Lili Romli (Pengamat Politik LIPI): Elit Politik Kita Ternyata Orientasinya Kekuasaan


Jakarta—Pengamat Politik LIPI, Lili Romli berpendapat bahwa dengan bergabungnya sebagian besar partai ke pemerintahan SBY membuktikan bahwa para elit politik hanya berorientasi ke kekuasaan dan meraih jabatan. Ini sama saja dengan power sharing, bagi-bagi kekuasaan. Dia berharap tetap ada partai yang beroposisi demi perkembangan demokrasi Indonesia.

Dengan bergabungnya 6 dari 9 partai yang lolos electoral threshold pada pemilu lalu ke pemerintahan SBY, praktis kekuasaan SBY saat ini seakan tak terbendung.
Kemenangan Partai Demokrat dan terpilihnya SBY dalam pemilu lalu memunculkan kekhawatiran tersendiri terhadap perjalanan reformasi yang genap 10 tahun. Pasalnya, lembaga DPR yang mestinya menjadi penyeimbang dan pelurus dalam kebijakan pemerintah kemungkinan besar akan menjadi pengekor dan pembenaran. Hal ini karena komposisi kekuatan DPR mayoritas berada di genggaman Demokrat dan koalisinya yang tidak lain merupakan jelmaan SBY.

Terlebih lagi, PDIP yang semula kritis dengan SBY, kemungkinan besar akan ikut demokrat setelah terpilihnya ketua MPP mereka, Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR. Karena keberhasilan itu juga karena hasil karya SBY. Dengan kata lain, tiga lembaga tinggi negara saat ini dipegang mutlak oleh SBY, presiden, DPR, dan MPR.

Lili Romli menegaskan bahwa kondisi seperti ini hanya akan menguatkan kekuasaan presiden dan macetnya mekanisme check and balances. “Peran eksekutif atau presiden akan kuat karena praktis partai-partai politik bergabung di dalam kekuasaan. Nah, kalau semua partai itu bergabung, maka peran untuk melakukan kontrol dan pengawasan itu secara kelembagaan tidak ada,” ungkapnya saat dihubungi reporter eramuslim.com lewat telepon.

Indikasi bahwa demokrasi bahkan reformasi hampir mati semakin dikuatkan oleh pilihan parpol dan para elit politik untuk masuk ke dalam pemerintahan alih-alih memperjuangkan cita-cita dan idealisme mereka di luar pemerintahan. “Elit-elit politik kita ini ternyata orientasinya lebih pada kekuasaan dibandingkan pada cita-cita dan nilai idealisme dan cita-cita dan nilai idealisme itu seharusnya tidak diwujudkan dalam konteks masuk ke dalam kekuasaan, bisa juga berada di luar kekuasaan itu karena mereka kan punya pandangan dan cita-cita yang berbeda,” ujar Lili.

Pengamat politik ini juga menyampaikan, “Dengan bergabungnya mereka itu semakin terang benderang bahwa yang dikejar oleh elit itu bukan untuk memperjuangkan ide-ide itu tapi untuk meraih jabatan, kekuasaan di dalam pemerintahan.”

Terkait dengan pengaburan makna koalisi dan oposisi yang disampaikan oleh partai tertentu, Lili mengatakan bahwa hal tersebut adalah pembenaran saja. “Alasan nanti jika di dalam pemerintahan juga akan tetap bersikap kritis, saya pikir itu kan berdiri di dua kaki, kalau begitu, menerapkan standar ganda. Yang kita inginkan ada kejelasan. Ada prinsip. Kalau sudah bergabung dengan pemerintahan, apapun yang terjadi terhadap pemerintahan itu, harus mendukung penuh pemerintahan, tidak mengkritisi,” ujarnya.

Lili Romli juga menegaskan bahwa standar ganda yang diterapkan partai koalisi jika mengkritisi kebijakan pemerintah juga tidak berakibat baik terhadap perkembangan partai tersebut dan juga pemerintahan yang sedang berjalan.

Lebih lanjut, Lili memprediksi ada dua kemungkinan buruk yang akan terjadi di dalam mekanisme check and balances yang dilakukan DPR ke depan. Pertama, DPR tidak kritis alias hanya menjadi lembaga ‘yes, man’ yang selalu memberikan persetujuan. Kedua, kemungkinan akan menerapkan standar ganda, berdiri di dua kaki, mengkritisi kebijakan pemerintah tapi partainya tetap berkoalisi. Hal seperti ini, menurut Lili, adalah partai yang hanya mengambil keuntungan saja.

Permasalahan menempatkan kader di pemerintahan oleh partai oposisi menurut pandangan Lili, sama saja dengan berkoalisi. “Bagi saya, kalau dia (PDIP, red) menempatkan kadernya di pemerintahan, itu sudah menjadi bagian dari koalisi,” ungkap Lili.

Lili menyarankan, sebaiknya PDIP tetap mengambil posisi sebagai partai oposisi agar tetap terjadi mekanisme check and balances terhadap pemerintahan. Masalah suara partai berlambang banteng tersebut yang menurun pada pemilu lalu, menurut Lili, bukanlah karena partai itu beroposisi, melainkan permasalahan konsolidasi, kaderisasi, dan hubungan dengan konstituen yang perlu dievaluasi.

Ke depannya, bentukan pemerintahan yang merangkul hampir 90% partai untuk berkoalisi ini, menurut Lili, hanya akan rentan disusupi oleh penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Selain itu, perkembangan demokrasi di Indonesia juga akan stagnan. (Ind)

foto: satunews