Dr. Syahganda Nainggolan: Seeing is Believing, Post Truth and Every Body Lies: Predicting the Present

Era peradaban manusia, khususnya belakangan ini, ditandai dengan melihat fakta adalah fakta. Fakta adalah yang dilihat. Fakta adalah yang bisa diverifikasi. Atau difalsifikasi. Itu adalah era “seeing is believing”.

Hillary Clinton menulis buku dengan judul itu. Dia memberikan pandangan-pandangannya atas apa yang dilihatnya.  Tentang keluarga dan anak-anak, misalnya. Lalu Clinton memberikan pandangan politiknya tentang itu, bagaimana sebaiknya sebuah keluarga itu.

Era lain yang paralel,  ditandai dengan “alternative fact” sebagai sebuah kebenaran. Trump tidak percaya bumi itu bulat. Dia mengatakan bahwa dia sudah berjalan ke seluruh dunia, dan dia tidak melihat effect gravitasi bumi. Dia yakin bumi datar. Orang-orang ahli kebumian mengatakan bahwa bumi bulat. Trump yakin fakta yang dia kemukakan. Jika lawan politiknya tidak yakin anggap saja itu fakta alternatif,  sebuah kebenaran yang lain.

“Alternative fact” adalah era Post Truth.  Kebenaran bukan monopoli sebuah kelompok. Jokowi silakan percaya menang, Prabowo juga yakin menang.

Jokowi bersandar pada quick count lembaga survei pendukungnya. Prabowo bersandar pada real count (sensus) data tim internalnya. Siapa benar?

Di era verifikasi dan falsifikasi, hasil hitungan quick count yang tidak berpihak, bisa jadi rujukan. Di era Post Truth, karena tidak ada yang tidak berpihak, maka quick count menjadi tidak relevan.

Lebih dari setahun lalu saya membeli buku “Every Body Lies: What the Internet Can Tell Us About Who We Really Are”.