa manggut-manggut dicekoki stigma negatif oleh para penguasa.

Sementara itu, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Freddy Tulung mengemukakan bahwa salah satu upaya untuk menangkal radikalisme adalah melalui pendidikan.

Ia mengungkapkan bahwa ada satu hal yang belum memainkan peranan yaitu edukasi di ruang publik. Edukasi ini bisa dilakukan dalam berbagai macam cara seperti tatap muka, melalui media luar ruang, media cetak, media tradisional seperti kesenian daerah, media penyiaran dan media sosial.

Sayangnya dalam kesempatan itu tidak dijelaskan bahwa keberadaan situs-situs alternatif di internet memiliki peran penting bagi masyarakat untuk mengcounter pemberitaan secara sepihak dari pihak-pihak tertentu.

‘Terorisme’ muncul dari doktrinasi?

Pembicara lain dalam FGD tersebut, aktivis perempuan Siti Musdah Mulia. Ia mengatakan, pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam tumbuhnya radikalime.

Ia menyoroti pendidikan agama yang dinilainya kurang tepat karena hanya mengajarkan ritual dan aspek formal legal saja sehingga pemahaman agama menjadi sempit.

Musdah Mulia berpendapat bahwa ‘kelompok-kelompok radikal‘ muncul dari sekolah-sekolah eksakta yang tidak cukup bekal di agama. Murid-murid di sekolah tersebut biasanya hanya memahami secara eksakta – hitam putih saja. Ia menilai seharusnya pendidikan agama bukan lagi secara doktriner tapi mengedepankan sikap kritis dan rasional yang diakui juga cara pendidikan ini dikecam oleh kalangan doktriner.

Pernyataan ini tentu adalah pernyataan yang bersifat pribadi, karena fakta di lapangan menunjukkan orang-orang yang disebut ‘radikal’ oleh media dan penguasa adalah orang-orang yang pemahaman agama dengan spiritualisme bagus.

Sungguh menyedihkan melihat penguasa dan kaum intelektual kita saat ini. Ketika banyak bermunculan situs porno dan situs-situs ‘pengajak’ maksiat, keberadaannya didiamkan dan tidak diambil pusing. Mau merusak moral generasinya ataupun merusak mental masyarakat tetap saya situs-situs tersebut dianggap ‘tidak lebih membahayakan’ dibandingkan situs ‘terorisme’.

Padahal ‘situs yang disebut terorisme’ tersebut hanya memaparkan berita fakta dan kebohongan-kebohongan media barat, dan berusaha memberikan pandangan dan pemahaman yang sebenarnya terkait opini yang dikoar-koarkan oleh pihak yang memerangi Islam. Bandingkan dengan situs amoral yang menjamur, dimana ia tidak hanya ‘memerangi’ satu pihak saja, tetapi semua kalangan dijadikan sasaran target untuk perusakan moral.

Jadi, stigma ‘teroris’ yang digembor-gemborkan, tidak tertutup kemungkinan hanya akal-akalan para kaum munafik dan pembenci Islam yang berusaha menggerogoti Islam dari dalam. Mh/arh

foto: suaraislam