Dr. Syahganda Nainggolan: Lieus Sungkharisma dan Kebangkitan Nasional Kedua

Tanggal 10 April pagi, saya dan Lieus berjalan berdua memutari lapangan Sriwedari. Ribuan massa yang duduk-duduk di pinggir lapangan berteriak-teriak dan mengejar Lieus minta berfoto, ada juga yang selfie.

Hampir satu jam lebih saya harus menemani Lieus yang memang sudah menjadi apek-apek (kakek-kakek) dengan sabar melayani semua orang. Orang-orang Jawa itu ada yang dari Solo dan ada dari luar Solo. Segala pose dan selfie dilayani dari satu kelompok ke kelompok lain.

Ada juga seorang perempuan luar Solo, yang terpisah dari rombongannya menyempatkan diri selfie. Namun, beberapa hal yang saya catat benar adalah pernyataan mereka bangga lihat Lieus yang orang Tionghoa mau berjuang.

Fenomena Lieus dalam perjuangan saat ini adalah kehadiran Lieus ketika masyarakat, khususnya masyarakat Islam dan lebih khusus lagi kelompok Prabowo, sudah menjadikan tema anti Asing dan Aseng sebagai kata-kata perjuangan.

Tema anti asing jelas arahnya, namun tema anti-aseng dapat bermakna ganda, yakni RRC dan China-Indonesia. Terhadap China-Indonesia, pimpinan 212 mengarah pada istilah 9 Naga.

Dengan kehadiran Lieus Sungkharisma, yang menjadi bagian inti gerakan anti Jokowi, persepsi anti-Aseng tentu akan mendapatkan diskursus yang tepat.

Pertama, sentimen anti-Aseng tidak menjadi bias pada persoalan ras, melainkan akan menjadi persoalan kecemburuan sosial dan ketimpangan.

Kedua, anti-Aseng akan bersifat lokal apabila China-Indonesia tidak mempunyai konspirasi politik dengan RRC melalui program OBOR (Belt and Road Initiative).

Sekali lagi, karena ketokohannya dan sejarah perjuangannya, kehadiran Lieus dalam perjuangan kelompok-kelompok Islam militan dan #2019GantiPresiden, tentunya dapat membangun sebuah konstruksi Kebangkitan Nasional kedua.

Kebangkitan Nasional di masa lalu adalah klaim kebangkitan pribumi mengusir penjajahan. Sampai 73 tahun Indonesia Merdeka, segregasi masyarakat pribumi versus nonpribumi keturunan Tionghoa dirasakan semakin jauh. Sebab, misalnya kehadiran orang-orang Tionghoa dalam berpolitik tidak dimasukkan dalam agenda affirmative policy bagi kesejahteraaan pribumi.

Misalnya, seperti sedang terjadi di Afrika Selatan dan Malaysia. Melainkan, tetap saja mempertahankan status quo oligarki ekonomi dan kesenjangan sosial. Situasi sosial yang selalu dipertahankan kekuatan anti kebaikan.

Penutup

Sejarah bangsa kita adalah sejarah pengkhianatan demi pengkhianatan. Berkuasanya negara kecil Belanda selama 350 tahun di bumi ini bukan karena mereka hebat,  tapi kitalah yang lemah. Kelemahan itu bersumber dari masalah keberanian dan pengkhianatan.

Di antara perebutan pengaruh dunia, Barat vs RRC di kawasan Pasifik, khususnya Indonesia.