Kampanye Jokowi Dilanda Krisis

Sialnya, di antara massa yang dikerahkan itu banyak ‘orang pintar’. Dan mereka nekat. Nekat mempermalukan Jokowi. Mereka itu anak-anak muda. Tetapi juga banyak orang dewasa. Belakangan ini, berswafoto dua jari dengan latar belakang Jokowi, trendy di mana-mana. Menyambut Jokowi di pinggir jalan dengan acungan dua jari, sekarang menjadi fenomenal.

Jadi, Jokowi tak hanya ‘disakiti’ dengan mengosongkan kursi-kursi kampanye ruangan (indoor). Melainkan juga ‘didera’ dengan acungan dua-jari (‘V’). Dan ini terjadi meluas. Bahkan di depan Istana sekali pun. Masyarakat tidak lagi perduli tantangan yang mereka hadapi dalam menunjukkan perlawanan.

Tak salah kalau kita meyakini bahwa rapat tertutup itu membicarakan perlawanan keras dari rakyat yang dilancarkan dengan santai. Jusuf Kalla (JK) kelihatannya mulai risau. Tapi tak tahu kita apakah beliau risau sungguhan atau risau ecek-ecek. Kuat dugaan saya, Pak JK cuma risau basa-basi. Apa iya dia perduli dengan kalah-menang Jokowi di pilpres 2019? Bukankah wapres yang pragmatis ini lebih banyak memikirkan apa yang akan dia lakukan setelah masa jabatannya selesai akhir tahun ini?

Baik, kita tinggalkan soal motivasi JK. Kita perlu menjawab pertanyaan besar. Mengapa bisa terjadi perlawanan meluas dari rakyat?

Kalau mau merenungkannya dengan satu pepatah, maka pepatah itu adalah “siapa menabur angin, akan menuai badai”. Maksudnya, kezoliman demi kezoliman yang ditebar di mana-mana, sekarang siap dipanen. Kesewenangan yang dilakukan karena kekuasaan, kini telah matang untuk dipetik hasilnya.

Seharusnya orang-orang bijak di kubu Ko-Ruf sudah tahu. Seharusnya mereka telah menyadari itu. Sepatutnya mereka paham bahwa itulah hukuman yang ditimpakan oleh rakyat terhadap kesewenangan penguasa. Sewajarnyalah mereka tahu bahwa ‘kesewenangan’ dan perbuatan ‘sesuka hati’, sudah tidak zamannya lagi. Sudah lama lewat eranya. Sudah ‘expired’. Cara-cara seperti itu sudah usang.