LBH Catat Ada 7 Janji Palsu Jokowi-Ahok Kepada Korban Gusuran

Eramuslim.com – Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengadakan penelitian bertajuk ‘Mereka yang Terasing: Laporan Pemenuhan Hak atas Perumahan yang Layak Bagi Korban Penggusuran Paksa Jakarta yang Menghuni Rumah Susun’. Guna mengukur kelayakan berdasarkan standar hak asasi manusia yaitu sesuai Komentar Umum CESCR Nomor 4/1991 tentang Perumahan yang Layak, dan Komentar Umum Nomor 7/1997 tentang Penggusuran Paksa.

Pengacara publik LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy menjelaskan, penelitian dilakukan di 18 rumah susun yang tersebar di seluruh DKI Jakarta. Jumlah responden 250 orang yang keseluruhannya adalah kepala keluarga atau pencari nafkah utama dalam keluarga, berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

luar batang

Menurutnya, gubernur DKI Jakarta sejak era Sutiyoso, Joko Widodo (Jokowi) hingga Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selalu menjanjikan korban penggusuran paksa yang dipindah ke rumah susun akan hidup lebih sejahtera. Namun, menurut hasil penelitian, janji tersebut tidak kunjung terpenuhi.

“Justru mereka yang digusur hidupnya lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menunggak biaya sewa,” kata Alldo kepada wartawan, Rabu (21/12).

Setidaknya ada tujuh janji yang tidak dipenuhi oleh gubernur DKI hingga hari ini.

Pertama, terjadi pelanggaran hak atas kesehatan dan pendidikan bagi Warga Korban penggusuran yang dipindah ke rumah susun. Survei menemukan ada 59,8 persen penghuni warga rusun tidak memiliki Kartu Jakarta Pintar, dan 59,8 persen tidak memiliki Kartu Jakarta Sehat.

“Hal ini bertentangan dengan janji Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menyatakan bahwa seluruh biaya pendidikan dan kesehatan bagi korban penggusuran akan ditanggung oleh pemerintah,” beber Alldo

Kedua, terdapat pelanggaran janji Presiden Joko Widodo Terkait dengan legalisasi kampung kota. Pada 2012, Presiden Jokowi yang kala itu merupakan calon gubernur DKI menjanjikan akan mematuhi hukum dengan melegalisasi bidang tanah warga yang tinggal di kampung dan kota apabila telah dihuni selama lebih dari 20 tahun.

ahok jokowi
Satu Paket

“Survei menemukan 47,5 persen warga korban penggusuran yang menghuni rumah susun telah menghuni di atas 20 tahun, tetapi tetap menjadi korban,” kata Alldo.

Ketiga, tigginya keterlibatan aparat TNI dan Polri yang memicu kekerasan fisik dan verbal, dan kerusakan atau hilang harta benda milik warga. Undang-Undang Polri dan UU TNI menyatakan bahwa keduanya tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan penggusuran paksa, tetapi penelitian menemukan bahwa ada keterlibatan Polri sebanyak 88,2 persen dan TNI 71,4 persen dalam berbagai kasus penggusuran paksa yang dialami oleh penghuni rumah susun.

“Hal ini memicu terjadinya kekerasan fisik dan verbal. Sebanyak 35 persen warga mengaku mengetahui adanya kekerasan fisik dalam kasus penggusuran yang dialaminya dan 54 persen warga mengaku mengetahui adanya kekerasan verbal. Sebanyak 39 persen mengaku mengalami kehilangan atau kerusakan harta benda akibat proses penggusuran paksa yang mengedepankan kekerasan,” jelas Alldo.

Keempat, warga ditelantarkan tanpa bantuan hukum sehingga tidak mendapat ganti rugi yang layak. Survei menemukan 77,8 persen warga mengaku tidak memperoleh bantuan hukum dari pemerintah saat penggusuran berlangsung. Padahal, 56,1 persen warga menyatakan bahwa rusun bukan bentuk ganti rugi, sehingga mereka ingin menuntut kompensasi tapi tidak memiliki akses.

