Eks GAM Desak Seluruh Isi MoU Helshinki Masuk dalam UU Pemerintahan Aceh

Sejumlah perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jakarta, yang selama ini mengikuti proses pembahasan RUU Pemerintahan Aceh (RUU PA) tetap ngotot dan mendesak DPR RI dan pemerintah pusat untuk memasukkan poin-poin penting dalam MoU Helshinki dan ini bersifat mutlak.

Demikian ditegaskan perwakilan GAM Tengku Kamaruzzaman dan Faishal Putra kepada wartawan di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Kamis (15/6). Menurutnya, hal itu tidak dilakukan akan berdampak negatif bagi proses perdamaian di Aceh. Oleh sebab itu pemerintah dan DPR RI harus melihat ini secara baik.

Ia menjelaskan, dari draft RUU PA yang ada sekarang ini banyak yang melenceng—tidak sesuai dengan MoU Helshinki, tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh, juga tidak sesuai usulan DPRD Aceh. Padahal, katanya, penyusunan RUU PA itu merupakan bentuk komitmen dan tanggungjawab rakyat Aceh sesuai MoU Helshinki, yang akan dijadikan pondasi perdamaian abadi bagi Aceh sekaligus merupakan pencerahan sistem demokrasi dan kesejahteraan di Republik ini.

Mereka juga menyatakan materi MoU Helshinki tidak melanggar konstitusi, UUD 1945 maupun NKRI. "Kewenangan yang dimiliki Aceh akan mengubah paradigma sistem sentralistik yang melihat daerah sebagai koloni pusat, menjadi daerah yang mandiri dalam negara kesatuan yang terintegrasi," katanya.

Sepuluh poin MoU Helshinki yang dipersoalkan tersebut antara lain; judul RUU PA tetap “Pemerintahan Aceh”, kewenangan pemerintah Aceh (terdistorsi), persetujuan DPR Aceh bagi pengambilan kebijakan mengenai Aceh (terdistorsi), kewenangan dalam pengelolaan minyak dan gas, pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislative, partai politik lokal yang mandiri, kewenangan pemerintah Aceh dalam melakukan pinjaman luar negeri.

Selain itu, kewajiban pemerintah untuk menggelar peradilan HAM di Aceh dalam batas waktu satu tahun sejak diundangkannya RUU PA, membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Nasional di mana KKR Nasional ini akan membentuk KKR Aceh, dan peradilan sipil bagi militer yang melakukan kejahatan sipil.

“Wapres sudah menyambut baik, meski tanpa memberikan rincian materi RUU PA itu sendiri. Dan, kita bukan GAM lagi sebagaimana isi MoU itu sendiri. Jadi dari MoU itu tinggal implementasi dan tanggungjawab pemerintah untuk menyosialisasikannya, karena ini menyangkut nama baik Indonesia dan Aceh di dunia internasional,”ujar Kamaruzzaman.

Faishal Putra menambahkan, pemerintah harus konsekuen dengan perjanjian MoU Helshinki itu. GAM juga akan melakukan proses yang sudah disepakati. “Kalau tidak itu akan berdampak negatif bagi proses perdamaian di Aceh,” kata dia. (dina)