Hati-Hati, BNPT Ingin Penyebar Kebencian dan Permusuhan Nanti Bisa Dikriminalisasi

GIDI teroris
Kenapa BNPT Tidak Angap GIDI adalah organisasi teroris?

Eramuslim.com – Sejak didirikan hingga sekarang, BNPT selalu menuding telunjuknya jika teroris itu selalu orang Islam. Kasus penyerangan teroris Gereja GIDI terhadap Jamaah Muslim di Tolikara saat tengah menunaikan ibadah sholat Iedul Fitri beberapa waktu lalu, BNPT sama sekali tidak berkomentar atau bertindak apa-apa, demikian juga Densus 88. Padahal teroris GIDI tersebut juga membakar masjid dan ratusan rumah serta kios di Tolikara. Coba andaikan kejadian itu kita balik, andai saat ibadah Natalan di Gereja lalu ada sekelompok orang Islam menyerang jamaah gereja lalu membakar gerejanya, maka pasti BNPT dan Densus segera bergerak cepat, serta menuding pelakunya adalah teroris Islam sehingga harus diberangus dengan cepat. Inilah faktanya.

Nah, sekarang BNPT juga ingin menangkap umat Islam yang dianggap, dianggap oleh BNPT sendiri sesuai dengan kepentingannya, yang menyebarkan kebencian dan permusuhan kepada pihak lain. Jadi bila ada kasus anak muda bernama A Lung menampar anggota Polantas berseragam yang sedang bertugas seperti yang terjadi di Medan, dan wartawan memberitakannya, maka sangat mungkin sang wartawan akan dituduh menyebarkan kebencian rasial dan ditangkap.

Atau bisa jadi, penyebar video pemukulan seorang aseng yang mengaku kerabat Ahok terhadap seorang petugas Dishub yang sedang menjalankan tugasnya, juga dikenai pasal penyebar kebencian dan permusuhan oleh BNPT. Pasal-pasal ngaret ini mirip dengan apa yang dipakai Kopkamtib di eranya Suharto berdekatan dengan CSIS.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengharapkan DPR RI mempercepat penyempurnaan naskah akademik rancangan perubahan UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibutuhkan untuk pencegahan dini terhadap kelompok radikal yang menjurus melakukan teror.

“Jadi penegakan hukum terorisme sekarang ini, ada ledakan baru polisi narik-narik police line. Yang perlu kita lakukan dorongan agar teman-teman di parlemen mempercepat bagaimana penyempurnaan naskah akademik dan men-gol-kan dan merubah UU 15 tahun 2003,” jelas Irfan di kampus UI Depok, (29/9).

Selain mempercepat UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Irfan mengiginkan di dalam rancangan perubahan UU 15 tahun 2003 juga dimasukkan upaya-upaya pencegahan terorisme, rehabilitasi serta penegakan hukum bagi anggota kelompok terorisme baik sudah bebas maupun yang masih di dalam Lembaga pemasyarakatan. Hal ini untuk menyempurnakan upaya deteksi dini ancaman terorisme.

“Penanaman kebencian dan penyebaran permusuhan bukan kriminal, kita harus kriminalisasi itu. Disitulah kelemahan UU 15 tahun 2003. Makanya saya mewacanakan bagaimana kita memiliki UU Perlindungan terhadap falsafah negara. Yang tidak mau hormat sama Pancasila, ya itu sudah melanggar hukum,” ujarnya.

Lebih jauh, Irfan mengatakan tidak adanya pasal yang mengatur pencegahan terorisme membuat pihak kepolisian tidak bisa menahan seseorang atau kelompok yang terindikasi sebagai teroris. Apalagi, menahan seseorang yang kembali bergabung ke kelompok teror atau mencegah seseorang untuk bergabung dengan kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Padahal, lanjut Irfan inti dari terorisme adalah saat seseorang atau kelompok melakukan proses radikalisasi kepada masyarakat

“Mana pasalnya yang akan menahan mereka, kalau dipenjara, itu kan nggak ada dasarnya, serbasalah kan? Sementara negara tidak boleh kalah dengan teroris,” tutup Irfan. Benar ini, tapi kenapa negara takut dengan teroris GIDI di Tolikara? Ini sungguh tidak adil. (ts)