“Sebanyak 65,6 persen warga penerima rumah susun juga menyatakan bahwa rumah susun bukanlah ganti rugi yang layak. Karena mereka hanya berstatus sebagai penyewa yang waktu sewanya sewaktu-waktu dapat diputus oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” tambah Alldo.

Kelima, pengeluaran warga meningkat drastis dan mempersulit kondisi ekonomi. Survei menemukan bahwa 66,7 persen mengaku hanya membayar Rp 0-100 ribu per bulan untuk baiya sewa atau perawatan rumah ketika sebelum digusur.

“Namun, ketika digusur, 35 persen warga mengalami peningkatan pengeluaran sewa hingga Rp 100-200 ribu per rumah (rumah lama hanya 11 persen), dan 42 persen sejumlah Rp 200-300 ribu (rumah lama hanya 7,3 persen). 18 persen mengaku membayar di atas Rp 300 per bulan dari angka sebelumnya 15,” persen papar Alldo.

Tak hanya itu, biaya lain yang mengalami peningkatan seperti biaya konsumsi, tagihan air, tagihan listrik, dan transportasi publik. Sebanyak 45,8 persen warga menyatakan mengeluarkan lebih dari Rp 300 ribu per bulan di rusun ketika sebelumnya hanya 28,8 persen ketika menghuni rumah lama.

“Kami juga menemukan terjadi peningkatan dari 8,2 persen ketika menghuni rumah lama menjadi 13,5 persen warga yang tidak bekerja atau menganggur ketika menghuni rumah susun. Akibatnya, 43,3 persen menyatakan pernah menunggak dan terancam diusir kembali dari rumah susun akibat ketidakmampuan membayar biaya sewa,” beber Alldo.

Keenam, infrastruktur rumah susun layak, meski tidak aksesibel bagi kelompok rentan. Survei menunjukkan bahwa fasilitas dapur, kamar mandi, sirkulasi udara, keamanan, dan kebersihan cenderung lebih layak dari rumah lama. Namun, hal tersebut tidak sejalan dengan aksesibilitas bagi kelompok difabel dan lanjut usia.

Terjadi penurunan angka dari 27,8 persen ketika menghuni rumah lama menjadi 21,9 persen ketika menghuni rumah susun warga yang menyatakan rumah susun layak bagi kelompok difabel. Penurunan juga terjadi di kelompok lanjut usia yaitu dari 30,8 persen di rumah lama menjadi 23,8 persen di rumah susun.

Ketujuh, warga korban penggusuran terasing dari hak dasar. Secara umum, survei menemukan bahwa warga menjauh dari akses pendidikan, tempat berbelanja, tempat rekreasi, transportasi publik, dan tempat bekerja akibat lokasi rusun yang terlampau jauh dari kediaman asal mereka sebelum digusur.

Aspek transportasi publik adalah yang cukup mencolok. Terjadi penurunan dari 39,7 persen ketika di rumah lama menjadi 27,8 persen ketika di rusun warga yang menyatakan bahwa transportasi publik mudah diakses. Terjadi juga penurunan dari 23,7 persen di rumah lama menjadi 11,8 persen di rusun yang menyatakan bahwa transportasi publik sangat mudah diakses.

Selain itu, warga juga menjauh dari tempat bekerja. Jika sebelumnya 61,7 persen warga menyatakan bahwa jarak rumah lama ke tempat bekerja hanya 0-5 kilometer menurun menjadi 46,6 persen ketika menghuni rusun.

“Sebanyak 21,5 persen warga juga menyatakan jarak rumah susun ke tempat bekerja mereka di atas 20 kilometer dari sebelumnya hanya 13,6 persen ketika menghuni rumah lama,” demikian Alldo. (kl/rmol)