Beri Grasi Kepada Pembunuh Wartawan Bali, Jokowi Dikecam

Keputusan presiden itu ditetapkan di Jakarta tanggal 7 Desember 2018 bernomor: 29/2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan Dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Salinan keputusan tersebut ditandatangani Asisten Deputi Bidang Hukum Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Budi Setiawati.

Menanggapi grasi presiden bagi adik dari mantan Bupati Bangli I Nengah Arnawa, salah satu aktivis yang juga salah satu tim kuasa hokum yang ikut mengawal kasus pembunuhan AA Prabangsa, I Made Suardana mengaku terkejut.

Suardana kaget lantaran sepengetahuannya Susrama sebagai otak pelaku pembunuhan terhadap AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, dihukum seumur hidup melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Namun, tiba-tiba mendapatkan keringanan hukuman dan perubahan jenis pidana dari hukuman seumur hidup menjadi pidana biasa yang bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat nanti.

“Pembunuhan terhadap Prabangsa haruslah dimaknai sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan pers,” tandas pria yang juga pengacara itu.

Terlebih, pengungkapan kasus pembunuhan ini sangat sulit. Polisi harus berusaha ekstrakeras dalam mengusut kasus yang menjadi perhatian nasional itu. Selain itu, putusan penjara seumur hidup terhadap Susrama juga dibarengi putusan pidana yang cukup berkeadilan.

“Maka seharusnya pemerintah memaknai itu sebagi penghormatan terhadap pilar demokrasi yang juga merupakan agen Perubahan yaitu pers itu sendiri,” tegasnya.

Sebagai anggota tim hukum yang mengawal kasus ini, Suardana sempat berpikir kalau Susrama bakal dihukum mati. Tapi, nyatanya Susrama masih diberikan kemudahan hakim yaitu hukuman seumur hidup.

“Sehingga bayangan kita saat itu adalah hukuman yang dapat disamakan atas kebebasan dia yang dibatasi juga seumur hidup. Obral grasi seperti ini menurut saya selain mengurangi prinsip keadilan itu sendiri,” sentilnya.

Selain itu, sambung Suardana, juga bisa membuat tidak adanya kepastian hukum karena presiden setiap saat bisa menggunakan kewenangan mengubah jenis hukuman dan mengurangi hukuman seseorang.

Aril mengkritisi tim ahli hukum presiden melakukan koreksi sebelum pemberian grasi. Pasalnya, berdasar UU Nomor 22/2002 dan perubahanya UU Nomor 5/2010 memberikan kewenangan bagi presiden. Namun, seharusnya sejak berada di Kementerian Hukum Dan HAM, sudah semestinya diberikan catatan atas kasus tertentu yang mendapat sorotan publik.

“Demi aspek keadilan dan asas kemanfaatan, maka grasi tersebut masih memungkinkan untuk dicabut dan dianulir lagi selama ada kemauan pemerintah selaku pihak yang mengeluarkan diskresi,” terang Suardana. [RB]