Mengapa Pemerintah Pilih Fokus di Aktor Penunggang Demo?

Eramuslim – Aksi massa menolak pengesahan UU Cipta Kerja atau UU Ciptaker dinodai dengan perusakan sejumlah fasilitas umum dan bangunan atau usaha milik rakyat. Upaya penolakan peraturan perundangan yang dinilai tidak berpihak ke rakyat kecil disebut pemerintah ada karena didalangi aktor.

Peneliti politik senior LIPI Siti Zuhro menyayangkan pemerintah yang menuduh aksi demo anti UU Ciptaker didalangi. Zuhro mengingatkan pemerintah sebaiknya fokus memahami apa yang disampaikan pendemo.

“Pemerintah seharusnya fokus merespons substansi yang disampaikan para pekerja. Mengapa mereka protes dan menolak UU Ciptaker? Pertanyaan ini yang harus dijawab pemerintah,” kata Zuhro pada Republika.co.id, Jumat (9/10).

Zuhro menyampaikan penolakan wajar muncul ketika buruh dan masyarakat merasa ada Undang-Undang yang merugikan. Termasuk terhadap UU Ciptaker yang dianggap merugikan tenaga kerja Indonesia. Aksi kali ini pun dilakukan serentak secara nasional.

“Itu membuktikan adanya keresahan kolektif yang mereka rasakan. Itu juga menunjukkan bahwa relasi pemerintah-pemodal/pengusaha-tenaga kerja tidaolek harmonis,” ujar Zuhro.

Zuhro mengamati ada sebagian kepala daerah ikut mendukung kaum buruh dan menolak UU Ciptaker. Menurutnya, hal ini terjadi karena argumen penolakan UU Ciptaker masuk akal. Selain itu, Zuhro menyoroti lahirnya UU Ciptaker sebagai bentuk pola relasi antara pemerintah-pengusaha/pemodal-tenaga kerja yang sangat tidak seimbang.

“Hubungan pemerintah dan pemodal terjalin relatif ok. Tapi dengan buruh terlihat eksploitatif. Kaum buruh tidak diposisikan memadai dan sebagai obyek. Karena itu mereka menolak UU Ciptaker yang dianggap tak memberikan perlindungan terhadap eksistensinya,” ucap Zuhro.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah juga menyayangkan pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebut ada pihak yang mensponsori gerakan aksi demo. “Pernyataan Menko Airlangga cenderung provokatif, dan tidak mencerminkan pemerintahan yang terbuka dalam menerima kritik, tentu sangat disayangkan,” kata Dedi.

Menurut Dedi, tidak seharusnya pejabat negara menyampaikan pernyataan tendensius. Pemerintah seharusnya menjadi fasilitator bagi publik, bukan justru melawan publik dengan tuduhan yang tidak mendasar.